Masuknya kapal-kapal China di Laut Natuna Utara menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah Indonesia untuk jadi negara berkekuatan maritim. Upaya Indonesia mengatasi agresivitas seperti itu harus terorkestrasi dengan baik.
Oleh
Edna C Pattisina
·6 menit baca
Sekelompok wartawan memperhatikan layar monitor di ruang penumpang pesawat Boeing 737-200 Skadron Udara 5 TNI Angkatan Udara, Sabtu (4/1/2019). Pesawat itu adalah pesawat intai strategis yang dilengkapi kamera di bagian perut pesawat. Alat-alat yang ada di dalam pesawat bersifat rahasia. Jarum jam saat itu menunjukkan pukul 09.00. Baru beberapa belas menit pesawat itu terbang dari Natuna di Kepulauan Riau menuju ke arah utara.
Pesawat saat itu berada di koordinat 5 35 Lintang Utara dan 109 23 derajat Bujur Timur. Jaraknya sekitar 115 mil laut dari Ranai, Kabupaten Natuna. Sehari sebelumnya, di koordinat 5 51 Lintang Utara dan 109 19 Bujur Timur, pesawat itu menemukan sekitar 30 kapal nelayan China yang dikawal tiga kapal coast guard atau penjaga pantainya. Saat itu, belum ada kapal nelayan Indonesia maupun kapal perang RI (KRI) di lokasi.
Pada Sabtu, kapal-kapal China sudah bergeser ke selatan, makin mendekati Ranai. Pelanggaran ini telah jauh melewati batas Zona Ekonomi Eksklusif yang merentang dari garis pangkal pantai hingga 200 mil ke arah laut.
Kamera pesawat menyoroti lima kapal yang berada di sekitar 107 mil laut dari Ranai, ibu kota Natuna. Lima kapal itu terdiri dari KRI Teuku Umar, KRI Tjiptadi, serta dua kapal penjaga pantai China serta sebuah kapal pengawas maritim. Dua KRI yang panjangnya 76 meter itu tampak kecil di tengah gelombang setinggi 4 meter serta tiga kapal dengan panjang 99 meter.
”Saya sudah perintahkan agar para komandan kapal membuka komunikasi persuasif dan menjelaskan bahwa kapal-kapal pemerintah asing itu melakukan pelanggaran wilayah,” kata Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I Laksamana Madya Yudo Margono sambil menunjuk ke layar monitor.
Dia mengatakan, kapal-kapal asing yang mencuri ikan akan diproses secara hukum, sedangkan kapal-kapal pemerintah akan diminta meninggalkan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.
Akan tetapi, nampak dari jendela pesawat bahwa masing-masing pihak bersikukuh pada pendiriannya. Sesekali KRI tampak berusaha menghalau kapal coast guard China, sesekali tampak kapal coast guard China yang berusaha menekan, mengarahkan manuver KRI. Kelima kapal itu seperti menari di atas air, menyisakan buih-buih putih yang juga menandakan ombak yang tinggi.
Kogabwilhan merupakan organisasi yang mendapat mandat kendali utama dari Panglima TNI untuk melaksanakan operasi gabungan darat, laut, dan udara. Yudo mengatakan, ia mendapat mandat kendali utama untuk melakukan operasi yang melibatkan komando utama TNI AL, yaitu Armada I dan Komando Operasi TNI AU (Koopsau) I. Apabila pesawat intai strategis TNI melakukan operasi pengamatan dan pengintaian, Armada I mengerahkan kapal perang. Kendali operasi ada di masing-masing Panglima Armada I dan Pangkoops I.
Panglima Armada I Laksamana Muda Muhammad Ali mengatakan, selain dua KRI yang sudah tiba di Laut Natuna Utara, masih akan datang lagi KRI John Lie, KRI Usman Harun, KRI Karel Satsuit Tubun, dan KRI Tarakan.
Masalah maritim selalu merupakan masalah yang kompleks. Agresivitas China di Laut Natuna Utara merupakan fenomena menarik. Terakhir, bentuk agresivitas semacam ini terjadi tahun 2016. Saat itu, walau dikawal dari belakang oleh kapal-kapal coast guard, jumlah kapal nelayan China tidak masif hadir pada saat yang sama.
Hal tersebut berbeda dibanding peristiwa yang berawal pada Desember 2019. Kapal-kapal nelayan China hadir bersamaan, dan pengawalan kapal penjaga pantai China ada di antara kapal-kapal nelayan. Yudo menyoroti bahwa kapal-kapal itu memasang sinyal identifikasinya tetap menyala.
”Sepertinya kapal-kapal asing ini ingin diketahui keberadaannya,” kata Yudo.
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Achmad Taufiqoerrochman mengatakan, sejak 10 Desember 2019 Bakamla lewat negara-negara lain di kawasan telah mengetahui akan ada kapal nelayan asing yang masuk. Oleh karena itu, kapal Bakamla digerakkan ke Natuna. Ternyata kapal-kapal tersebut masuk ke wilayah ZEE Indonesia tanpa izin pada 19 Desember. Bakamla mengusir kapal-kapal itu, tetapi mereka masuk lagi 24 Desember.
Rene Pattiradjawane, Ketua Centre for Chinese Studies, khawatir China ingin secara sepihak mengubah UNCLOS (United Nation Convention on Law of the Sea). Menurut Rene, China ingin agar klausul area mencari ikan tradisional dimasukkan sebagai salah satu klausul UNCLOS. Ini berarti memberikan legitimasi pada Nine Dash Line, yaitu versi China tentang wilayahnya yang bertumpang-tindih dengan ZEE Indonesia dan ZEE beberapa negara ASEAN bahkan teritorial laut. Kemungkinan lain, kata Rene, China saat ini mengalami masalah ketahanan pangan. China sedang melakukan moratorium pencarian ikan di Sungai Kuning dan Sungai Panjang sehingga pemenuhan kebutuhan ikannya terancam.
Edy Prasetyono, pengajar Hubungan Internasional Universitas Indonesia mengatakan, sikap China yang mendadak agresif menyisakan pertanyaan karena pada 16-19 Desember 2019 Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto bertemu Menhan China Wei Fenghe. Menurut Edy, dalam jangka panjang, insiden terakhir ini di Laut Natuna Utara justru merugikan China. Sentimen anti-China dari masyarakat Indonesia maupun hubungan antarnegara menguat. Padahal, dalam konteks konstelasi rivalitas dengan Amerika Serikat, China justru membutuhkan lebih banyak teman di kawasan Asia Pasifik.
Bangun kekuatan laut
Strategi China ini dikenal sebagai gun boat diplomacy, yaitu menggunakan kekuatan di laut untuk mencapai tujuan politik luar negerinya. Namun, dalam melaksanakan strategi itu, China tidak menggunakan militer, tetapi sipil, yaitu kapal-kapal nelayan dan kapal-kapal pemerintah. Taktik ini membuat pusing banyak negara karena sesuai aturan internasional, dalam kondisi damai, kapal militer tak boleh menembak kapal sipil. Hal ini akan mengeskalasi kekerasan di kawasan bahkan dikhawatirkan bisa berujung pada perang konvensional.
Oleh karena itu, orkestrasi para pemimpin sangat penting. Diplomasi Indonesia harus tegas, tidak mundur selangkah pun dari posisinya yang berdasarkan UNCLOS. Edy mengingatkan, UNCLOS tahun 1982 adalah hasil perjuangan panjang diplomasi Indonesia. Karena UNCLOS, Indonesia bisa diakui sebagai negara kepulauan dengan laut di antara pulau, laut teritorial, hingga ZEE.
Edy juga mengatakan, Indonesia perlu meningkatkan kekuatan laut yang ditopang kekuatan udara sebagai deteksi dini dan melindungi Indonesia. Pengamatan Kompas, di Laut Natuna Utara terlihat bahwa walaupun China menggunakan kapal-kapal nonmiliter, ukurannya lebih besar dari KRI. Maklum, kapal coast guard China awalnya ialah kapal-kapal militer, yakni fregat. ”Perlu dikuatkan TNI dan Bakamla,” kata Edy.
Kendati bukan ancaman militer, upaya Indonesia mengatasi masalah ini harus terorkestrasi dengan baik. Yudo menggarisbawahi, KRI tidak boleh terprovokasi. Pasalnya, bisa jadi memang itu tujuan kehadiran kapal-kapal asing.
Idealnya, dalam menghadapi situasi semacam ini, Bakamla berada di depan. Pasalnya, China menggunakan kapal-kapal sipil. Dibanding kehadiran KRI yang bisa menimbulkan persepsi ancaman serta peningkatan eskalasi konflik, keberadaan kapal-kapal Bakamla seiring dengan penggunakan diplomasi coast guard di kawasan. Hal ini tentu membutuhkan Bakamla yang memiliki banyak kapal serta aturan pendukung. Saat ini, kapal Bakamla minim, dan ada 13 instansi yang menangani keamanan laut. Indonesia juga perlu membuat kapal-kapal nelayannya hadir di Natuna. Hal ini tentunya hanya bisa dilakukan kapal-kapal nelayan berbobot besar.
Orkestrasi ini juga perlu terlihat dari pernyataan-pernyataan pejabat pemerintah. Edy mengingatkan agar para pejabat berkomentar sesuai domain kewenangan. Menteri Pertahanan, misalnya terkait pembangunan kekuatan dan pertahanan RI, sedangkan Menko Maritim terkait aset kekayaan alam laut.
”Untuk diplomasi, ya itu kewenangan Menlu untuk nyatakan sikap dan posisi Indonesia tetap konsisten merujuk ke UNCLOS,” kata Edy.
Insiden di Laut Natuna Utara ini membuka mata bahwa kekuatan laut Indonesia masih lemah. Sebagai negara kepulauan yang ingin jadi negara berkekuatan maritim, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan bersama; dimulai dari orkestrasi pernyataan pejabat Indonesia.