Gencatan senjata dan pengawasan mekanisme itu diharapkan menjadi langkah pertama menuju perdamaian di Libya.
Oleh
·3 menit baca
BERLIN, JUMAT— Jerman dan Perserikatan Bangsa-Bangsa berupaya mendesak dua pihak yang bertikai di Libya dan kekuatan-kekuatan asing pendukung dua kubu itu menyepakati gencatan senjata dalam pertemuan di Berlin, Jerman, Minggu (19/1/2020). Gencatan senjata dan pengawasan mekanisme itu diharapkan menjadi langkah pertama menuju perdamaian di Libya.
Sejumlah diplomat dan draf komunike, Jumat (17/1), menyebutkan bahwa pertemuan di kantor Kanselir Angela Merkel tersebut tidak akan menjembatani soal pembagian kekuasaan antara pemerintahan di Libya timur dan pemerintahan yang diakui internasional di Tripoli.
Pertemuan itu akan memberi tekanan pada Komandan Tentara Nasional Libya (LNA) Khalifa Haftar, penguasa di wilayah timur, untuk menghentikan serangan yang sudah berlangsung dalam sembilan bulan terakhir terhadap pemerintahan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj. Akibat konflik di Libya, sekitar 140.000 orang terpaksa mengungsi.
Haftar dan Sarraj akan hadir di Berlin. Begitu juga para pemimpin asal Rusia, Turki, Mesir, serta negara-negara Arab dan Barat. Haftar didukung oleh Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, Jordania, Sudan, dan para petempur asal Chad, serta tentara bayaran asal Rusia. Perancis juga memberi sebagian dukungan kepada Haftar.
Di pihak lain, Sarraj didukung Turki, Italia, dan Qatar. Turki pekan ini mengumumkan untuk segera mengerahkan pasukannya untuk mendukung Sarraj dan mengimbangi tekanan dan keuntungan kubu Haftar yang terbantu oleh para penembak runduk Rusia. Sejumlah diplomat menyebutkan, para petempur pro-Turki dari Suriah juga telah dikerahkan ke Libya.
”(Pertemuan di) Berlin adalah kesempatan untuk memulai kembali proses politik dan menghentikan pertempuran,” ujar seorang diplomat Barat.
Draf komunike setebal enam halaman yang dilihat kantor
berita Reuters menyebutkan adanya seruan pada ”langkah-langkah kredibel, terverifikasi, berurutan, dan bersifat timbal-balik” yang dimulai dengan gencatan senjata di bawah pengawasan sebuah komite teknis.
Pekan lalu, Turki dan Rusia mendesak pihak-pihak yang bertikai di Libya untuk melakukan gencatan senjata dalam perundingan di Moskwa, Rusia. Namun, kedua pihak tidak mencapai kesepakatan karena Haftar menolak menandatangani gencatan senjata yang mengikat pada Senin lalu.
Langkah Turki
Secara terpisah, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Ankara mengatakan, pihaknya mulai mengirim pasukan ke Libya untuk mendukung pemerintahan PM Fayez al-Sarraj. ”Para personel militer Turki tidak akan ikut berperang. Tentara Turki lainnya yang juga akan dikirimkan nanti tidak akan ikut dalam pertempuran apa pun,” kata Erdogan.
Turki akan menggunakan semua cara diplomatik dan militer untuk memastikan stabilitas di Libya.
Ia mengatakan bahwa Turki akan menggunakan semua cara diplomatik dan militer untuk memastikan stabilitas di Libya. Erdogan juga memperingatkan pada Selasa lalu bahwa Turki tidak akan menahan diri jika pasukan Haftar melanjutkan serangan mereka.
Turki dan Libya menandatangani dua perjanjian pada November 2019. Perjanjian pertama tentang kerja sama militer dan perjanjian kedua tentang batas-batas laut di Laut Tengah bagian timur. Erdogan mengatakan, Kamis lalu, bahwa Turki akan segera mengeluarkan lisensi untuk eksplorasi dan pengeboran di wilayah tersebut.
”Di wilayah antara Turki dan Libya sekarang secara hukum tidak mungkin ada kegiatan eksplorasi dan pengeboran atau pipa tanpa persetujuan kedua belah pihak,” kata Erdogan.
Menurut Erdogan, setelah adanya lisensi ini, kapal eksplorasi seismik Oruc Reis milik Turki akan memulai operasi penelitian seismik di wilayah ini. Yunani, Siprus, dan negara regional lainnya telah menentang perjanjian antara Turki dan Libya itu. Mereka menyebut perjanjian itu ilegal. Turki menolak hal tersebut.
Laut Tengah bagian timur diperkirakan menyimpan 120 triliun meter kubik gas yang kini menjadi rebutan negara-negara di tepi Laut Tengah bagian timur. Turki—yang miskin sumber alam dan sekitar 95 persen kebutuhan minyak dan gas negara itu diimpor dari luar negeri—memiliki ambisi besar untuk mendapat bagian dari kekayaan gas yang melimpah di Laut Tengah bagian timur itu.
Namun, pada Januari 2019, tujuh negara yang ada di tepi Laut Tengah bagian timur sepakat membentuk Forum Gas Laut Tengah Bagian Timur dengan kantor pusat di Kairo, Mesir. Tujuh negara itu adalah Mesir, Yunani, Siprus, Israel, Italia, Jordania, dan Palestina.