China diduga mencoba hadir secara fisik di zona tersebut dengan berulang kali kapal patroli negara itu mengawal nelayan mereka di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Dewan Perwakilan Rakyat khawatir pemerintah melunak soal Natuna. Fenomena dalam beberapa hari terakhir seharusnya menjadi pemicu pembenahan tata kelola kemaritiman. Anggota Komisi I DPR, Sukamta, mengatakan, sudah mendengar penjelasan bahwa sikap Kementerian Luar Negeri soal Natuna selalu konsisten.
Sebaliknya, beberapa pejabat dari kementerian lain terkesan lunak soal Natuna beberapa waktu terakhir. ”Jangan-jangan, Indonesia malah melunak seperti negara lain,” ujar Sukamta dalam diskusi ”Kedaulatan RI atas Natuna” yang digelar Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) di Jakarta, Senin (13/1/2020).
Di Natuna bukan hanya terjadi pelanggaran hak berdaulat. Di sana beberapa waktu terakhir juga terjadi upaya perintangan penegakan hukum. ”Permasalahan Natuna adalah pembuktian NKRI harga mati,” kata Sukamta.
Ia mendorong persoalan di Natuna dimanfaatkan untuk membenahi perundang-undangan soal tata kelola kemaritiman. Di tengah hasrat pemerintah menerbitkan undang-undang sapu jagat untuk mempermudah investasi, diharapkan ada undang-undang sejenis soal kemaritiman.
Indonesia mempunyai sedikitnya 24 undang-undang dan sejumlah peraturan pemerintah hingga keputusan presiden soal kelautan. ”Indonesia terlalu banyak lembaga, tugasnya tidak jelas. Seharusnya badan tunggal dengan tugas beragam,” ujar Sukamta.
Indonesia juga harus jelas mengatur badan yang menjadi garda terdepan dalam tata kelola kemaritiman, khususnya soal penjagaan laut dan pantai. ”Sekarang tidak jelas, apakah TNI AL, polisi air, atau Bakamla. Bakamla, selain tidak jelas tugasnya, armadanya juga tidak ada,” kata Sukamta.
Kehadiran fisik
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengingatkan, hukum internasional bisa saja diabaikan. Karena itu, penting bagi Indonesia hadir secara fisik di zona ekonomi eksklusif (ZEE). ”Nelayan kita harus ke sana,” ujarnya.
Hikmahanto menduga China memberi fasilitas kepada nelayan mereka agar hadir secara fisik di Natuna dengan penguasaan perairan secara faktual.
China diduga mencoba hadir secara fisik di zona tersebut dengan berulang kali kapal patroli negara itu mengawal nelayan mereka di ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Hikmahanto menduga China memberi fasilitas kepada nelayan mereka agar hadir secara fisik di Natuna dengan penguasaan perairan secara faktual.
”Indonesia bisa memberi subsidi atau tidak? Tanpa subsidi, nelayan akan berpikir bisnis dan menimbang untuk apa hadir di sana,” ujarnya.
Meski demikian, penegasan Indonesia bahwa klaim China tidak mempunyai dasar hukum internasional tetap harus disampaikan berulang kali. Dunia internasional juga berpendapat senada dengan Indonesia.
Diplomat senior Hashim Djalal mengatakan, Beijing tidak pernah jelas menyampaikan dasar klaimnya. Hingga sekarang, Beijing tidak bisa menjelaskan koordinat pasti Sembilan Garis Putus. Padahal, garis-garis itu jadi alasan China mengklaim mayoritas Laut China Selatan dan sebagian Laut Natuna Utara.
Dalam penentuan perbatasan laut, koordinat amat penting. Jika perbatasan darat bisa ditentukan berdasarkan bentukan alamiah, seperti bukit dan sungai asli, perbatasan laut membutuhkan koordinat untuk menentukan titik terjauh yang diukur dari garis pangkal.
Pengukuran juga harus menggunakan bentukan alami. Pengukuran tidak boleh menggunakan hasil reklamasi, seperti pulau-pulau buatan China di Laut China Selatan.