Angin Musim Semi Arab Belum Berlalu
Musim Semi Arab gelombang kedua muncul. Gerakan unjuk rasa tahun 2019 menuntut tumbangnya pemerintah dan kroninya, yang dianggap bertanggung jawab atas kemerosotan luar biasa di bidang ekonomi dan maraknya korupsi.
Empat pemerintahan di kawasan Arab tumbang sepanjang tahun 2019 akibat tekanan unjuk rasa rakyat. Gerakan rakyat menuntut perombakan pemerintahan menuju sistem demokrasi menggelora di dunia Arab pada awal dan akhir dekade ini. Fenomena tersebut mematahkan opini bahwa gerakan Musim Semi Arab telah mati.
Sepanjang tahun 2019, yang akan segera berlalu, publik Arab dikejutkan dengan meletupnya unjuk rasa besar di Sudan, Aljazair, kemudian merembes ke Lebanon dan Irak.
Media massa Arab menyebut gerakan unjuk rasa itu sebagai gerakan Musim Semi Arab gelombang kedua. Gerakan-gerakan unjuk rasa tahun 2019 di negara-negara itu juga menuntut tumbangnya pemerintah dan kroninya, yang dianggap bertanggung jawab atas kemerosotan luar biasa di bidang ekonomi dan maraknya praktik korupsi.
Tuntutan seperti itu juga menggema saat meletus gerakan Musim Semi Arab gelombang pertama tahun 2010-2011 di Tunisia, Libya, Mesir, Suriah, dan Yaman. Namun, seperti kita saksikan, hanya Tunisia yang berhasil membangun negara demokrasi pasca-tumbangnya rezim diktator mendiang Presiden Zine al-Abidine Ben Ali.
Suriah, Libya, dan Yaman sampai saat ini terjerumus ke dalam perang saudara berkepanjangan. Adapun Mesir kembali dikontrol militer.
Fenomena tersebut mematahkan opini bahwa gerakan Musim Semi Arab telah mati.
Sempat marak opini di dunia Arab bahwa gerakan Musim Semi Arab telah mati. Opini ini merujuk pada kenyataan bahwa kekuatan kontrarevolusi mampu melancarkan serangan balik yang mematikan sehingga menggagalkan upaya membangun negara demokrasi. Hal itu terjadi di Suriah, Yaman, dan Libya saat ini yang terus dilanda perang saudara serta Mesir yang memilih kembali berada di bawah kontrol militer.
Akan tetapi, opini tersebut terpatahkan tahun 2019 oleh meletupnya gerakan unjuk rasa menuntut tumbangnya pemerintah dan sistem politik di Aljazair, Sudan, Lebanon, dan Irak. Rakyat Aljazair pada 2 April 2019 berhasil menumbangkan rezim Presiden Abdelaziz Bouteflika, yang berkuasa selama 20 tahun.
Hanya berselang sepekan lebih, hal serupa terjadi di Sudan. Unjuk rasa rakyat Sudan yang digelar sejak Desember 2018 seolah mencapai klimaksnya saat rezim Presiden Omar Hassan al-Bashir tumbang pada 11 April 2019. Penguasa Sudan selama 30 tahun itu dilengserkan oleh kudeta militer.
Unjuk rasa rakyat Lebanon kemudian berhasil memaksa pula Perdana Menteri (PM) Saad al-Hariri mengundurkan diri pada 29 Oktober lalu. PM Irak Adel Abdul Mahdi juga menyusul mengundurkan diri pada 1 Desember lalu setelah sekian bulan mendapat tekanan unjuk rasa rakyat Irak.
Belajar dari kegagalan
Para pengamat serta media massa Arab dan internasional pun kemudian sepakat menyebut gerakan Musim Semi Arab masih hidup dan terus bergeliat selama faktor-faktor yang menggerakkan terus bercokol kuat di dunia Arab. Bahkan, diakui bahwa gerakan unjuk rasa di Aljazair, Sudan, Lebanon, dan Irak tidak kalah sengit dibandingkan dengan gerakan unjuk rasa tahun 2011 di Tunisia, Libya, Mesir, Suriah, dan Yaman.
Rakyat Aljazair, Sudan, Lebanon, dan Irak tampak belajar dari kegagalan Musim Semi Arab di Mesir, Libya, Suriah, dan Yaman. Rakyat Aljazair dan Sudan sangat ngotot agar sistem demokrasi dengan supremasi kekuatan sipil diterapkan di dua negara Arab di kawasan Afrika utara tersebut.
Dari segi psikologi politik, tuntutan rakyat Aljazair dan Sudan itu sangat bisa dipahami mengingat kedua negara tersebut sejak lepas dari era kolonial dikontrol militer. Aljazair dikontrol militer sejak kudeta militer yang dipimpin Menteri Pertahanan Houari Boumediene terhadap pemerintahan sipil Presiden Ben Bella pada tahun 1965. Kontrol militer itu berlangsung hingga lengsernya Bouteflika, 2 April lalu.
Rakyat Aljazair, Sudan, Lebanon, dan Irak tampak belajar dari kegagalan Musim Semi Arab di Mesir, Libya, Suriah, dan Yaman.
Hal sama dialami Sudan. Sejak berakhirnya kolonial Inggris pada tahun 1958, sebagian besar masa pemerintahan di negeri itu dikontrol militer pula. Beberapa kudeta militer mengiringi perjalanan Sudan.
Pertama, kudeta militer yang dilancarkan Ibrahim Abboud pada tahun 1958. Abboud berkuasa hingga tahun 1964. Kedua, kudeta militer yang dilancarkan Kolonel Gaafar Nimeiry pada tahun 1969. Nimeiry berkuasa selama 16 tahun dan tumbang dikudeta oleh Swar al-Dahab pada tahun 1985.
Ketiga, kudeta militer yang dilancarkan Omar Hassan al-Bashir pada tahun 1989. Bashir berkuasa selama 30 tahun hingga digulingkan Jenderal Awad Ibn Auf, 11 April lalu.
Alur yang berbeda
Oleh karena itu, pasca-lengsernya Bouteflika di Aljazair dan Bashir di Sudan, rakyat di kedua negara itu bukannya mengakhiri unjuk rasa mereka, tetapi semakin menambah eskalasi unjuk rasa dengan menaikkan tuntutan, berupa perubahan sistem politik yang mengadopsi sistem demokrasi dengan supremasi sipil, seperti di negara-negara maju.
Di Sudan, kubu rakyat pengunjuk rasa yang diwakili Koalisi Kekuatan untuk Kebebasan dan Perubahan (FFC) akhirnya menerima solusi kompromi dengan Dewan Transisi Militer (TMC) untuk membagi kekuasaan antara sipil dan militer dalam memimpin masa transisi selama 39 bulan.
Di Aljazair, rakyat pengunjuk rasa dan militer gagal mencapai titik temu tentang bentuk masa transisi pasca-lengsernya Bouteflika. Militer memaksakan digelar pemilu presiden pada 12 Desember lalu di tengah pro-kontra cukup kuat terhadap penyelenggaraan pemilu itu.
Kandidat presiden Abdelmadjid Tebboune, yang pernah menjabat PM Aljazair pada era Presiden Bouteflika, memenangi pemilu presiden itu dengan mengalahkan empat kandidat presiden lainnya. Masa depan Aljazair kini berada di tangan Tebboune.
Presiden baru itu dituntut mampu membangun rekonsiliasi dan bisa tampil sebagai presiden independen yang jauh dari pengaruh militer dan rezim Bouteflika sehingga dapat dirasakan supremasi sipil atas militer di negara itu.
Adapun di Lebanon dan Irak situasinya tampak lebih rumit dibandingkan dengan Sudan dan Aljazair. Rakyat Lebanon menuntut dirombaknya sistem politik sektarian yang sudah berusia lebih dari 90 tahun di negara itu. Dengan sistem politik sektarian tersebut, kekuasaan di Lebanon dibagi berdasarkan latar belakang sekte, agama, dan mazhab agama.
Namun, hingga saat ini tampak tuntutan rakyat Lebanon itu mengalami jalan buntu. Tidak ada alternatif sistem politik yang sudah siap menggantikan sistem politik sektarian tersebut. Kaum elite politik dan kekuatan politik di Lebanon sudah terbagi berdasarkan sekte, agama, dan mazhab.
Hassan Diab, yang ditunjuk sebagai PM baru Lebanon oleh Presiden Lebanon Michel Aoun, pada Kamis (19/12/2019), dikenal dekat dengan Hezbollah. Meskipun Diab mengklaim dirinya independen, masih dipertanyakan kemampuannya mengakhiri krisis politik di Lebanon. Ia telanjur dikenal dekat dengan Hezbollah. Hal ini bisa membuat sulit bagi Lebanon untuk mendapat bantuan ekonomi dari Arab Saudi dan Barat.
Di Irak, situasinya masih belum menentu di tengah pertarungan sengit di internal rumah besar Syiah yang berkuasa di Irak sejak ambruknya rezim Saddam Hussein tahun 2003. Pemimpin spiritual Irak, Ali Sistani, telah menyerukan agar digelar pemilu dini dalam upaya mengakhiri krisis politik di negara itu.