Perjuangan Perempuan Afghanistan Memiliki Rumah di Tengah Perang
Bagi perempuan janda di Afghanistan, kehilangan suami bukan hanya berarti ia tak lagi memiliki pelindung dan penopang kehidupan ekonomi keluarga. Kehilangan suami sama artinya kehilangan hak atas lahan dan properti.
Peperangan selalu meninggalkan penderitaan, malapetaka, dan kegetiran hidup. Korban jiwa, kerusakan infrastruktur, pengungsian, dan kehilangan sumber ekonomi hanyalah beberapa contoh penderitaan akibat perang. Di Afghanistan, negara yang sudah empat dekade dikoyak perang, salah satu kelompok paling menderita akibat perang adalah perempuan yang menjanda setelah ditinggal mati oleh suaminya akibat pertempuran.
Bagi perempuan janda di Afghanistan, kehilangan suami bukan hanya berarti ia tak lagi memiliki pelindung dan penopang kehidupan ekonomi keluarga serta dituntut mengurus anak-anaknya sendirian. Kehilangan suami sama artinya juga kehilangan hak atas lahan dan properti yang ditinggalkan suaminya.
Nasim Gul (45), janda dengan empat anak, setelah suaminya tewas dalam pertempuran, mengungsi dari rumah mereka yang terbakar di Provinsi Baghlan, sekitar 263 kilometer utara Kabul, ibu kota Afghanistan. Ia tinggal di rumah sepupunya. Untuk menafkahi keempat anaknya, ia bekerja menjahit pakaian.
Sebagai seorang janda, Gul tidak dapat mengklaim sebidang kecil tanah yang selama ini digarap suaminya. Dia juga tidak diterima di rumah keluarganya yang dia tinggalkan saat menikah muda. ”Tanpa suami, sangat sulit bagi saya untuk memiliki rumah,” kata Gul, yang selalu mengenakan burkak, pakaian yang menutupi ujung kepala hingga ujung kaki, saat dia keluar rumah.
Sembilan tahun tinggal bersama sepupunya, Gul mengaku sangat kesulitan hidup. ”Tidak ada seorang pun yang mau memberikan rumah kepada perempuan yang tidak menikah,” ujarnya.
Baca juga : Para Perempuan Afghanistan Waswas
Norma budaya
Gul adalah satu dari sekitar 2 juta janda di Afghanistan yang terkena dampak perang. Banyak perempuan yang menjanda di Afghanistan tidak berpendidikan dan tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan. Sejumlah kelompok pegiat hak asasi manusia (HAM) menambahkan, mereka umumnya juga tak memiliki hak atas tanah dan properti karena hanya nama suami yang tertera di dokumen sertifikat.
Hak perempuan Afghanistan atas tanah dan properti sebenarnya telah diakui dalam konstitusi Afghanistan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan hukum syariah Islam. Namun, menurut Sheila Qayumi dari organisasi nirlaba Kesetaraan untuk Perdamaian dan Demokrasi, kepemilikan lahan dan properti biasanya melekat pada laki-laki. Norma budaya Afghanistan serta praktik adat sering kali menjadi penghalang bagi perempuan, terutama mereka yang janda atau bercerai, untuk memperoleh hak kepemilikan lahan dan properti itu.
”Terutama di wilayah provinsi, hak perempuan sangat dibatasi dan (perempuan) diperlakukan tidak lebih baik daripada sapi atau kambing. Mereka tidak punya hak dan nama mereka umumnya tidak ada pada dokumen sehingga sulit bagi mereka untuk mengklaim hak hukum mereka,” kata Qayumi.
Terutama di wilayah provinsi, hak perempuan sangat dibatasi dan (perempuan) diperlakukan tidak lebih baik daripada sapi atau kambing.
”Perempuan yang bercerai dan janda yang suaminya meninggal sering kali harus tinggal di rumah saudara atau ipar laki-laki mereka, di mana mereka bisa mengalami pelecehan atau kekerasan jika ingin mengklaim hak atas tanah atau properti mereka. Jadi, untuk menghindari hal itu, mereka sering mengabaikan hak mereka,” tutur Qayumi.
Lompatan besar
Saat ini perempuan Afghanistan sebenarnya telah mengalami lompatan besar kemajuan. Apalagi jika dibandingkan dengan pengekangan terhadap mereka pada masa pemerintahan Taliban (1996-2001). Kala itu, perempuan dilarang bersekolah, bekerja, aktif berpolitik, dan bahkan pergi keluar tanpa saudara laki-laki. Kini, makin banyak perempuan Afghanistan berhasil menyelesaikan pendidikan dan bekerja pada bidang-bidang yang sebelumnya hanya dilakukan oleh laki-laki.
Baca juga : Perempuan Afghanistan Melawan Diskriminasi
Namun, perempuan Afghanistan masih terus menghadapi pelecehan dan berbagai rintangan, khususnya terkait kepemilikan rumah, lahan, dan properti. Menurut data Bank Dunia, hanya sekitar 12 persen tanah di Afghanistan yang bisa ditanami. Perang selama 40 tahun konflik di Afghanistan menyebabkan lahan dan properti jatuh ke tangan komandan perang dan tuan tanah.
Akibatnya, banyak warga Afghanistan yang tidak memiliki akses kepemilikan atas lahan itu terpaksa mengungsi. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, tercatat sekitar 2,5 juta pengungsi di dunia saat ini berasal dari Afghanistan. Ini merupakan jumlah pengungsi paling banyak setelah Suriah. Selain itu, lebih dari 2 juta pengungsi Afghanistan telantar di dalam negeri akibat lamanya pertempuran di negeri itu.
Meski perang belum berakhir, ratusan ribu pengungsi Afghanistan dipaksa untuk kembali atau kembali dengan kemauan sendiri ke rumah asal mereka. Namun, banyak juga pengungsi yang memilih untuk menetap dan bekerja di kota untuk menafkahi hidup mereka. Mereka berupaya memiliki rumah, dengan memanfaatkan bidang tanah yang ada untuk membangun rumah ilegal.
Menurut otoritas pemerintah, struktur informal atau permukiman ilegal ini mencapai dua pertiga dari permukiman di kota-kota besar, termasuk Kabul.
Prioritas pemerintah
Menurut Arifullah Arif, Direktur Perencanaan dan Kebijakan untuk Kementerian Pembangunan Perkotaan dan Pertanahan, pembangunan perumahan untuk pengungsi yang kembali ke tempat tinggal asal dan perumahan bagi rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan janda kini menjadi prioritas Pemerintah Afghanistan. Pemerintah Afghanistan berencana membagikan setidaknya 200.000 apartemen tahun ini dan akan membangun perumahan tambahan sesuai kebutuhan.
Pemerintah juga berniat untuk memberikan 1 juta ”Sertifikat Hunian” kepada pemukim informal selama tiga tahun ke depan. Sertifikat Hunian ini akan melindungi pemegang sertifikat dari penggusuran selama lima tahun ke depan, setelah itu mereka berhak mengajukan permohonan sertifikat tanah.
Menuliskan nama perempuan di sertifikat tanah atau properti memiliki dampak besar secara budaya dan psikologis.
Tidak seperti yang lazim terjadi di Afghanistan, sertifikat itu akan diterbitkan atas nama suami dan istri, dan juga atas nama perempuan yang menjadi kepala rumah tangga karena bercerai atau suaminya meninggal.
Baca juga : Mencari Akhir Perang Panjang di Afghanistan
Wakil Direktur Kota Kabul Wahida Samadi mengatakan, di Distrik 1 Kabul—wilayah terkecil dari 22 distrik yang ada—terdapat 550 rumah tangga (dari 9.600 rumah tangga yang ada di Kabul). Mereka telah menerima Sertifikat Hunian. Banyak dari penerima sertifikat itu adalah rumah tangga yang dikepalai perempuan.
”Menuliskan nama perempuan di sertifikat tanah atau properti memiliki dampak besar secara budaya dan psikologis. Dengan nama yang ditulis bersama (di sertifikat itu), perempuan akan lebih aman bahwa mereka tidak akan diceraikan atau ditinggalkan oleh suami mereka. Bagi para janda, itu juga lebih aman karena mereka mendapat tempat di masyarakat,” tutur Samadi.
Hal itu diakui oleh Rogul Yermal (62), seorang janda yang menerima Sertifikat Hunian dua tahun lalu. Ia menyebutkan, sertifikat tersebut sangat berarti baginya. Ketika suaminya meninggal 15 tahun lalu, kenang Yermal, sepupu laki-lakinya berusaha mengusirnya beberapa kali dari rumah sederhana di lereng bukit. Sejak ia mendapat Sertifikat Hunian, Yermal telah mengecat rumahnya seluas 100 meter persegi dan menggunakan dokumen itu sebagai jaminan untuk pinjaman bank untuk membangun rumah bagi putra bungsunya.
”Sebelumnya saya tidak pernah punya dokumen atas nama saya. Sejak mendapatkan sertifikat itu, saya merasa aman dan bisa tidur nyenyak karena tidak akan ada lagi orang yang bisa merebut rumah saya,” kata Yermal.
Baca juga : Indonesia Dukung Peran Perempuan di Afghanistan
Di seluruh dunia, tanah semakin dilihat sebagai akar penyebab konflik. Setelah perang, akses dan kontrol atas tanah serta sumber daya alam bisa menjadi masalah yang diperdebatkan selama bertahun-tahun. Sistem hukum yang tidak berfungsi, korupsi, kurangnya transparansi dan akuntabilitas, serta hilangnya dokumen hukum dan catatan tanah membuatnya sangat sulit untuk menyelesaikan sengketa tanah selama dan setelah perang.
Jon Unruh, profesor Universitas McGill Montreal, Kanada, menyatakan bahwa perempuan Afghanistan, khususnya janda, menghadapi rintangan besar dalam mendapatkan kembali tanah dan properti mereka semula.
”Upaya mendapatkan kembali tanah mereka akan menjadi masalah karena mereka mungkin tidak memiliki dokumen yang membuktikan pernikahan mereka atau nama mereka tidak tercantum dalam dokumen tanah. Sebab, tanah itu didaftarkan atas nama suami mereka,” kata Unruh.
Kelompok-kelompok pegiat HAM mengatakan, ketika kesadaran tumbuh, kini lebih banyak perempuan Afghanistan membawa kasus-kasus hak waris ke pengadilan, khususnya di daerah perkotaan. Namun, muncul kekhawatiran bahwa rencana penarikan pasukan AS dari Afghanistan justru dapat menghambat kemajuan yang telah dicapai saat ini. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)