Menjelang keluarnya putusan sela Mahkamah Internasional dalam kasus genosida di Rakhine, komisi bentukan Myanmar menyebut ada kejahatan perang, tetapi tak ada genosida.
Oleh
ELK DYAH MESSWATI
·3 menit baca
NAYPYIDAW, SELASA—Komisi Penyelidikan Independen yang dibentuk Pemerintah Myanmar menyatakan, Senin (20/1/ 2020), militer Myanmar telah melakukan kejahatan perang. Ini terjadi dalam operasi melawan pemberontak, yang mengakibatkan lebih dari 700.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Komisi itu menyebut tak ada bukti pendukung tuduhan bahwa militer Myanmar telah melakukan kejahatan genosida terencana terhadap etnis Rohingya.
Para penggiat hak asasi manusia dan tokoh Rohingya menyatakan, laporan tersebut sebagai upaya untuk menutupi kesalahan menjelang keluarnya putusan sela Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, terkait dakwaan genosida di Myanmar. PBB menyebut bahwa pemerkosaan dan pembunuhan massal selama operasi militer Myanmar itu dilakukan dengan ”tujuan genosida”.
Komisi Penyelidikan Independen itu dipimpin oleh diplomat Filipina, Rosario Manalo. Dalam laporan yang disampaikan kepada Presiden Myanmar Win Myint, Senin, bahwa komisi tersebut menyatakan, meskipun kejahatan berat dan pelanggaran itu dilakukan oleh banyak aktor, ada alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa anggota pasukan keamanan Myanmar terlibat dalam kejahatan perang, pelanggaran hak asasi manusia yang serius, dan pelanggaran hukum domestik pada 2017.
Jika bukan genosida, apa itu namanya?
Laporan komisi itu juga menyatakan bahwa pembunuhan penduduk desa yang tidak bersalah dan perusakan rumah mereka dilakukan oleh beberapa anggota pasukan keamanan Myanmar dengan penggunaan kekuatan yang tak proporsional selama konflik bersenjata.
Presiden Win Myint, Selasa (21/1), menyatakan bahwa pemerintah ”setuju” dengan hasil temuan Komisi Penyelidikan Independen tersebut dan berjanji melanjutkan penyelidikan, khususnya terkait dugaan kejahatan oleh warga sipil dan pemberontak Rohingya. Myint menambahkan, dirinya telah meneruskan laporan itu kepada militer sehingga militer dapat memperpanjang penyelidikan yang sedang berlangsung.
Sementara itu, di Bangladesh, tempat pengungsian ratusan ribu warga Rohingya, pemimpin etnis Rohingya bernama Dil Mohammed menyebut laporan Komisi Penyelidikan Independen itu sebagai kebohongan. ”Kami telah dianiaya selama beberapa dekade. Begitu banyak dari kami terbunuh, perempuan diperkosa, anak-anak kami dilemparkan ke dalam api, dan rumah kami dibakar. Jika bukan genosida, apa itu namanya?” kata Mohammed.
Komisi Penyelidikan Independen dibentuk pada 2018 saat Myanmar menghadapi tekanan besar dalam kasus Rohingya. Pemerintah Myanmar menunjuk dua warga lokal dan wakil internasional, yakni diplomat Filipina, Rosario Manalo, dan mantan Duta Besar Jepang untuk PBB Kenzo Oshima, sebagai anggota komisi tersebut.
Putusan sela
Laporan Komisi Penyelidikan Independen itu diumumkan sebelum Mahkamah Internasional dijadwalkan mengeluarkan putusan sela dalam dakwaan genosida di Myanmar pada Kamis besok. Tahun lalu Gambia mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah Internasional atas nama 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan menyatakan genosida telah terjadi dan terus berlanjut di Myanmar.
Myanmar mengatakan upaya membawa kasus Rohingya ke Mahkamah Internasional telah melanggar kedaulatan Myanmar. Terkait hal itu, Pemerintah Myanmar berjanji akan melakukan penyelidikan sendiri atas tuduhan genosida tersebut.
Namun, sejauh ini hanya sedikit pihak yang telah dihukum dalam kasus tuduhan itu. Tujuh tentara yang dihukum penjara selama 10 tahun karena membunuh 10 pria dan anak laki-laki Rohingya di Desa Inn Din justru telah dibebaskan awal November 2019, setelah mereka menjalani hukuman kurang dari setahun di penjara.
Militer Myanmar membantah semua tuduhan itu.
Dalam sidang awal di Mahkamah Internasional, Desember lalu, Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi membantah keras tuduhan atas kesalahan yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar. Sikap dan tanggapan Suu Kyi dalam kasus tersebut, meski ia tak memiliki kendali atas militer Myanmar, mengundang kritik dan kecaman global.
Krisis Rohingya meledak pada Agustus 2017 ketika militer Myanmar melakukan operasi militer di Negara Bagian Rakhine sebagai balasan terhadap kelompok pemberontak Pasukan Keselamatan Arakan Rohingya (ARSA). Konflik bersenjata di wilayah itu memaksa lebih dari 700.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Hingga kini, mereka masih bertahan di tempat pengungsian.
Selama operasi berlangsung, muncul tuduhan bahwa pasukan keamanan Myanmar telah melakukan pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran ribuan rumah warga Rohingya. Militer Myanmar membantah semua tuduhan itu.