China Akui Sistem Darurat Nasionalnya Lemah Merespons Krisis
Komite Tetap Politbiro (PSC), komite pejabat elite Partai Komunis China, mengakui adanya kelemahan sistem manajemen darurat nasional negara itu dan menyerukan perbaikan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
BEIJING, SELASA — Pemerintah China mengakui ada kelemahan sistemik dalam merespons krisis akibat wabah virus korona baru atau penyakit pernapasan akut 2019-nCoV. Sejak dilaporkan pada Desember 2019, jumlah kematian mencapai 425 kasus, melebihi epidemi SARS beberapa tahun lalu.
Komite Tetap Politbiro (PSC), komite pejabat elite Partai Komunis China, mengakui kelemahan itu dan menyerukan perbaikan pada sistem manajemen darurat nasional negara itu. Hal ini diperlukan karena terdapat kekurangan dan kesulitan dalam merespons epidemi virus korona baru.
”Perlu untuk memperkuat pengawasan pasar, mempertegas larangan, serta menindak keras pasar dan perdagangan satwa liar ilegal,” ujar pejabat PSC dalam pertemuan pada Senin (3/2/2020), seperti diwartakan kantor berita Xinhua.
Selain itu, mereka juga menekankan pentingnya kebutuhan peralatan medis pelindung, seperti masker bedah, pakaian pelindung, dan kacamata, guna mengendalikan penyebaran virus. Pabrik-pabrik produsen masker belum beroperasi secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan.
Juru bicara Kementerian Industri China, Tian Yulong, mengatakan, pabrik-pabrik dengan kapasitas produksi sekitar 20 juta masker per hari hanya memproduksi 60-70 persen dari kapasitas yang dimiliki. Saat ini, produksi dan permintaan pasar masih dalam kondisi seimbang karena libur Imlek.
”Pihak berwenang mengambil langkah-langkah untuk membawa masker dari Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Kementerian Luar Negeri melaporkan, negara-negara lain, termasuk Korea Selatan, Jepang, Kazakhstan, dan Hongaria, telah menyumbangkan pasokan medis,” ujar Tian.
Sejak 23 Januari 2020, China memberlakukan karantina massal di Provinsi Hubei dan sekitarnya setelah pasar hewan eksotis ilegal di Wuhan, ibu kota Hubei, dinyatakan sebagai pusat epidemi.
Sejak 23 Januari 2020, China memberlakukan karantina massal di Provinsi Hubei dan sekitarnya setelah pasar hewan eksotis ilegal di Wuhan, ibu kota Hubei, dinyatakan sebagai pusat epidemi.
Di Wuhan, otoritas berwenang membangun dua rumah sakit baru untuk merawat warga yang terinfeksi. Rumah sakit pertama dengan kapasitas 1.000 pasien telah dibuka sejak Senin, 3 Februari, hanya dalam waktu 10 hari setelah dibangun dan rumah sakit kedua segera beroperasi dalam pekan ini.
Pemerintah juga memperpanjang libur Imlek selama tiga hari dan menutup transportasi publik di beberapa kota. Otoritas berwenang di provinsi besar lain, seperti Guangdong yang memiliki 113 juta penduduk, telah memerintah warga untuk memakai masker di tempat umum.
Komisi Kesehatan Nasional China, Selasa (4/2/2020), melaporkan, total kematian akibat virus korona baru di China menjadi 425 kasus, melebihi jumlah kematian akibat SARS sebesar 349 kasus di China pada 2002-2003. Sementara jumlah warga yang terinfeksi mencapai 20.400 kasus.
Virus korona baru telah menyebar hingga lebih dari 20 negara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menyatakan penyebaran virus korona baru sudah dalam tahap darurat kesehatan global meskipun tidak memberlakukan larangan perjalanan atau perdagangan internasional.
Kematian pertama
Mayoritas kematian terjadi di China. Namun, Filipina dan wilayah otonom China, Hong Kong, melaporkan kematian pertama di luar China pada awal pekan ini.
Filipina melaporkan kematian pertama akibat virus korona di luar China pada Minggu, 2 Februari. Korban adalah seorang laki-laki China (44) yang baru datang dari Wuhan.
Pada Selasa, 4 Februari, Hong Kong melaporkan kematian kedua di luar China, yakni seorang laki-laki (39) yang mengunjungi Wuhan pada Januari 2020. Ia meninggal karena telah memiliki masalah kesehatan sehingga memperumit perawatan dalam penanganan virus.
Hong Kong telah mencatat 15 kasus warga terinfeksi virus korona. Satu kasus ditularkan secara lokal, yaitu ibu dari pasien yang meninggal di Hong Kong.
Kematian tersebut memperkuat argumen ratusan petugas kesehatan Hong Kong yang tengah mogok kerja pada hari kedua. Mereka meminta agar Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam melakukan penutupan perbatasan secara penuh, bukan hanya sebagian, dengan China.
”Ketika Carrie Lam menolak untuk menutup perbatasan, lebih banyak kematian akan datang. Kami tidak mengancam pemerintah, kami hanya ingin mencegah wabah itu,” kata Cheng, seorang perawat (26) yang menghadiri pemogokan.
Namun, Lam telah menolak seruan tersebut. Menurut dia, usulan itu tidak pantas, tidak praktis, dan bersifat diskriminatif.
Makau, wilayah administrasi khusus China lainnya, juga melaporkan 10 kasus terkonfirmasi virus korona. Pemimpin Eksekutif Makau Ho Iat Seng meminta semua kasino menghentikan operasi selama dua minggu, mengimbau warga memakai masker, dan menganjurkan warga tidak keluar rumah.
Amerika Serikat, Australia, Singapura, Selandia Baru, dan Vietnam telah menolak masuk warga asing yang baru berkunjung ke China. (AFP/REUTERS)