Dunia belum sepenuhnya siap menghadapi epidemi meski dalam satu dekade terakhir banyak kemajuan dicapai negara-negara di dunia dalam penguatan sistem kesehatan.
Oleh
Adhitya Ramadhan
·3 menit baca
Dunia belum sepenuhnya siap menghadapi epidemi meski dalam satu dekade terakhir banyak kemajuan dicapai negara-negara di dunia dalam penguatan sistem kesehatan.
Vital Strategies, organisasi kesehatan publik global, menyebutkan, hampir lima miliar orang masih rentan terhadap ancaman kesehatan karena kemampuan negara mereka dalam mencegah, mendeteksi, dan menanggulangi penyakit infeksi belum teruji.
Bahkan, negara yang kemampuannya sudah dievaluasi secara eksternal pun masih punya banyak pekerjaan rumah untuk memperkuat sistem kesehatannya. Korea Selatan yang sistem kesehatannya sudah tangguh pun pernah ”kecolongan” dengan masuknya kasus Sindrom Pernapasan Timur Tengah (MERS) tahun 2015.
Selama berabad-abad, wabah penyakit, epidemi, dan pandemi telah berdampak hebat pada kehidupan manusia. Pada tahun 1918, pandemi flu telah menulari sepertiga populasi dunia saat itu dan diperkirakan menelan korban jiwa sekitar 50 juta orang. Dalam dua dekade terakhir ini muncul Sindrom Pernapasan Akut Parah (SARS), MERS, H1N1, Ebola, Zika, dan yang paling anyar, penyakit pernapasan akut akibat virus korona tipe baru (2019-nCoV) di Wuhan, China.
Data terakhir menunjukkan, jumlah kasus positif 2019-nCov telah mencapai 14.628 kasus yang tersebar di 25 negara dengan jumlah korban meninggal 305 jiwa. Diperlukan waktu sekitar delapan bulan bagi SARS tahun 2002-2003 untuk menulari hingga 8.000 orang. Namun, kasus positif virus korona tipe baru ini hanya dalam satu bulan sejak kasus pertama dilaporkan sudah mencapai hampir 15.000 orang.
Tingkat penyebarannya yang cepat hingga keluar dari China ditambah kemampuan virus ini menular antarmanusia semakin membuat dunia khawatir. Apalagi perkembangan terakhir penularan bisa terjadi dari orang positif yang tidak menimbulkan gejala. Isolasi yang ditempuh China pun ternyata belum sepenuhnya efektif mengendalikan penyebaran penyakit. Persoalan lain terkait pasokan makanan, alat kesehatan, dan kemampuan rumah sakit menangani pasien justru muncul.
Negara yang sistem kesehatannya lemah akan mengalami guncangan hebat jika menghadapi ledakan kasus penyakit seperti di China. Itu sebabnya Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan kasus ini sebagai darurat kesehatan global. Pesatnya moda transportasi udara, tingginya urbanisasi, perubahan iklim, dan interaksi dengan satwa liar membuat manusia rentan terpapar penyakit infeksi.
Konflik dan instabilitas di sejumlah negara juga menghambat penanganan penyakit. Di Afrika, misalnya, sering kali tenaga kesehatan yang sedang menangani pasien Ebola justru menjadi sasaran kelompok yang bertikai. Satu hal yang bisa menjadi pelajaran adalah dunia kembali diingatkan betapa pentingnya surveilans. Bukan hanya surveilans di layanan kesehatan, melainkan juga surveilans yang lebih ke hulu dengan pendekatan one health.
Bagi Pemerintah Indonesia, temuan belasan virus baru termasuk virus korona oleh peneliti IPB University di empat provinsi di Sulawesi, menarik untuk dicermati. Pemerintah harus mulai mengidentifikasi mikroorganisme apa saja yang bersirkulasi di negara yang potensial jadi patogen.