Indonesia belum sepenuhnya mematuhi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Padahal, Indonesia salah satu negara yang diuntungkan oleh konvensi itu.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, pekerjaan belum selesai selepas konvensi internasional diratifikasi. Setiap negara perlu menyerap konvensi itu dalam hukum nasionalnya.
”Indonesia belum menyelesaikan itu,” ujarnya dalam seminar 25 tahun Konvensi Internasional tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rabu (5/2/2020), di Jakarta.
Salah satu contohnya tentang kapal pencuri ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE). Hukum Indonesia memungkinkan kapal itu ditenggelamkan. Sementara UNCLOS tidak mengatur hal itu.
Pembicara lain dalam seminar itu juga menyinggung soal ketidakpatuhan negara-negara pada UNCLOS. ”Masalahnya bukan cuma menolak menerapkan kepatuhan pada hukum internasional, melainkan ada usaha untuk mengubah hukum,” kata Guru Besar Hukum pada Universitas Filipina, Jay Batongbacal.
Beberapa negara terus menunjukkan perilaku merasa di atas hukum. Perilaku itu mengesampingkan asas semua negara setara dan melemahkan standar tentang penerapan hukum internasional. Fenomena itu terjadi di Laut China Selatan dan Asia Tenggara sangat terdampak.
Ia juga menyoroti perkembangan mutakhir yang belum sepenuhnya diatur UNCLOS secara tegas. Isu sampah plastik terus menyeruak beberapa tahun terakhir. Sebab, isu itu telah menjadi persoalan global dan belum ada hukum internasional jelas yang mengaturnya.
Masalah lain adalah kapal dan perangkat tanpa awak yang semakin banyak berlayar di permukaan dan bawah permukaan laut. Sejumlah negara mengoperasikannya secara masif. Kala UNCLOS disepakati, fenomena itu nyaris tidak ada.
Amendemen
Meski demikian, Batongbacal belum melihat kebutuhan mengamendemen UNCLOS. Dalam ketentuan peralihan, memang ada peluang mengamendemen UNCLOS untuk hal-hal yang belum jelas diatur dalam konvensi itu.
Diplomat senior Indonesia, Hashim Djalal, menyebut penindakan terhadap perangkat tanpa awak di perairan harus sesuai konteks. Jika perangkat itu terkait pertahanan, dioperasikan di perairan teritorial negara lain tanpa izin, mungkin saja disita. Sejumlah negara pernah melakukannya. Negara penyita dapat mengembalikan kepada pemilik atau melakukan tindakan lain.
Menurut UNCLOS, negara pantai memang berhak menegakkan hukumnya di laut teritorial. UNCLOS juga memberikan penjelasan tegas soal pemaknaan atas banyak hal terkait klaim wilayah kemaritiman. Di UNCLOS, diberi penjelasan tentang yang dimaksud perairan teritorial, termasuk laut di antara pulau bagi negara kepulauan seperti Indonesia.
UNCLOS telah mempertemukan kepentingan negara pantai dengan negara lain yang membutuhkan akses laut.
Ada juga penjelasan dan pengaturan perairan yang menjadi akses atas kepentingan bersama. Hal itu antara lain berlaku bagi Laut China Selatan yang menjadi akses banyak negara.
Penjelasan-penjelasan UNCLOS telah menguntungkan Indonesia karena membuat wilayah perairan Indonesia menjadi seperti sekarang. Sebelum UNCLOS, sebagian besar laut di antara pulau-pulau Indonesia berstatus laut bebas. Sebab, hukum internasional sebelumnya mengatur laut teritorial hanya tiga mil dari garis pantai. Kini, bagi negara kepulauan, laut teritorial adalah seluruh perairan di dalam perbatasan.
”UNCLOS telah mempertemukan kepentingan negara pantai dengan negara lain yang membutuhkan akses laut,” kata Nguyen Ba Cuong dari Institut Pengkajian Laut dan Pulau Vietnam.
Sumber daya
Hikmahanto mengatakan, hal lain yang diatur UNCLOS adalah soal pemanfaatan sumber daya di ZEE. Setiap negara pantai selayaknya memprioritaskan pemanfaatan sumber daya di ZEE yang menjadi haknya. ”Selain mengerahkan kapal-kapal patroli, penting untuk mengerahkan kapal-kapal nelayan ke ZEE,” ujarnya.
Indonesia tidak hanya perlu memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai penegak hukum di lautan. Indonesia juga perlu menambah jumlah kapal penangkap ikan atau pemanfaat sumber daya lain di ZEE Indonesia.
Hashim mengatakan, kehadiran fisik penting dalam klaim di laut. Setiap negara tidak dapat begitu saja menganggap persoalan selesai setelah mengklaim wilayah.