Twitter mengumumkan potensi sejumlah negara memanfaatkan akses nomor telepon yang terhubung dengan akun penggunanya di Israel, Iran, dan Malaysia.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
SAN FRANCISCO, SELASA — Israel kembali tersangkut skandal mata-mata dengan memanfaatkan teknologi. Kali ini, dugaan itu dilontarkan Twitter.
Dalam pernyataan pada Senin (3/2/2020) sore waktu San Francisco atau Selasa dini hari WIB, Twitter mengumumkan potensi sejumlah negara memanfaatkan kelemahan di pelantar media sosial itu. Twitter mendeteksi permintaan yang sangat banyak untuk memanfaatkan akses nomor telepon yang terhubung dengan akun penggunanya.
Permintaan tersebut terlacak berasal dari Israel, Iran, dan Malaysia. Alamat internet yang menjadi asal permintaan itu diduga terkait dengan aparat di negara-negara tersebut.
Twitter tidak menjelaskan bagaimana nomor telepon pengguna layanannya bisa tersiar. Perusahaan teknologi itu juga mengakui tidak bisa mengenali akun mana saja yang terdampak.
Pernyataan tersebut menyikapi laporan dari media khusus teknologi, TechCrunch, pada Desember 2019. Dalam laporan itu disebut bahwa seorang peneliti keamanan teknologi informasi, Ibrahim Balic, bisa mencocokkan 17 juta nomor telepon dengan sejumlah akun Twitter.
Balic memanfaatkan celah keamanan di fungsi kontak pada aplikasi Twitter di Android. Bahkan, dengan memanfaatkan temuan Balic, TechCrunch bisa mengenali seorang politisi senior Israel di media sosial.
Fungsi itu disediakan Twitter untuk menemukan pengguna berdasarkan nomor telepon yang didaftarkan bersama akun tertentu. Di Uni Eropa, fungsi itu dimatikan karena ada protes kencang soal perlindungan data pribadi. Walakin, untuk pengguna di luar UE, fungsi itu otomatis dinyalakan.
Kini, Twitter telah mengubah fungsi tersebut. Dengan demikian, pengenalan pengguna tertentu tidak bisa lagi dilakukan lewat fungsi itu. Twitter juga menghentikan sementara akses terhadap akun-akun yang diduga terlibat penyalahgunaan fungsi tersebut.
Peretasan tanpa izin
Bukan kali ini saja Israel disebut dalam aktivitas mata-mata dengan memanfaatkan teknologi. Pada Januari 2020, Biro Investigasi Federal AS (FBI) mengumumkan pemeriksaan terhadap NSO Group Technologies. Perusahaan asal Israel itu diduga terlibat peretasan dan pengawasan tanpa izin terhadap warga AS.
NSO merupakan perusahaan pembuat perangkat mata-mata dengan memanfaatkan teknologi informatika. Dalam sejumlah pernyataannya, NSO menyebut produk mereka hanya dijual kepada lembaga pemerintah dan dipakai untuk mengejar penjahat.
Pada Januari 2020, FBI mengumumkan pemeriksaan terhadap NSO Group Technologies, perusahaan Israel yang diduga terlibat peretasan dan pengawasan tanpa izin terhadap warga AS.
Perusahaan itu juga menyatakan produknya dimodifikasi agar tidak bisa mengakses nomor ponsel AS. Walakin, sejumlah pakar keamanan berpendapat sebaliknya.
Penyelidikan FBI dilancarkan setelah Facebook melaporkan NSO kepada aparat AS. Laporan itu dibuat karena produk NSO diduga dipakai untuk menyadap Whatsapp, aplikasi percakapan yang merupakan anak usaha Facebook, di berbagai negara.
Pemasok perangkat peretasan dapat dihukum berdasarkan Undang-Undang Anti-penyalahgunaan dan Pemalsuan dengan Komputer (CFAA) atau UU Penyadapan AS. Hukuman dapat dijatuhkan apabila produsen terbukti terlibat atau setidaknya mengetahui penyadapan itu.
Pihak yang menjadi tersangka dalam CFAA dilarang mengakses komputer sama sekali. Sementara mereka yang dijerat dengan UU Penyadapan dilarang menggunakan perangkat penyadapan berbasis suara dan teks, seperti telepon, surel, dan Whatsapp.
Produk NSO diduga dipakai untuk menyadap dua tokoh terkait koran The Washington Post, Jeff Bezos dan Jamal Khashoggi. Pelakunya diduga sama, yakni Arab Saudi. Penyadapan terhadap Bezos tersiar Januari 2020. Riyadh membantah tuduhan itu.
Pakar hak asasi manusia, yang bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Agnes Callamard dan David Kaye, mendesak AS dan pihak terkait menyelidiki Arab Saudi. Dugaan penyadapan menguatkan kebutuhan penundaan penjualan perangkat pengawasan berbasis teknologi informatika. (REUTERS)