Pengungsi, Tanggung Jawab Bersama
Pada akhir 2018, sebanyak 71 juta orang terpaksa mengungsi karena perang, kekerasan, dan penganiayaan, termasuk 26 juta orang yang mengungsi keluar negaranya.
Pada akhir 2018, sebanyak 71 juta orang terpaksa mengungsi karena perang, kekerasan, dan penganiayaan, termasuk 26 juta orang yang mengungsi keluar negaranya. Sebanyak 80 persen pengungsi dunia tinggal di negara-negara miskin dan berkembang. Mereka sering harus menanggung sendiri biaya ekonomi dan sosial yang semakin berat.
Untuk mencari kehidupan baru guna menghindari perang atau situasi yang tidak aman di negaranya, mereka pun harus bertaruh nyawa untuk bisa mencapai negeri-negeri asing yang mereka tuju.
Lari dari kemelut di negaranya, tujuh migran Afrika meninggal dunia pada Senin (16/12/2019). Perahu yang mereka tumpangi dari Maroko menuju Spanyol tenggelam saat menyeberangi Laut Tengah. Sebanyak 70 migran lainnya berhasil diselamatkan, termasuk 10 perempuan dan seorang bayi. Mereka kemudian dibawa kembali ke kota Nador, Maroko. Kantor Asosiasi Hak Asasi Manusia Maroko di Nador mengatakan, ibu bayi yang selamat itu termasuk di antara tujuh korban tewas. Kelompok hak asasi manusia tersebut mengatakan, perahu itu tenggelam setelah terjadi kebakaran yang dengan cepat menyebar di tengah angin kencang.
Ini adalah peristiwa terbaru dari beberapa penyeberangan perahu migran yang menempuh jalur laut berbahaya antara Maroko dan Spanyol. Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi, ada 22.970 migran yang telah tiba di Spanyol melalui laut pada 2019, dan 325 orang tewas dalam perjalanan laut.
Situasi yang tidak kalah mengenaskan juga terjadi di Amerika Tengah. María Teresa Carballo (59) yang tinggal di El Salvador mengkhawatirkan menantunya dan kedua cucunya yang masih berusia 3 dan 9 tahun. Mereka pergi dibawa penyelundup ke perbatasan AS, tetapi hingga kini belum ada kabar.
Sebelumnya, pada Desember 2018 hingga Mei 2019, sebanyak 17 anggota keluarga Carballo melakukan perjalanan yang sama. Mereka dibawa penyelundup dengan membayar 3.000 dollar AS dan menyerahkan diri kepada pihak berwenang di AS untuk meminta suaka.
Namun, pada Oktober 2019, segalanya berubah secara dramatis. Ini dimulai pada Mei 2019 ketika Presiden AS Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif pada semua barang Meksiko jika Pemerintah Meksiko tidak membendung aliran migran Amerika Tengah yang melintasi wilayahnya.
Pemerintah Meksiko merespons pada Juni 2019 dengan mengerahkan ribuan anggota Garda Nasional untuk mempersulit migran tiba di perbatasan AS. Di sisi lain, AS juga memperluas program untuk membuat para pencari suaka menunggu kasus mereka di Meksiko, bukan di AS. Dampaknya, pada September 2019, Meksiko mengumumkan bahwa jumlah migran yang mencapai perbatasan AS anjlok lebih dari setengahnya.
Pada saat yang sama, Meksiko menahan lebih banyak migran: meningkat 66 persen dari Januari hingga September 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018.
Saat kebijakan berubah itulah menantu Carballo terjerat. Beberapa jam setelah menyeberang ke Meksiko pada 12 Oktober 2019, ia dan anak- anaknya ditahan dengan alasan sertifikat kelahirannya palsu.
Penuh sesak
Mereka yang bermigrasi, mengungsi dari negaranya, harus menempuh perjalanan berliku. Tidak mudah mencapai negara tujuan.
Sebagaimana di Afrika dan Amerika Tengah, para pengungsi atau migran dari Suriah dan Irak yang hendak mengungsi ke Eropa pun terpaksa tertahan di kamp pengungsi di Pulau Samos, Yunani timur.
Di bawah kesepakatan tahun 2016 antara Uni Eropa dan Turki untuk menghentikan aliran migran ke Eropa, para migran yang tiba di Yunani dari Turki ditahan di kamp-kamp pulau sambil menunggu dideportasi, kecuali mereka berhasil mengajukan permohonan suaka di Yunani.
Hanya mereka yang dianggap berada dalam kelompok rentan, seperti orang tua, para migran dengan masalah kesehatan serius dan keluarga dengan anak kecil yang memenuhi syarat akan dipindahkan dari kamp pulau ke daratan.
Kesepakatan itu ditambah dengan peningkatan para migran baru sejak musim panas telah menyebabkan kondisi yang makin buruk di kamp- kamp yang penuh sesak di pulau-pulau Aegean timur.
Kamp di Pulau Samos sekarang dihuni migran lebih dari 11 kali lipat dari kapasitas kamp itu. Sampai saat ini ada 7.497 migran yang tinggal di kamp Pulau Samos yang sebenarnya dirancang hanya untuk menampung 648 orang.
Pemerintah Yunani telah berjanji memindahkan sekitar 20.000 migran dari kamp di pulau-pulau ke fasilitas migran dan pengungsi di daratan pada awal 2020. Namun, meskipun ada pemindahan beberapa ribu orang dalam beberapa bulan terakhir, kepadatan migran terus meningkat karena semakin banyak migran baru yang tiba.
Sementara itu, Presiden Turki Tayyip Erdogan pada Kamis (19/12/2019) dalam pertemuan Pemimpin Muslim di Malaysia mengatakan bahwa ada 50.000 warga Suriah yang mengungsi dari Idlib, wilayah barat laut Suriah, ke Turki. Erdogan mengecam negara-negara Muslim karena tidak mendukung rencananya untuk memukimkan kembali pengungsi di wilayah Suriah utara.
Turki saat ini menampung sekitar 3,7 juta pengungsi Suriah. Ini merupakan jumlah pengungsi terbesar di dunia. Dikhawatirkan akan muncul gelombang pengungsi lainnya dari wilayah Idlib yang saat ini masih dikuasai pemberontak. Saat ini masih ada 3 juta warga yang tinggal di sana.
Pasukan Suriah dan Rusia melakukan serangan udara reguler terhadap target di Idlib. Presiden Suriah Bashar al-Assad bertekad untuk merebut kembali Idlib sehingga memicu lebih banyak penduduk Idlib mengungsi ke perbatasan Turki.
”Ada 50.000 orang datang dari Idlib ke tanah kami. Kami saat ini sudah menampung 4 juta pengungsi dan sekarang ada 50.000 lagi. Jumlah ini pasti akan meningkat,” kata Erdogan.
Forum Global
Sementara itu, dari Geneva, Swiss, dilaporkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar Forum Pengungsi Global yang berlangsung pada 17-18 Desember 2019. Menurut Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), negara-negara peserta pertemuan telah menjanjikan bantuan senilai 3 miliar dollar AS untuk mendukung para pengungsi dan membangun 50.000 tempat permukiman kembali.
Komisioner UNHCR, Filippo Grandi, mengatakan, Forum Pengungsi Global telah memperluas pembagian tanggung jawab untuk 25,9 juta pengungsi yang telah mengungsi karena perang dan penganiayaan, terutama yang mengungsi di negara-negara tetangga yang miskin.
Grandi mengatakan, bantuan senilai 3 miliar dollar AS tersebut merupakan tambahan untuk bantuan yang telah diberikan oleh Bank Dunia dan program lainnya. Sektor swasta menjanjikan bantuan 250 juta dollar AS, tetapi semua angka itu barulah permulaan. UNHCR menyatakan telah menerima sejumlah janji keuangan untuk membantu penanganan pengungsi, yakni lebih dari 4,7 miliar dollar AS dari Kelompok Bank Dunia dan
1 miliar dollar AS dari Inter-American Development Bank.
Jerman yang telah menampung ratusan ribu pengungsi Suriah menjanjikan bantuan sekitar 1,7 miliar euro. Bank Pembangunan Inter-Amerika menjanjikan 1 miliar dollar AS untuk komunitas yang menampung pengungsi di Amerika Latin, sementara Bank Dunia mengumumkan akan memperluas pendanaan untuk proyek-proyek yang mendukung pengungsi sebesar 10 persen menjadi 2,2 miliar dollar AS.
Pemerintahan Donald Trump mengatakan pada September 2019, mereka berencana mengizinkan hanya 18.000 pengungsi untuk bermukim kembali di AS pada tahun fiskal 2020. Ini merupakan jumlah terendah dalam sejarah program pengungsi modern.
Secara keseluruhan, menurut UNHCR, ada lebih dari 770 janji telah dibuat untuk dukungan keuangan bagi penanganan pengungsi. Selain itu, juga bantuan untuk meningkatkan akses pengungsi agar bisa memperoleh pekerjaan, pendidikan, fasilitas listrik, infrastruktur dan janji-janji tempat pemukiman kembali.
Sektor swasta berjanji menyediakan 15.000 pekerjaan untuk para pengungsi dan 125.000 jam konseling hukum pro bono per tahun. PBB juga menyambut baik bahwa lebih banyak tempat pemukiman kembali telah ditawarkan di negara ketiga bagi para pengungsi.
Komisi Eropa mengatakan, sebanyak 30.000 tempat pemukiman telah ditawarkan di seluruh Eropa untuk tahun 2020. Sementara itu, UNHCR memperkirakan ada kebutuhan 1,44 juta tempat pemukiman kembali di seluruh dunia tahun depan.
Namun, menurut Grandi, hak untuk meminta suaka sebagaimana diatur oleh hukum internasional terancam. ”Kenyataannya adalah tidak ada pembagian beban dan tanggung jawab yang sistematis,” kata Grandi.
Di Forum Pengungsi Global tersebut, Erdogan mengecam kurangnya solidaritas internasional dalam mengurus 26 juta pengungsi di seluruh dunia.
Namun, saat forum berakhir Rabu (18/12/2019) malam, UNHCR memuji bahwa mereka—negara peserta forum itu—telah memberi jaminan komitmen untuk membalikkan keadaan saat ini.
(AP/AFP/REUTERS)