Komunitas global kembali bisa bernapas lega. Washington dan Teheran mengambil langkah untuk meredakan ketegangan yang dipicu tewasnya Mayjen Qassem Soleimani. Irak turut berperan.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·4 menit baca
KAIRO, KOMPAS —Amerika Serikat dan Iran diberitakan telah mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan saling gelar serangan balasan. Langkah itu diambil untuk mencegah perang lebih luas di Timur Tengah.
Keputusan itu—seperti beredar di pemberitaan beberapa media Arab—Kamis (9/1/2020), terjadi berkat mediasi tidak langsung dan sekaligus kebijakan Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi. PM berupaya mencegah Irak menjadi ajang perang besar AS-Iran.
Peran PM Mahdi adalah ia menerima pemberitahuan dari Iran bahwa Garda Revolusi Iran akan menyerang kamp militer AS, Ain al-Assad, di Provinsi Al-Anbar, Irak barat, dan kamp militer Harir dekat kota Erbil di wilayah Kurdistan, Irak utara, beberapa jam sebelum serangan itu.
Setelah menerima informasi itu, PM Mahdi langsung memberi tahu AS bahwa Iran dalam beberapa jam mendatang akan menyerang kamp militer Ain al-Assad dan Harir sebagai serangan balasan atas tewasnya Qassem Soleimani. AS pun segera mengosongkan kedua kamp militer itu agar tidak jatuh korban sehingga tidak memaksa AS melancarkan serangan balasan.
Tidak ada korban dari pihak AS akibat serangan Iran.
Pasca-serangan itu, Iran puas—karena telah melakukan balasan—di sisi lain, AS lega lantaran tidak ada korban dari pihak AS dan koalisi.
Wakil Presiden AS Mike Pence dalam wawancara dengan stasiun televisi CBS, Rabu lalu, mengakui bahwa AS telah mengosongkan kamp militer Ain al-Assad dan Harir sebelum datang serangan balasan Iran. Namun, Pence mengungkapkan, keputusan mengosongkan kamp militer Ain al-Assad dan Harir setelah mendapat laporan dari sistem peringatan dini tentang adanya gerakan Iran untuk menyerang dua kamp militer tersebut. Pence tidak menyebut peran PM Irak Abdul Mahdi.
Pence juga mengungkapkan telah mendapat informasi intelijen bahwa Iran telah meminta loyalisnya di Irak tidak melancarkan serangan balasan terhadap sasaran militer ataupun sipil AS.
Presiden AS Donald Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih, Rabu, mengatakan, tidak ada korban dari pihak AS akibat serangan Iran.
Trump siap berunding
Trump menegaskan tidak ingin menggunakan opsi militer melawan Iran, tetapi lebih memilih menjatuhkan sanksi ekonomi tambahan terhadap Teheran. Selain itu, Trump menyatakan siap berunding dengan Iran tanpa prasyarat untuk menurunkan ketegangan dan sekaligus menciptakan perdamaian di Timur Tengah.
Di Teheran, Presiden Iran Hassan Rouhani kembali mengisyaratkan bahwa Iran tidak akan melanjutkan serangan balasan militer terhadap posisi AS. Rouhani menegaskan, aksi balasan hakiki terhadap AS adalah perjuangan mengusir AS dari Timur Tengah.
Duta Besar Iran untuk PBB Majid Takht-Ravanchi dalam wawancara khusus dengan stasiun televisi Al Jazeera, Kamis, mengatakan, krisis AS-Iran di Irak sudah berakhir dan Iran tidak ingin eskalasi ketegangan atau berperang dengan AS.
”Sekarang bergantung kepada AS. Kalau AS tidak melancarkan serangan balasan lagi, masalahnya sudah selesai. Namun, kalau AS menyerang lagi, Iran akan melancarkan serangan lebih besar lagi,” ujar Ravanchi kepada Al Jazeera.
Pemimpin muda Syiah di Irak, Moqtada Sadr, Rabu, menegaskan, krisis AS-Iran telah selesai setelah kedua negara itu sama-sama menyatakan tidak ingin ada eskalasi ketegangan.
Kalau AS menyerang lagi, Iran akan melancarkan serangan lebih besar lagi.
Ia menyerukan, milisi-milisi bersenjata di Irak lebih bisa menahan diri dan tidak melancarkan serangan balasan terhadap sasaran AS di Irak. Hal itu penting untuk memberi kesempatan pada upaya regional dan internasional menurunkan tensi ketegangan.
PM Mahdi pun menegaskan, pihaknya menolak keras Irak dijadikan ajang perang AS-Iran.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu, Kamis, mengunjungi Baghdad sebagai bagian dari upaya regional untuk menurunkan tensi ketegangan AS-Iran di Irak.
Setiba di Baghdad, Cavusoglu langsung menemui Presiden Irak Barham Salih, PM Adel Abdul Mahdi, dan Menlu Irak Mohamad al-Hakim.
Irak adalah negara tetangga Turki yang sekaligus juga salah satu negara pemasok minyak terbesar ke Turki. Turki paling cemas dan merasa paling dirugikan jika meletus perang AS-Iran di Irak karena akan sangat mengganggu perekonomian Turki.
Pengamat politik Irak, Riad al-Arar, mengatakan, posisi Irak paling lemah dalam konflik AS-Iran saat ini dan Irak dijadikan ajang pertarungan kedua negara itu.
Oleh karena itu, kata Al-Arar, Irak butuh bantuan serta solidaritas regional dan internasional untuk menyelamatkan Irak dan menekan AS-Iran agar tidak menjadikan Irak sebagai ajang pertarungan.
Al Arar menyebut, kunjungan Cavusoglu ke Baghdad tersebut adalah bagian dari upaya regional menyelamatkan Irak dari ajang pertarungan