AS Berlakukan Pembatasan Visa untuk "Wisata Melahirkan"
“Wisata melahirkan” merupakan bisnis yang menggiurkan di AS. Banyak perusahaan AS beriklan dan memasang tarif hingga 80.000 dolar AS (sekitar Rp 1 miliar) untuk biaya persalinan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
WASHINGTON, KAMIS -- Pemerintah Amerika Serikat mulai memberlakukan pembatasan visa bagi mereka yang ingin masuk ke AS untuk alasan yang disebut dengan “wisata melahirkan”. Pembatasan ini berlaku efektif mulai Jumat (24/1/2020). Departemen Luar Negeri AS akan mempublikasikan panduan lengkap peraturan keimigrasian yang baru ini pada Kamis (23/1/2020).
Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengungkapkan, pembatasan itu “bertujuan mengatasi persoalan keamanan nasional dan risiko penegakan hukum terkait dengan wisata melahirkan, termasuk tindak kriminal yang berhubungan dengan industri wisata melahirkan”.
Harian The New York Times menyebut, panduan baru ini akan berdampak pada visa nonimigran kategori B1 dan B2, yaitu visa sementara untuk keperluan bisnis, kunjungan wisata, atau pengobatan medis. Dengan pembatasan ini, pemohon visa yang akan masuk ke AS dengan tujuan utama untuk melahirkan tidak cukup hanya dengan visa turis. Mereka akan diperlakukan seperti warga asing lainnya yang berkunjung ke AS untuk alasan pengobatan medis.
Pemohon visa harus membuktikan bahwa kedatangan mereka ke AS adalah untuk perawatan medis dan mereka harus memiliki uang untuk membayarnya. Pada tahun 2018 pemerintah AS menerbitkan 5,7 juta visa B1 dan B2.
"Numpang" melahirkan
Praktik “numpang” melahirkan di AS sebenarnya sah secara hukum meski terkadang ada agen pengurusan visa yang melakukan penipuan visa dan menghindari pajak ditangkap.
Pemerintahan Trump telah membatasi semua izin di keimigrasian. Tetapi, di antara semuanya Trump sangat terganggu oleh isu kewarganegaraan karena kelahiran. Berdasarkan konstitusi AS, siapa saja yang lahir di AS dianggap sebagai warga negara AS, meski orangtuanya bukan warga AS, sehingga bisa mendapatkan paspor AS.
Trump ingin menghapus ketentuan tersebut. Membatasi visa bagi perempuan hamil adalah upaya untuk mulai merealisasikan keinginan itu. Akan tetapi, para pakar dan jajaran pemerintahan menyatakan bahwa hal itu tidak mudah dilakukan. Tidak mudah bagi petugas konsuler mengetahui, apakah pemohon visa sedang hamil atau tidak. Begitu juga, apakah seorang perempuan bisa ditolak masuk ke AS oleh petugas imigrasi karena dicurigai akan hamil selama di AS hanya dengan melihatnya.
Praktik “numpang” melahirkan di AS sebenarnya sah secara hukum meski terkadang ada agen pengurusan visa yang melakukan penipuan visa dan menghindari pajak ditangkap.
Panduan keimigrasian yang baru ini tidak melarang perempuan hamil untuk memperoleh visa AS. Selama wawancara pengajuan visa petugas konsuler tidak perlu menanyakan, apakah seorang perempuan sedang hamil atau berniat hamil. Tetapi, yang harus mereka ketahui, yaitu apakah tujuan utama kunjungan perempuan tersebut ke AS adalah untuk melahirkan atau tidak.
Bisnis menggiurkan
“Wisata melahirkan” merupakan bisnis yang menggiurkan di AS. Banyak perusahaan AS beriklan dan memasang tarif hingga 80.000 dolar AS (sekitar Rp 1 miliar) untuk biaya persalinan, termasuk untuk kamar hotel dan layanan kesehatan. Banyak perempuan dari Rusia dan China yang datang ke AS untuk melahirkan anaknya. Praktik ini telah berlangsung sejak sebelum Trump berkuasa.
Namun, tidak ada data berapa banyak perempuan asing yang datang ke AS untuk melahirkan. Pusat Studi Imigrasi, yang memperjuangkan regulasi imigrasi yang ketat, memperkirakan bahwa pada tahun 2012 ada sekitar 36.000 perempuan warga asing yang “numpang” melahirkan di AS.
Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS, di tahun 2018 ada 3,8 juta kelahiran hidup di AS. (AP)