Pertaruhan ”The New York Times” Mendukung Calon Presiden AS
Walaupun sebuah media menyatakan dukungan terhadap salah satu calon pemimpin politik, nilai obyektivitas dalam pemberitaan perlu terus dijaga.
Koran The New York Times menyatakan dukungan secara terbuka terhadap dua calon presiden dari Partai Demokrat atas nama menyelamatkan demokrasi. Dukungan semacam ini telah dilakukan sejak tahun 1860. Apa yang diperjuangkan dan dipertaruhkan oleh media itu dengan dukungan ini?
Dewan editor The New York Times (Times) pada Minggu, 19 Januari 2020, mengumumkan dukungan terhadap dua calon presiden dari Partai Demokrat, yakni senator dari Massachusetts, Elizabeth Warren, dan senator dari Minnesota, Amy Klobuchar. Setelah mewawancarai sejumlah kandidat presiden, dewan editor yang berjumlah 15 orang mengumumkan hasil pertemuan mereka dalam siaran podcast dengan episode ”The Weekly”.
Awalnya, Times mendukung Bernie Sanders dan Elizabeth Warren sebagai calon presiden dari Partai Demokrat. Akan tetapi, usia dan kesehatan Sanders menjadikan Times berpikir lain. Setelah Sanders, pilihan jatuh kepada Elizabeth Warren sebagai calon terkuat dalam Partai Demokrat. Warren dianggap sebagai tokoh yang mumpuni serta berpengalaman dalam memengaruhi eksekutif.
Di bidang ekonomi, Warren terkenal dengan pendapatnya bahwa ekonomi hanya menguntungkan orang kaya di AS. Oleh karena itu, dia menawarkan untuk ”menulis ulang aturan kekuasaan” di AS. Suara yang lebih moderat dari Partai Demokrat muncul dari Amy Klobuchar. Dia dianggap sebagai pribadi yang mampu mempersatukan partai serta dipuji karena rencananya dalam mengatasi perubahan iklim, kebijakan perumahan, infrastruktur, kesehatan, dan kemiskinan.
Elektabilitas
Melihat tingkat elektabilitas calon-calon presiden dari Partai Demokrat, Warren dan Klobuchar bukan tokoh dengan elektabilitas tertinggi. Posisi puncak per 24 Januari 2019 atau lima hari setelah dukungan Times ditempati oleh Joseph R Biden Jr dengan elektabilitas 26 persen rata-rata jajak pendapat nasional.
Di bawahnya terdapat Bernie Sanders dengan elektabilitas 23 persen rata-rata nasional. Dua tokoh yang didukung oleh Times berada pada posisi ketiga (Warren) dan keenam (Klobuchar). Melihat posisi elektabilitas kandidat presiden dari Partai Demokrat, pilihan Times tidak semata didasarkan pada calon dengan elektabilitas tertinggi.
Artinya, bisa saja calon yang didukung oleh Times bukan calon yang akan memenangi Konvensi Partai Demokrat. Keputusan yang dibuat oleh Times ini menegaskan bahwa pilihan mereka berdasarkan nilai tertentu. Hal ini mengesampingkan tuduhan bahwa dukungan Times semata demi imbal balik keuntungan ketika calon yang didukung memenangi pilpres.
Alasan tersebut tentu dapat diperdebatkan, tetapi yang patut diapresiasi adalah bahwa dukungan ini dikemukakan secara terbuka dengan alasan yang jelas. Di sinilah Times mengambil risiko untuk mewujudkan salah satu tugas jurnalisme, yakni sebagai media pendidikan bagi pembacanya. Tugas ini merupakan risiko yang harus diambil mengingat adanya pemahaman bahwa pembaca bukanlah rakyat yang mudah dibodohi.
Artinya, Times menempatkan pembaca sebagai sosok yang bebas, tetapi tetap perlu diberikan berbagai alternatif pemikiran agar dapat memutuskan sendiri. Peran memberikan alternatif sudut pandang itulah yang diambil oleh Times. Sebagai salah satu ”penjaga” demokrasi, media seperti Times memiliki tugas untuk ikut serta mencerdaskan publik pembacanya.
Tugas tersebut dimaknai oleh Times dengan memberi penjelasan atas dukungannya terhadap salah satu kandidat presiden. Selain itu, dukungan dalam pilpres bukan hal baru bagi Times. Sembilan tahun sejak didirikan pada 1851 hingga saat ini, surat kabar ini selalu menyatakan dukungan dalam pilpres di AS.
Sejarah dukungan
Sejak 1860 hingga pilpres 2020, Times telah menyatakan 41 kali dukungan terhadap calon yang bertarung dalam pilpres. Tak hanya mendukung calon dari Partai Demokrat, Times juga memberikan dukungan kepada calon dari Partai Republik. Tercatat 12 kali dukungan terhadap kandidat dari Partai Republik yang pernah dinyatakan oleh Times.
Hanya satu kali dukungan diberikan kepada calon dari Partai Nasional Demokrat, yakni John M Palmer pada tahun 1896. Walaupun dukungan yang diberikan Times bervariasi antara Partai Demokrat dan Partai Republik, sejak 1960 dukungan selalu diberikan kepada calon dari Partai Demokrat. Dukungan terhadap calon dari Partai Republik terakhir diberikan kepada Dwight D Eisenhower pada pilpres 1956.
Secara umum, dari 41 kali dukungan yang diberikan, 24 kali dukungan diikuti dengan kemenangan, 16 kali dukungannya kalah, dan 1 dukungan berproses pada tahun 2020 ini. Apabila dilihat berdasarkan asal partai, dukungan terhadap calon dari Partai Demokrat menghasilkan 14 kali kemenangan dari 28 kali dukungan. Adapun dukungan terhadap Partai Republik menghasilkan 10 kemenangan dari 12 dukungan.
Di atas kertas, berdasarkan persentase kemenangan dari setiap dukungan yang dilakukan, dukungan terhadap calon dari Partai Demokrat sebenarnya bukan pilihan yang menguntungkan bagi Times. Oleh karena itu, dukungan yang diberikan oleh Times lebih merupakan dukungan atas nama sebuah idealisme.
Dalam sejarah dukungannya, The New York Times menyatakan bahwa mereka lebih sering mendukung kandidat yang lebih memiliki pendekatan tradisional. Akan tetapi, pilihan kali ini diarahkan kepada golongan kiri yang progresif.
Kepercayaan publik
Melihat tradisi dukungan yang dilakukan oleh Times, pertanyaannya bukan lagi apakah rakyat masih mau percaya dengan media yang berani menyatakan dukungannya terhadap salah satu calon presiden. Pertanyaan semacam itu dapat dijawab dengan posisi Times sebagai koran dengan pelanggan digital terbesar di AS.
Setelah lebih dari 150 tahun melakukan praktik dukungan terhadap calon presiden, yang dipertaruhkan oleh Times adalah kredibilitasnya sebagai media yang memiliki tugas untuk menjadi pilar keempat demokrasi. Dalam demokrasi, kebebasan berpendapat sangat dihargai, termasuk bagi mereka yang tidak setuju dengan dukungan yang diberikan oleh Times.
Selain itu, terdapat bias pembaca di AS yang dipengaruhi oleh dukungan mereka terhadap salah satu partai, Republik atau Demokrat. Dalam survei yang dilakukan oleh Pew Research Center’s American Trends Panel (ATP), tampak bahwa kepercayaan terhadap media berhubungan dengan ideologi responden. Ideologi yang dimaksud adalah dukungan responden terhadap salah satu partai, baik Demokrat maupun Republik.
Bagi mereka yang teridentifikasi sebagai pendukung Partai Demokrat garis keras (liberal), sumber berita politik yang tepercaya berturut-turut adalah CNN, The New York Times, PBS, NPR, dan NBC News. Sebaliknya, sumber berita yang tidak dipercaya adalah Fox News, Limbaugh (radio), Breitbart, Hannity (radio), dan New York Post.
Di kubu lain, mereka yang merupakan pendukung Partai Republik garis keras (konservatif) akan lebih percaya terhadap media, berturut-turut, Fox News, Hannity (radio), Limbaugh (radio), dan ABC News. Sebaliknya, kelompok ini tidak memercayai sumber berita pemilu dari media seperti CNN, MSNBC, The New York Times, NBC News, dan CBS News.
Dari survei tersebut, dapat dilihat bahwa tingkat kepercayaan terhadap media sebagai sumber berita pemilu di AS dipengaruhi terutama oleh ideologi konsumen media. Dengan hanya ada dua partai besar di satu sisi dan beragamnya sumber berita di sisi lain, dukungan Times terhadap salah satu kandidat bukanlah tindakan yang merugikan keberadaannya sebagai media.
Artinya, dukungan media terhadap salah satu kandidat presiden adalah suatu tradisi yang telah berlangsung lama dalam mengekspresikan kebebasan. Bahkan, ekspresi kebebasan tersebut juga tampak ketika Times menyatakan presiden yang sekarang, Donald Trump, menjadi ancaman bagi demokrasi di AS.
Netralitas dan independensi
Dukungan Times bisa memberi alternatif cara pandang terhadap media di Indonesia. Di Tanah Air, media dianggap tabu untuk memberikan dukungan terhadap calon pemimpin politik atas nama netralitas. Oleh karena itu, ketika koran The Jakarta Post menyatakan dukungan terhadap salah satu kandidat presiden dalam Pilpres 2014, berbagai kritik dilontarkan terhadap surat kabar tersebut. Post dianggap tidak netral dan melanggar kode etik jurnalistik.
Ketika sudah masuk ranah kode etik jurnalistik, satu tanggapan yang ditunggu-tunggu adalah pendapat dari Dewan Pers. Saat itu, Ketua Dewan Pers Bagir Manan menyatakan bahwa dukungan The Jakarta Post harus dihargai. Berdasarkan regulasi pers UU Nomor 40 Tahun 1999, pers memiliki hak untuk menyatakan kemerdekaannya. Dukungan The Jakarta Post terhadap salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden dapat dilihat sebagai representasi kebebasan.
Akan tetapi, Bagir Manan memberikan catatan bahwa dukungan semacam itu perlu dibarengi dengan tetap menghormati etika jurnalisme, yakni tidak memberitakan hal bohong. Selain itu, kemerdekaan tersebut juga dibarengi dengan kewajiban untuk tetap mewujudkan kode etik jurnalisme dalam setiap peliputan dan pemberitaan, salah satunya bersikap independen.
Kode etik jurnalistik menjelaskan bahwa independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers. Oleh karena itu, ketika sebuah surat kabar menyatakan dukungan terhadap salah satu calon presiden, isi pemberitaan surat kabar tersebut tetap dituntut untuk independen.
Tak heran, sebagai Ketua Dewan Pers saat itu, Bagir Manan menekankan bahwa walaupun sebuah media menyatakan dukungan terhadap salah satu calon pemimpin politik, nilai obyektivitas dalam pemberitaan perlu terus dijaga. Perdebatan seputar netralitas dan independensi surat kabar dapat dilihat dari tujuan media dalam negara demokrasi.
UU Pers menyatakan bahwa kemerdekaan pers merupakan unsur penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Hal itu bertujuan menjamin kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat. Dengan demikian, dukungan media dalam politik dapat dinilai dari hasilnya.
Apakah dukungan tersebut dilakukan atas nama kepentingan publik yang lebih luas ataukah semata demi keuntungan untuk menyelamatkan diri di bawah perlindungan suatu rezim? Selain itu, dapat juga dilihat, apakah media kemudian mandul dan kehilangan daya kritisnya terhadap pemerintah yang pernah didukungnya. (Litbang Kompas)