WNI di kota-kota sekitar Hubei, China, kesulitan logistik dan berharap KJRI bisa membantu, terutama makanan. Uang mereka terbatas karena sudah dua kali membeli tiket pulang, tapi penerbangan batal dan uang belum kembali.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga Indonesia yang masih berada di kota-kota di sekitar Hubei, China, mulai menghadapi kesulitan logistik karena pembatasan akses oleh pemerintah setempat untuk mencegah penyebaran virus korona baru. Sebagian WNI ingin pulang, tetapi rencana mereka juga terkendala pembatasan penerbangan di sejumlah negara.
Shafa Raissalya (20), mahasiswa Indonesia Jurusan Bisnis Internasional Jiangsu Food and Pharmaceutical Science College (JFPSC), mengatakan, proses karantina juga terjadi di Huai’an, Jiangsu. Jarak dari Jiangsu ke Hubei sekitar 955 kilometer atau sejauh Jakarta-Jember, Jawa Timur.
”Kami yang masih di sini membutuhkan tambahan stok makanan, masker, cairan pembersih tangan, dan vitamin. Toko dan pasar di Huai’an tutup sejak libur tahun baru Imlek. Sementara jalur bus ke kota juga tutup sejak 30 Januari sehingga kami sulit ke supermarket. Jadi, kami bertahan dengan sisa bahan makanan yang dibeli sebelum Imlek,” tutur Shafa saat dihubungi dari Jakarta, Senin (3/2/2020).
Berdasarkan data Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Cabang Nanjing, China, total ada 1.138 pelajar Indonesia di kota itu dan kota sekitarnya di Jiangsu. Saat ini, ada sekitar 500 pelajar yang masih berada di sana setelah virus merebak.
Menurut Shafa, masih ada 36 pelajar Indonesia yang berada di asrama JFPSC. Mereka sehari-hari selalu mengonsumsi nasi dan sayuran. Pangan seperti daging dan ikan belum berani dikonsumsi oleh mereka karena khawatir dengan virus.
Dengan terbatasnya akses, stok makanan mereka hanya cukup untuk tiga hari ke depan.
Shafa melanjutkan, dengan terbatasnya akses, stok makanan mereka hanya cukup untuk tiga hari ke depan. Solusi lain yang dimiliki adalah memesan makanan secara daring melalui aplikasi Meituan Waimai. Namun, mereka juga harus mempertimbangkan faktor kebersihan makanan dan kondisi keuangan.
”Kami tidak tahu mereka masak dengan bersih atau tidak. Kami juga beli kalau harganya cocok karena beli di situ lebih mahal daripada masak sendiri. Kalau masak sendiri, untuk lauk sayur saja bisa habis sekitar Rp 40.000 per orang untuk seminggu, sedangkan pesan daring bisa Rp 30.000 sampai Rp 40.000 per orang sekali makan,” tutur Shafa.
Cholifah (19), mahasiswa Bisnis Internasional JFPSC lainnya, menambahkan, mereka telah berkoordinasi dengan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Shanghai dan PPI China terkait kondisi terbaru. Sebelumnya, pihak KJRI telah memberikan bantuan masker, vitamin, dan makanan ringan, tetapi bantuan langsung habis.
Kami harap, KJRI bisa membantu suplai logistik di sini, terutama makanan. Uang kami terbatas karena sudah dua kali membeli tiket pulang, tetapi penerbangan batal dan uang belum kembali.
”Kami harap, KJRI bisa membantu suplai logistik di sini, terutama makanan. Uang kami terbatas karena sudah dua kali membeli tiket pulang, tetapi penerbangan batal dan uang belum kembali. Uang yang kami pegang saat ini untuk persiapan naik bus kalau penerbangan kedua jadi,” ujar Cholifah.
Rencana pulang
Shafa melanjutkan, sejumlah mahasiswa telah berupaya untuk mengevakuasi diri sendiri. Sebanyak 28 mahasiswa di Huai’an telah berencana untuk pulang ke Indonesia, termasuk dirinya. Namun, kabar pembatasan penerbangan di sejumlah negara membuat mereka khawatir rencana itu gagal.
”Kami sudah dua kali membeli tiket. Tiket pertama dengan maskapai Scoot yang kemudian batal karena Singapura menutup akses transit. Tiket kedua dengan Thai Lion Air yang kemungkinan batal juga karena bandara Indonesia tutup akses penerbangan dari China per 5 Februari. Tiket saya tanggal 6 Februari,” tutur Shafa.
Lebih lanjut Shafa mengatakan, rencana pulang telah ada sejak 27 Januari 2020. Namun, pemesanan tiket lagi-lagi terkendala masalah ketersediaan dana. Para mahasiswa akhirnya kebanyakan memesan tiket pada tanggal-tanggal yang menyediakan harga murah.
”Kami harap, pihak Kementerian Perhubungan dan Kementerian Luar Negeri bisa menunda penutupan bandara untuk pesawat dari China. Mahasiswa dari sini rencananya pulang tanggal 5, 8, atau 10 Februari,” kata Cholifah.
Ia melanjutkan, para mahasiswa juga tidak keberatan jika pemerintah menawarkan evakuasi dan mewajibkan karantina di Natuna. Hal ini karena kondisi di Huai’an kian tidak menentu.
Wakil Ketua PPI China Cabang Nanjing Aldo Rizky, yang sedang berada di Jakarta, mengatakan, kabar terbaru yang diterima adalah banyak WNI yang berencana untuk pulang. Namun, mereka kesulitan karena tiket yang dibatalkan karena adanya pemblokiran penerbangan.
”PPI China tengah mendata ulang jumlah mahasiswa bersama KJRI Shanghai. Secara umum, kondisi di Nanjing dan sekitarnya terpantau aman bagi pelajar dan WNI di sana. Terkait masalah kesulitan makanan, terus terang, teman-teman di sana belum pernah mengeluh. Jadi, ini informasi baru dan akan kami tindak lanjuti,” ujar Aldo, mahasiswa Jurusan Manajemen Operasi Kereta Api di Nanjing Institute of Railway Technology, Pukou, Nanjing.
Pemerintah China mengarantina Provinsi Hubei dan kota-kota sekitar sejak 23 Januari 2020. Karantina, yang mengisolasi sekitar 50 juta orang, dilakukan untuk mencegah penyebaran virus korona baru atau penyakit pernapasan akut 2019-nCoV. Virus ini telah membunuh 361 orang hingga Senin, 3 Februari.
Pemerintah Indonesia telah mengevakuasi 238 WNI yang berada di Hubei, China, pekan lalu. Mereka kemudian menjalani proses karantina di Natuna, Kepulauan Riau.