Di parlemen Inggris pada 1953, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill mengucapkan kata-kata terkenal soal hubungan Inggris dengan Eropa. ”Kita bersama Eropa, walakin bukan bagian dari itu,” ujarnya.
Mantan anggota parlemen Eropa dari Inggris Raya, Nigel Farage, menyampaikan hal lebih keras pada akhir Januari 2020 di Brussels. ”Inggris benci Uni Eropa,” ujar penyokong Inggris keluar dari Uni Eropa (UE), proses yang dikenal dengan istilah ”Brexit” itu.
Farage menyebut, UE telah melenceng dari tujuan awal pembentukannya. Dulu, cikal bakal UE dibentuk dengan gagasan tentang pasar bersama di Eropa. Kini, UE menjadi lembaga politik dengan kekuasaan besar atas anggotanya. ”Bahkan, (UE) kini mau punya tentara sendiri,” kata Farage.
Inggris tidak mau terlibat semua urusan politik itu. London hanya mau berdagang. Selain dengan UE, Inggris kini juga memacu perundingan dagang dengan banyak negara lain. Sebagian dilakukan dalam kerangka bilateral, sebagian lagi dalam kerangka multilateral. Pilihan Inggris, sekali lagi, membuat multilateral ditinggalkan.
Meski banyak pihak menyerukan untuk menjaga agar multilateral tetap dijaga agar bergulir, sejumlah negara kukuh meninggalkan mekanisme itu. Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump secara terbuka mengutamakan mekanisme bilateral. Sementara Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo—secara halus—melakukan hal senada.
Meski dikritik sejumlah pakar di dalam negeri, Jokowi terus mengutamakan bilateral sembari tetap berperan di multilateral, seperti ASEAN dan APEC. Sebagai politisi berlatar pengusaha, Jokowi dan Trump cenderung berpikir praktis: harus ada manfaat dari setiap tindakan. Hanya kepada yang membawa manfaat sajalah hubungan dijalin.
Tujuan itu sulit dicapai jika menggunakan pelantar multilateral. Sebab, perundingan multilateral meniscayakan pembahasan atas kepentingan yang belum tentu berkaitan langsung dengan kebutuhan nasional suatu bangsa. Perundingan dagang Indonesia dengan UE, misalnya, berarti harus juga membahas kepentingan tidak sampai 2 juta warga Latvia atau 1,17 juta warga Siprus.
Indonesia butuh atau tidak, pembahasan itu harus dilakukan karena Latvia dan Siprus bagian dari UE. Pola serupa terjadi pada pelantar multilateral lain. PM Inggris Boris Johnson dan Trump tidak mau itu. Mereka mau negaranya berunding langsung dengan negara mitra. Kebutuhan kedua negara dibicarakan di meja perundingan. Kadang, mungkin saja, perundingan disertai adu gertak. Hal itu sudah dinubuatkan guru besar hubungan internasional asal AS, Hans J Morgenthau, berpuluh tahun silam. Morgenthau menyebut, politik internasional, seperti praktik politik lain, adalah soal kekuasaan.
Penafsiran atas kekuasaan dan kekuatan bisa jadi relatif dan, karenanya, membutuhkan kreativitas di meja perundingan. Perekonomian sekaligus pasar terbesar Asia Tenggara yang mempunyai cadangan timah, nikel, dan logam tanah berkualitas tinggi adalah sebagian dari kekuatan Indonesia. Bilateral atau multilateral, para juru runding Indonesia perlu gigih memanfaatkan kekuatan itu untuk kepentingan Indonesia.