Di tengah persaingan global dan tantangan perlambatan ekonomi, Indonesia akan memberi perhatian pada penguatan diplomasi ekonomi. Arahnya untuk mencapai kemakmuran.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diplomasi yang berdampak peningkatan kesejahteraan nasional dan global menjadi salah satu fokus Indonesia. Kondisi global yang dipenuhi proteksionisme dan unilateralisme menjadi tantangan untuk mencapai target diplomasi ekonomi Indonesia. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, diplomasi ekonomi akan semakin diperkuat dalam lima tahun mendatang.
”Penugasan konkret akan diberikan kepada para kepala perwakilan,” ujarnya dalam pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri 2020, Rabu (8/1/2020), di Jakarta.
Indonesia akan memanfaatkan potensi pasar nasional dan penduduk usia produktif yang besar sebagai salah satu daya tawar mengembangkan kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Dalam perundingan-perundingan Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Terpadu (CEPA) dan perdagangan prioritas dengan (PTA) sejumlah negara atau kawasan, faktor itu akan menjadi pertimbangan.
Retno mengatakan, tahun ini Indonesia memprioritaskan ratifikasi CEPA Indonesia dengan Australia dan kawasan perdagangan bebas Eropa (EFTA). Indonesia juga meningkatkan perundingan CEPA, PTA, dan kawasan perdagangan bebas (FTA) dengan sejumlah kawasan dan negara di Afrika, Eropa, Asia, dan Pasifik.
Penugasan konkret akan diberikan kepada para kepala perwakilan.
Retno mengatakan, diplomasi ekonomi akan difokuskan untuk menarik investasi yang berkualitas dalam mendukung prioritas pembangunan Indonesia yang berkelanjutan, pembangunan infrastruktur, dan pengembangan sumber daya manusia. Investasi juga diarahkan untuk penguatan industri hilir dan pembangunan pulau-pulau terdepan, termasuk Kepulauan Natuna.
Sampai sekarang, investasi Indonesia di luar negeri mencapai 14,3 miliar dollar AS.
Keharusan
Dekan Fakultas Humaniora President University Endi Haryono mengatakan, diplomasi ekonomi adalah keharusan dalam situasi sekarang. ”Dalam sistem internasional sekarang, satu-satunya cara mendapat kekayaan nasional hanya dengan transaksi dan kerja sama ekonomi, khususnya perdagangan dan ekonomi,” ujar pengamat hubungan internasional itu.
Indonesia perlu meningkatkan kapasitas para pelaksana diplomasi, terutama sinergi Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan; sinergi dan fasilitasi pengusaha, terutama pengusaha diaspora Indonesia di luar negeri; memfasilitasi swasta pengusaha Indonesia.
”Saya secara khusus mengusulkan agar Kemenlu juga melihat universitas atau perguruan tinggi di Indonesia sebagai potensi atau produk unggulan, yang juga bisa dipasarkan ke luar negeri. Sudah saatnya Indonesia juga menarik banyak orang asing untuk belajar di universitas-universitas di Indonesia,” ujarnya.
Tantangan
Retno mengatakan, Indonesia dan negara lain juga ingin pertumbuhan tinggi dan berkualitas. Keinginan itu membutuhkan kondisi yang mendukung yang salah satunya berupa perdamaian dan stabilitas dunia.
Namun, peningkatan persaingan dan permusuhan berpotensi menyebabkan ketidakstabilan dan konflik. Selain itu, masih ada isu proteksionisme, nasionalisme sempit, dan populisme di banyak negara.
”Tren negatif ini harus ditransformasi jadi energi positif. Rivalitas penting untuk diubah jadi kerja sama. Indonesia ingin berada di depan, menjadi bagian dari upaya memajukan kolaborasi yang saling menguntungkan di dunia. Di tengah rivalitas, Indonesia konsisten membangun aliansi untuk memperkuat paradigma kerja sama dan kolaborasi,” katanya.