Indonesia kembali menegaskan tidak mengakui klaim sepihak China tentang apa yang disebut Beijing sebagai tempat penangkapan ikan tradisional.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia kembali menegaskan tidak mengakui klaim sepihak China tentang apa yang disebut Beijing sebagai tempat penangkapan ikan tradisional. Keberadaan kapal-kapal China di ”wilayah” itu merupakan pelanggaran atas hak berdaulat Indonesia di zona ekonomi eksklusif yang diakui oleh Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut 1982.
Seusai menghadiri rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memastikan bahwa China telah melanggar kesepakatan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) dengan melanggar zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Klaim Indonesia atas ZEE di Laut Natuna Utara berdasarkan UNCLOS 1982. Sebagai negara yang mengakui UNCLOS, China diminta menghormati konvensi tersebut.
”Indonesia tidak akan mengakui klaim sepihak oleh China yang tidak memiliki landasan hukum internasional, seperti yang tercantum dalam UNCLOS 1982,” kata Retno.
Meski demikian, Pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan terprovokasi dan tetap mengedepankan langkah-langkah terukur.
Indonesia tidak akan mengakui klaim sepihak oleh China yang tidak memiliki landasan hukum internasional.
Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan, kapal-kapal Bakamla berulang kali mengusir kapal-kapal China dari Laut Natuna Utara sebab kapal-kapal itu melanggar ZEE Indonesia. Taufiqoerrochman menambahkan, Bakamla berada di garda depan untuk mengamankan wilayah Laut China Selatan. ”Karena, kalau kapal perang tensinya agak berbeda sehingga Bakamla tetap di depan dengan mendapat back up dari TNI,” kata Taufiqoerrochman.
Di sisi lain, Indonesia pun mengedepankan langkah-langkah diplomatik. ”Karena itu, Bu Menlu berada di depan karena ini terkait hukum dan diplomasi, bukan adu otot. Sebab, kita tidak sedang pada era perang,” kata Taufiqoerrochman.
Dalam kesempatan terpisah, saat memimpin apel gelar pasukan Operasi Siaga Tempur Laut di Selat Lampa, Natuna, Jumat, Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I Laksamana Madya Yudo Margono menegaskan hal senada.
”Jangan mudah terpancing provokasi, lakukan semua tindakan terukur sesuai hukum yang berlaku,” kata Margono.
Apel tersebut juga mengantar KRI Tjiptadi dan KRI Teuku Umar dalam operasi. Tiga KRI lain, yaitu KRI John Lie, KRI Karel Satsuit Tubun, dan KRI Usman Harun, tengah dalam perjalanan untuk ambil bagian dalam operasi itu.
”Hubungan strategis dengan negara-negara tetangga harus dijaga supaya tidak terjadi masalah sehingga harus buka komunikasi,” ujar Yudo.
Ia mengatakan, komunikasi dibuka terkait keberadaan kapal-kapal asing di wilayah ZEE Indonesia, bahkan beberapa di antara mereka telah memasuki wilayah landas kontinen. Sesuai ketentuan, kapal-kapal asing yang melanggar wilayah harus diusir dan kapal-kapal pencuri ikan diproses secara hukum.
Menurut Yudo, dalam perjalanan ke Natuna, dirinya memantau adanya sekitar 30 kapal nelayan China dan 3 kapal Penjaga Pantai China memasuki ZEE Indonesia dan Malaysia. Koordinat kapal-kapal yang dipantau itu adalah sekitar 5 LU dan 109 BT. ”Tadi kami lihat sendiri ada kapal coast guard China sedang mengawal kapal nelayan China sekitar 130 mil timur laut dari Lanud Ranai, Natuna,” kata Yudo.
Potensi
Potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 711 yang meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan, sebesar 767.126 ton. Pemberdayaan nelayan dan pengawasan perlu ditingkatkan agar potensi itu tidak menjadi sia-sia.
Ketua Rukun Nelayan Lubuk Lumbang Kelurahan Bandarsyah di Kecamatan Bunguran Timur, Suherman, mengatakan, tangkapan ikan nelayan sejak awal Desember 2019 rata-rata hanya 1 ton per pekan, padahal sebelumnya bisa 3 ton per pekan. Penurunan tersebut seiring dengan kembali masuknya kapal-kapal asing penangkap ikan di perairan Natuna Utara.
”Pencuri ikan itu mengincar ikan bernilai tinggi, angoli dan kakap merah, harganya Rp 60.000 per kilogram. Kalau saja tidak ada pencurian, nelayan tradisional di Natuna bisa makmur,” kata Suherman.
”Kalau ketemu pencuri ikan, nelayan (lokal) biasanya tidak akan berani mendekat. Kapal asing itu jauh lebih besar dan dikawal penjaga laut. Bagaimana mau mengusir, kena ombak dari kapal itu saja (kapal) kami bisa terbalik atau malah tenggelam,” kata Zakimin, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Natuna. (EDN/NDU/RAZ/SAN)