Dalam beberapa tahun belakangan, wabah virus penyakit muncul di sejumlah negara. Negara yang terdampak virus merespons hal itu dengan memantau mobilitas penduduk, termasuk mobilitas untuk berwisata.
Oleh
Bima Baskara
·5 menit baca
Dalam beberapa tahun belakangan, wabah virus penyakit muncul di sejumlah negara. Negara yang terdampak virus merespons hal itu dengan memantau mobilitas penduduk, termasuk mobilitas untuk berwisata. Pantauan tersebut setidaknya tecermin dari travel advisor atau imbauan perjalanan, merespons kemunculan penyakit yang baru di suatu negara. Imbauan perjalanan antara lain dipublikasikan oleh Organisasi Kesehatan dunia (WHO) serta siaran pers dari sejumlah negara.
Sebagai salah satu contoh, tahun 2003, WHO mengeluarkan imbauan perjalanan terkait virus Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) atau sindrom pernapasan akut parah. Dalam sepekan hingga publikasi imbauan perjalanan tanggal 15 Maret 2003, WHO menerima laporan lebih dari 150 kasus virus baru yang penyebabnya belum ditentukan.
Isi imbauan menjelaskan berbagai laporan tentang dugaan SARS yang telah diterima dari Kanada, China, Hong Kong, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, dan juga di Indonesia.
Mobilitas internasional
Pada kasus mewabahnya virus lain seperti avian influenza (AI/H5N1), ebola, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), dan zika, WHO juga memetakan persebaran virus-virus tersebut sekaligus mengeluarkan imbauan bepergian ke negara-negara terdampak. Tak bisa dimungkiri, penyakit, terlebih penyakit baru, kini semakin mudah menyebar. Hal ini terjadi mengingat kemajuan teknologi telah mendukung sistem transportasi yang menjadikan orang kian mudah dan murah untuk bepergian.
Publikasi dari Global Destination Cities Index (GDCI) 2019 di 200 destinasi perjalanan di seluruh dunia menggambarkan tingginya mobilitas penduduk global. Data tersebut menunjukkan, ada lebih dari 176 juta wisatawan berkunjung ke 200 destinasi wisata dunia, termasuk Indonesia pada tahun 2018.
Tingginya mobilitas penduduk diikuti besarnya nilai perputaran uang. Pengeluaran mereka untuk berwisata tahun 2018 mencapai 190,7 miliar dollar AS atau Rp 2.670 triliun. Angka itu setara 18 persen produk domestik bruto Indonesia yang senilai Rp 18.837,4 triliun.
Indonesia dan China termasuk dalam daftar 20 negara teratas dalam hal mobilitas berwisata dan kontribusinya di 200 destinasi wisata. Tahun 2018, ada 8,9 persen dari wisatawan China yang berkontribusi berkunjung ke berbagai destinasi wisata di dunia. Persentase itu melonjak drastis dibandingkan 10 tahun sebelumnya. Saat itu, kontribusi wisatawan China ke berbagai destinasi wisata dunia 2,5 persen.
Andil China terhadap kunjungan wisatawan dan pengeluaran berwisata di berbagai destinasi berada di peringkat kedua setelah Amerika Serikat menurut data GDCI. Indonesia berada di peringkat ke-19. Indonesia juga mencatat proporsi kunjungan wisatawan ke berbagai destinasi wisata dunia 1,4 persen di tahun 2009 dan 1,2 persen di tahun 2018.
Masih merujuk publikasi yang sama, pergerakan pelancong Internasional dari wilayah Asia-Pasifik menunjukkan peningkatan terbesar dalam wisatawan internasional sejak 2009. Pertumbuhan wisatawan dari Asia-Pasifik tumbuh 9,4 persen. Angka itu jauh di atas pertumbuhan wisatawan di Eropa, yang menduduki peringkat kedua dengan pertumbuhan 5,5 persen.
Dampak pariwisata
Merebaknya virus penyakit menjadi ancaman serius bagi dunia pariwisata. Pengalaman dari merebaknya virus AI antara tahun 2006-2009 di banyak negara menjadi salah satu contoh konkret ancaman kesehatan yang berdampak pada pariwisata di sejumlah negara, termasuk di Indonesia.
Laman Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, melalui laporannya pada akhir tahun 2006, memaparkan bahwa jumlah wisatawan mancanegara sepanjang tahun tersebut menurun 4 persen. Jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia tahun 2005 mencapai kisaran 5 juta orang, sedangkan tahun 2006 hanya 4,8 juta orang.
Menurut Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata saat itu, ada tiga alasan yang memengaruhi penurunan kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2006. Pertama adalah gempa di DI Yogyakarta, kedua adalah peristiwa teror Bom Bali II, dan ketiga ialah merebaknya virus AI (Kompas, 28 Desember 2006).
Laporan Kementerian Kesehatan hingga 12 Juli 2009 mencatat, ada 12 kasus baru tambahan dari total 64 orang yang dinyatakan positif terinfeksi virus AI. Dari 12 kasus positif tambahan ini, lima di antaranya mempunyai riwayat perjalanan ke Malaysia, Singapura, Turki, Jepang, dan Selandia Baru. Berdasarkan kewarganegaraan, dari 12 kasus tambahan itu, 2 orang adalah warga asing dan 10 warga Indonesia (Kompas, 13 Juli 2009).
Pada akhir Juli 2005, laporan resmi negara-negara di dunia kepada World Organisation for Animal Health menunjukkan bahwa virus AI telah memperluas jangkauan geografisnya. Tahun 2003, virus AI muncul di Hong Kong, kemudian ditemukan kasus serupa di sejumlah negara. Negara yang terdampak virus AI antara lain Indonesia dan China.
China dan Indonesia kembali menjadi negara yang termasuk terdampak kasus virus lain, yakni SARS. Virus ini teridentifikasi pertama kali melalui penularan dari hewan ke manusia di Guangdong, China, pada 2003.
Temuan virus MERS juga merujuk sejumlah negara yang berkontribusi penting bagi pariwisata Indonesia. Sejak 2012, 27 negara telah melaporkan kasus MERS, termasuk China.
Virus MERS dilaporkan oleh Arab Saudi. Ada sekitar 80 persen virus MERS menjangkiti manusia menurut temuan kasus di Arab Saudi.
Negara ini semakin berperan penting bagi pariwisata Indonesia. Sepanjang Januari-Oktober tahun lalu, tercatat sekitar 60 persen dari total 230.182 wisatawan Timur Tengah yang datang ke Indonesia berasal dari Arab Saudi.
Mitigasi segera
Awal tahun ini, dunia kembali dihadapkan pada ancaman penyebaran virus korona yang teridentifikasi dari Wuhan, China. Munculnya virus Korona dari wilayah China sangat mungkin memengaruhi pariwisata Indonesia.
Data badan Pusat Statistik menunjukkan, ada 1,7 juta lebih wisatawan asal China yang berkunjung ke Indonesia hingga Oktober 2019. Paling tidak, satu dari 10 wisatawan asing yang datang ke Indonesia adalah pelancong dari negeri ini.
Publikasi Global Destination Cities Index 2019 juga mendeskripsikan pertumbuhan tinggi pelancong internasional dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Sementara itu, pertumbuhan tinggi pelancong dari negara-negara kawasan tersebut didorong oleh pertumbuhan tinggi wisatawan asal China.
Sejak 2009, wisatawan asal daratan China menunjukkan kenaikan enam peringkat, menjadi nomor dua negara asal para pelancong yang berkunjung ke 200 destinasi wisata dunia. Menghadapi ancaman wabah virus, khususnya korona yang juga muncul dari China, sektor pariwisata agaknya memerlukan mitigasi segera agar sektor ini tak tergerus dampak virus secara berlebihan.