Penyebaran virus korona tipe baru (2019-nCoV) mengingatkan para ekonom dan analis pasar keuangan pada peristiwa merebaknya wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) tahun 2003. Mulai dari efeknya secara langsung dan tidak langsung bagi masyarakat, kekhawatiran di pasar keuangan, masalah penanganan dan sejauh mana efektivitasnya, hingga pengaruhnya pada perekonomian. Tidak semata di China, tetapi juga di negara-negara sekitarnya, bahkan secara global.
Satu hal yang perlu digarisbawahi—ini diingatkan sejumlah ekonom—adalah keberadaan China, perekonomiannya, peran dan pengaruhnya saat ini bagi ekonomi global. Hal itu jelas berbeda dengan kondisi 17 tahun silam. Jika dulu saat SARS mewabah China menyumbang 4 persen dari produk domestik bruto (PDB) global, kini—menurut Bank Dunia—ekonomi China mencakup sekitar 16 persen PDB global.
Kepanikan (sempat) melanda pasar saham setelah merebaknya virus 2019-nCoV. Indeks-indeks saham jatuh, terutama di China. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana wabah ini akan berkembang, terutama mengingat tingginya tingkat perjalanan selama periode Tahun Baru Imlek di China. Riset Bank DBS berharap dampak negatif pada pasar keuangan tidak akan bertahan lama.
Mengacu pada pengalaman SARS, krisis kala itu meningkat pada Februari 2003 dan memuncak pada akhir April. Selama periode itu, indeks saham Hang Seng anjlok 10 persen. Namun, pada periode sama, ekuitas negara-negara maju justru naik 6 persen. Ditegaskan, kecuali menjadi sebuah pandemi global, wabah virus korona tipe baru kali ini hanya akan berdampak terbatas pada aset risiko global dan fundamental ekonomi.
Riset Bank UOB memperkirakan—dengan menggunakan episode SARS sebagai panduan dan mengasumsikan durasi hiruk pikuk wabah virus 2019-nCoV selama enam bulan—perekonomian regional di Asia dan Asia Tenggara dapat terimbas 0,5-1,75 persen dari proyeksi dasar sebelumnya untuk tahun 2020. PDB China bisa tertekan 0,5-1,0 persen tahun ini. Artinya, PDB China tahun bisa hanya tumbuh 4,7 persen.
Sementara PDB Singapura dan Indonesia secara berurutan diperkirakan akan terdampak 0,5-1,0 persen dan 0,1-0,2 persen. Jika hal itu benar-benar terjadi, ekonomi Singapura hanya akan tumbuh 0,5 persen, sedangkan ekonomi Indonesia tumbuh maksimal di level 5,0 persen. Ekonomi Hong Kong tahun ini diproyeksikan bisa tertekan hingga ke level minus.
Bank DBS menjelang akhir pekan lalu menurunkan perkiraan tingkat pertumbuhan 2020 Singapura menjadi 0,9 persen dari sebelumnya 1,4 persen. Proyeksi itu didasarkan pada kemungkinan efek penyebaran virus 2019-nCoV. Singapura merupakan salah satu negara terparah di luar China dalam wabah SARS tahun 2003 yang menewaskan hampir 800 orang di seluruh dunia.
Respons pemerintah
Kepala Riset Bank UOB Suan Teck Kin mengingatkan bahwa jika wabah virus korona tipe baru itu berlangsung lebih dari enam bulan, efeknya bisa lebih menekan perekonomian. Gangguan pada perdagangan, produksi, dan rantai pasokan akan semakin membebani prospek pertumbuhan ekonomi regional. ”Respons pemerintah adalah faktor kunci lain dalam memitigasi risiko penurunan ekonomi. Kami mengharapkan berbagai otoritas di seluruh wilayah untuk menggelar langkah-langkah dukungan, termasuk opsi fiskal dan moneter,” kata Suan dalam riset tertulisnya pekan lalu.
Bank sentral China (PBoC), misalnya, memangkas suku bunga repo reverse 7 hari dan 14 hari sebesar 10 basis poin (bps) pada 3 Februari 2020 dan berjanji untuk mempertahankan likuiditas yang cukup. PBoC juga mengatakan akan menyediakan 300 miliar yuan untuk dipinjamkan ke perusahaan yang terdampak melalui bank. Bank of Thailand (BoT) secara tak terduga memangkas suku bunga acuannya 25 bps menjadi 1,0 persen, level terendah yang belum pernah terjadi.
Sekali lagi, mengacu pada wabah SARS, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan tertekan karena penjualan ritel dan kunjungan turis anjlok. Ekonomi mereka sempat tertekan dan baru pulih pada semester kedua saat wabah penyakit itu berakhir. Kita tunggu apakah hal yang sama juga terjadi kali ini.