Pelarangan perjalanan ke luar negeri bagi warga China akibat penularan virus korona jenis baru berpotensi memukul industri pariwisata Asia. Turis China penopang turisme kawasan.
Oleh
·3 menit baca
Pelarangan perjalanan ke luar negeri bagi warga China akibat penularan virus korona jenis baru berpotensi memukul industri pariwisata Asia. Turis China penopang turisme kawasan.
BEIJING, SENIN— China melarang warga berwisata secara rombongan, baik dalam program wisata di dalam negeri maupun ke mancanegara. Hal tersebut bertujuan mencegah penularan virus korona jenis baru. Pelarangan diterapkan seiring dengan pelarangan aktivitas penerbangan umum menuju dan keluar dari Wuhan, kota tempat pertama ditemukannya virus korona jenis baru itu.
China adalah salah satu sumber utama pasokan wisatawan ke luar negeri, termasuk di Asia. Merujuk data yang dihimpun perusahaan riset Capital Economics, jumlah wisatawan dari China yang bepergian ke luar negeri melonjak hampir sepuluh kali lipat sejak 2003.
Pelaku pariwisata, khususnya perusahaan penyedia jasa perjalanan yang selama ini melayani wisatawan asal China, mulai mengeluh turunnya pesanan. Pelaku-pelaku wisata di kawasan wisata, seperti pantai dan pusat perbelanjaan turis, mengeluhkan hal yang sama. Kekhawatiran atas masa depan mereka—baik jangka pendek maupun menengah—pun menyeruak.
Wabah virus korona versi baru kali ini pun mengingatkan pengalaman atas dampak yang timbul akibat krisis merebaknya SARS tahun 2002. Kala itu perjalanan regional dapat dikatakan lumpuh beberapa waktu. Akibatnya, ekonomi secara lokal pun hancur, terutama bagi China. Jumlah wisatawan China di kawasan pun kemudian turun sekitar sepertiganya.
”Jika jumlah mereka jatuh dengan jumlah yang sama lagi, diperkirakan akan menurunkan 1,5-2,0 poin persentase dari produk domestik bruto (PDB) di negara-negara yang paling rentan,” demikian pernyataan Capital Economics.
Di Jepang, penurunan jumlah wisatawan asal China sudah terasa di Asakusa, daerah tujuan wisata populer di dekat Kuil Sensoji.
”Kami benar-benar telah melihat lebih sedikit orang tahun ini,” kata Yoshie Yoneyama, manajer sebuah toko yang menjual permen tradisional Jepang dan minuman berbasis beras yang disebut amazake. ”Saya kira jumlahnya kurang dari setengah jumlah tahun lalu atau tahun sebelumnya,” katanya.
Jumlah pelancong asal China ke Jepang meledak dari sekitar 450.000 orang tahun 2003 menjadi 8,4 juta orang pada 2018. Jumlah itu mencakup sekitar 27 persen dari total wisatawan asing yang berkunjung ke Tokyo.
Namun, kondisi temaram terlihat mulai tersaji di waktu- waktu mendatang akibat merebaknya penularan virus korona jenis baru kali ini. Yuki Takashima, seorang ekonom di Nomura Securities, menilai bakal sangat sulit bagi Jepang mencapai target kunjungan wisatawan asing yang mencapai 40 juta orang tahun 2020.
Dampak ekonomi
Bagi perekonomian, dampaknya akan sangat terasa, khususnya bagi pelaku usaha yang terkait dengan kepariwisataan dan industri-industri pendukungnya. Sebut saja perhotelan, restoran, dan lokasi-lokasi wisata. Banyak wisatawan China mengunjungi Jepang secara khusus untuk berbelanja.
Kekhawatiran lebih besar tersaji di Thailand, sebagaimana tanda-tanda anjloknya wisatawan asal China terlihat dalam beberapa pekan terakhir. Kondisi itu jika berlanjut dikhawatirkan juga bakal memengaruhi perekonomian Thailand.
Pariwisata menyumbang 18 persen dari total PDB nasional. Wisatawan asal China sendiri menopang lebih dari seperempat total wisatawan asing yang berkunjung ke Thailand. Pihak Kementerian Pariwisata Thailand telah memperingatkan kemungkinan terulangnya pengalaman merebaknya SARS yang menelan biaya hingga 1,6 miliar dollar AS.
Dampak turunnya jumlah wisatawan terlihat di kawasan Phuket. ”Selama dua hari, jalan- jalan, toko-toko, dan pantai sepi,” kata Claude de Crissey, seorang pelaku pariwisata di Phuket. Ia memiliki 40 kamar hotel dan restoran di pulau itu.
”Phuket hampir fokus pada wisatawan dan aneka produk wisata China. Jika situasinya berlanjut, kita semua akan terkena dampaknya,” katanya.