Penandatanganan kesepakatan fase satu Amerika Serikat-China diharapkan bisa meredakan perang dagang kedua belah pihak. Ekonomi global pun akan memiliki ruang ”bernapas”.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
WASHINGTON, RABU— Tahap lanjut dari kesepakatan fase satu yang ditandatangani Amerika Serikat dan China di Washington, Rabu (15/1/2020) atau Kamis waktu Indonesia, dinantikan negara-negara serta pelaku pasar keuangan global. Namun, sebelum sampai di sana, isi detail sekaligus syarat yang mungkin ada dari kesepakatan fase satu itu pun menjadi perhatian sekaligus penentu tahap selanjutnya bagi kedua pihak.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan, beberapa masalah teknologi dan keamanan siber akan diselesaikan dalam bab berikutnya dari kesepakatan, untuk mengakhiri sengketa perdagangan kedua negara itu.
”Saya pikir sejumlah masalah teknologi yang sangat signifikan ada di fase satu. Ada beberapa area layanan lain yang jauh dari layanan keuangan yang akan berada di fase kedua. Ada beberapa masalah keamanan siber tambahan yang akan berada di fase kedua,” kata Mnuchin dalam wawancaranya dengan media CNBC. ”Masih ada banyak masalah untuk ditangani dan kami akan mengatasinya.”
Satu hal yang menarik, sebagaimana diungkapkan Mnuchin, Washington dapat meningkatkan tarifnya atas barang-barang asal China yang masuk ke AS jika Beijing gagal memenuhi kesepakatan perdagangan parsial yang ditandatangani kedua negara. Publik pun akan menunggu respons Beijing atas hal itu, termasuk dalam upacara penandatanganan kesepakatan.
”Presiden (AS) memiliki kemampuan untuk mengenakan tarif tambahan,” kata Mnuchin.
Perjanjian fase satu akan menjadi semacam ”gencatan senjata” dalam perang dagang kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu. Hal tersebut diharapkan menjadi ”pintu masuk” bagi penyelesaian, minimal meredanya, perang dagang yang telah berlangsung hampir selama dua tahun ini.
Pemerintahan Trump berpendapat bahwa kesepakatan fase satu adalah awal yang solid yang mencakup komitmen China untuk berbuat lebih banyak melindungi kekayaan intelektual, menghentikan praktik memaksa perusahaan asing untuk menyerahkan teknologi yang sensitif, dan menahan diri dari memanipulasi mata uang mereka yang lebih rendah untuk menguntungkan eksportir China.
Sebelum penandatanganan fase satu itu, faktanya, Kementerian Keuangan AS pada awal pekan ini membatalkan pernyataan ataupun penunjukan Beijing sebagai manipulator mata uang. Dengan mempertahankan tarif yang signifikan atas impor China, Pemerintah AS mempertahankan pengaruhnya untuk memaksa Beijing mematuhi komitmennya. Hal itu adalah sesuatu yang diklaim Washington telah gagal dilakukan Beijing selama beberapa dekade.
Materi kesepakatan
Merujuk pada informasi yang diperoleh sebelum penandatanganan, kesepakatan fase satu itu tidak banyak memaksa China untuk melakukan reformasi ekonomi secara besar-besaran, seperti mengurangi subsidi bagi perusahaan-perusahaan China sebagai sesuatu yang dinilai tidak adil. Hal-hal seperti itu sejatinya yang diincar dan dicari pemerintahan Trump ketika memulai perang dagang dengan mengenakan tarif impor terhadap China pada Juli 2018.
Sebagian besar analis menilai sekaligus memproyeksikan resolusi yang fundamental—terkait tuduhan utama AS kepada China—butuh waktu lebih panjang, yakni bertahun-tahun. Hal itu terutama untuk menjawab pertanyaan apa dan bagaimana taktik Beijing sesungguhnya dijalankan, terutama dalam upayanya untuk menggantikan supremasi teknologi Amerika.
Pihak-pihak yang skeptis mengatakan, resolusi yang memuaskan mungkin nyaris mustahil dicapai. Hal itu terutama mengingat ambisi China untuk menjadi pemimpin global dalam teknologi canggih, seperti mobil tanpa pengemudi dan kecerdasan buatan.
”Penandatanganan perjanjian fase satu akan mewakili harapan, meskipun sedikit, deeskalasi perang dagang antara China dan AS,” kata Eswar Prasad, seorang ekonom Universitas Cornell dan mantan Kepala Divisi Dana Moneter Internasional China. ”Namun (kesepakatan), itu hampir tidak membahas dengan cara apa pun sumber mendasar dari ketegangan perdagangan dan ekonomi kedua belah pihak yang akan terus berkecamuk.”
Dalam sebuah surat kepada Trump, Selasa, anggota senat dari Partai Demokrat, Chuck Schumer, mengeluh bahwa kesepakatan fase satu tampaknya hanya menghasilkan kemajuan sangat sedikit. Hal yang dimaksudkan Schumer adalah kemajuan dalam mereformasi perilaku perdagangan China yang disebutnya rakus. Kesepakatan itu pun ditengarai akan mengirim sinyal kepada negosiator China bahwa AS dapat diperdaya.
Masalah yang lebih sulit sekaligus fundamental diharapkan akan diangkat dalam putaran negosiasi selanjutnya, pasca- penandatanganan fase satu itu. Namun hingga sebelum penandatanganan fase satu dilakukan, hal itu tidak jelas kapan akan dimulai. Bahkan hanya sedikit pihak yang mengharapkan banyak kemajuan sebelum pemilu AS digelar pada November tahun ini.
”Fase dua, sebuah hal yang tidak juga saya tunggu-tunggu melalui panggilan telepon,” kata John Veroneau menggambarkan pesimismenya terkait lanjutan negosiasi. Veroneau adalah seorang pejabat perdagangan AS pada masa pemerintahan Presiden George W Bush. Saat ini ia adalah ketua bersama perdagangan internasional di lembaga Covington & Burling. ”Itu mungkin menjadi topik pada tahun 2021,” katanya.
Normal baru
Chad Bown dari Institut Peterson untuk Ekonomi Internasional menghitung bahwa perjanjian fase satu tetap bakal mempertahankan hampir dua pertiga impor China yang tercakup oleh tarif yang sebelumnya diberlakukan Trump. Tarif pembalasan Beijing terhadap Washington memengaruhi lebih dari setengah ekspor Amerika ke China.
Tarif rata-rata AS untuk impor China telah meningkat dari 3 persen pada Januari 2018 menjadi 21 persen untuk saat ini. Bown menegaskan, tarif yang tinggi di antara dua negara dengan ekonomi terbesar dunia itu adalah sebuah kondisi normal baru.
Di sisi lainBloomberg mempertanyakan apakah penandatanganan fase satu itu akan mengubah hubungan AS-China. Disebutkan hubungan ekonomi AS-China itu bagi sebagian pejabat AS dinilai sebagai contoh kejahatan globalisasi, memicu ketegangan teknologi dan geopolitik abad ke-21, sekaligus kesalahan presiden AS sebelumnya.
Kesepakatan fase satu itu dinilai bukan perjanjian standar. Kesepakatan setebal 86 halaman tersebut dinilai kurang mencakup substansi dan komitmen. Maka, solusi perang dagang AS-China tetap bergantung pada lanjutan negosiasi selanjutnya. (AP/REUTERS)