Pemerintah Tak Boleh Gegabah Pulangkan WNI Eks NIIS
Pemulangan eks kombatan dan simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) masih menimbulkan perdebatan sengit di dalam negeri. Pemerintah diingatkan tidak gegabah memulangkan mereka ke Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah diingatkan tidak gegabah memilih opsi pemulangan terhadap sekitar 600 warga negara Indonesia di Timur Tengah yang sudah bergabung dengan kelompok teror Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Pertimbangan matang harus dilakukan terkait status kewarganegaraan, profil kombatan teror itu, serta deradikalisasi.
Perdebatan yang muncul di ruang publik di Indonesia saat ini antara lain muncul terkait kemampuan negara meyakinkan bahwa warga negara Indonesia (WNI) eks NIIS itu tidak kembali terlibat terorisme sekembalinya di Indonesia. Selain itu, dari ranah hukum juga muncul perdebatan soal status kewarganegaraan mereka. Karena itu, kajian matang dengan melibatkan banyak perspektif harus dilakukan pemerintah.
Pengamat hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana di Jakarta, Senin (10/2/2020), berpendapat, WNI yang bergabung menjadi kombatan NIIS dengan sendirinya kehilangan kewarganegaraan. Sebab, mereka dianggap masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu oleh presiden.
"Di dalam pasal 23 huruf d Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan hanya disebutkan bergabung dalam tentara asing, bukan tentara negara asing. Di sini, NIIS bisa diartikan pemberontak di suatu negara," ujar Hikmahanto.
Baca juga: Percaturan Baru NIIS
Terkait polemik di masyarakat yang mengatakan bahwa NIIS bukanlah negara yang diakui kedaulatannya secara hukum internasional, Hikmahanto berpendapat Indonesia juga tidak mengakui kedaulatan beberapa negara contohnya Israel. Namun, dia mempertanyakan, apakah saat WNI menjadi tentara Israel, mereka tidak hilang kewarganegaraan.
Indonesia juga tidak mengakui kedaulatan Taiwan. Padahal, masyarakat di Taiwan menyatakan dirinya sebagai negara, bahkan memiliki berbagai organ negara, termasuk kepala negara. Namun Indonesia, Amerika Serikat dan banyak negara tidak mengakui Taiwan sebagai negara. Negara-negara itu mengakui China sebagai negara.
Selain Indonesia, masing-masing negara juga memiliki kebijakannya sendiri terkait pengakuan kedaulatan suatu negara. Amerika Serikat, misalnya, tidak mengakui Palestina adalah suatu negara. Pemahaman masing-masing negara tentang kedaulatan negara inilah yang menurut Hikmahanto, membuat kata "negara" tidak dimasukkan dalam pasal 23 huruf d UU Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan.
"Bila mencermati Pasal 23 ayat (d) UU Kewarganegaraan maka pembentuk UU saat itu sangat cermat menangkap kekisruhan apa yang dimaksud dengan "negara". Oleh karenanya pembentuk UU tidak menggunakan istilah "negara" dalam rumusan Pasal 23 huruf (d)," kata Hikmahanto.
Menurut Hikmahanto, dinas tentara asing dalam pasal tersebut bisa mencakup tentara dari suatu negara yang diakui Indonesia; atau tentara dari suatu negara yang tidak diakui oleh Indonesia; atau tentara dari sebuah pemberontak di suatu negara. Oleh karena itu, mereka yang tergabung dalam tentara NIIS telah hilang kewarganegaraannya karena bergabung dengan dinas tentara asing.
Baca juga: Status WNI Eks-NIIS
"Jika pertanyaannya NIIS negara atau bukan? Apakah NIIS merupakan pemberontak dari pemerintahan yang sah atau tidak? Bukankan salah satu tujuan NIIS adalah menggulingkan pemerintahan yang sah di Suriah dan Irak? Bila demikian, tidakkah para WNI yang tergabung dalam NIIS sebenarnya masuk dalam pemberontak di suatu negara?," terang Hikmahanto.
Oleh karena itu, dia menilai, WNI yang tergabung dalam tentara NIIS secara otomatis akan kehilangan kewarganegaraannya. Otomatis merujuk pada Pasal 31 ayat (1) Peraturan Pemerintah 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan dan Pembatalan Kewarganegaraan. Dalam Pasal 31 Ayat (1) disebutkan "Warga Negara Indonesia dengan sendirinya kehilangan kewarganegaraannya karena...". Kata "dengan sendirinya" berarti tidak perlu lagi ada proses lanjutan bila terpenuhi salah satu dari berbagai alasan yang ada.
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Arie Afriansyah juga berpendapat, meskipun NIIS bukan negara, tetapi NIIS sudah diakui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai kelompok internasional yang harus diperangi. Artinya, NIIS menjadi entitas internasional yang diakui sebagai kelompok terorisme. Selain itu, Arie juga berpendapat bahwa yang menjadi kombatan, otomatis hilang kewarganegaraannya berdasarkan pasal 23 Huruf d UU 12/2006.
"Meskipun ada yang berpendapat bahwa pembuat UU Kewarganegaraan bermaksud merujuk \'negara\' dalam arti konvensional, Huruf d membuka perkembangan atas aktor non negara atau non state actor," terang Arie.
Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Puan Maharani, mengatakan, sebanyak 600 orang yang dilaporkan sebagai orang Indonesia di Turki, dan merupakan bekas anggota NIIS, itu harus dipastikan kondisinya. Apakah juga mereka masih memiliki paspor, dan benar-benar memiliki niatan pulang dan mengakui Indonesia sebagai negaranya.
“Yang pasti kita harus cermati dulu, apakah kemudian 600 orang indonesia ini memang masih memiliki paspor. Apakah juga mereka secara sukarela meninggalkan paspor, dan pergi ke suatu negara untuk kemudian menjadi ISIS. Itu yang pertama harus dicermati,” kata Puan.
Sebab, kata dia, jangan sampai mereka dipulangkan, sementara mereka sendiri sudah tidak mau mengakui Indonesia sebagai negaranya. Salah satu buktinya ialah dengan merusak paspor yang mereka miliki.
“Jadi jangan terburu-buru. Kita lihat dulu seperti apa, situasinya dan kondisinya di sana. Apakah mereka itu masih mengakui sebagai WNI atau tidak. Kalau dirinya saja sudah tidak mau jadi WNI, tentu saja pemerintah harus memperhatikan langkah-langkah yang lebih cermat dan lebih antisipatif,” ujarnya di Kompleks Parlemen di senayan.
Menolak tegas
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj menolak tegas pemulangan eks anggota NIIS tersebut. “Saya tolak. Saya tidak setuju. Mereka sudah meninggalkan negara ini, sudah membakar paspornya, sudah mengatakan kita ini thogut, terutama NU, Ansor, dan lain-lain dianggap sebagai pendukung thogut. Kenapa mereka harus pulang?” katanya.
Said mengatakan, pada prinsipnya orang yang sudah meninggalkan kewarganegaraan dengan kemauan sendiri tidak perlu dipulangkan. “Semua negara yang warganya berangkat ke ISIS, seperti Saudi Arabia, dan Pakistan pun menolak mereka pulang. Lalu kenapa kita harus memulangkan mereka,” ujarnya, akhir pekan lalu.
Sementara itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu\'ti menilai pemerintah harus mampu memetakan tingkat radikalisme dari setiap individu. Dengan begitu, hal ini bisa menjadi pertimbangan dalam pembinaan politik mereka saat tiba di Indonesia.
“Memang perlu ada kebijaksanaan khusus. Jangan melihat persoalan secara black and white, tetapi juga harus dari banyak sudut pandang,” ujar Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Dia menjelaskan, ada tiga sudut pandang dalam menyikapi pemulangan para WNI eks NIIS itu. Pertama, WNI yang berhak kembali ke Tanah Air adalah mereka yang masih memiliki paspor Indonesia. Kedua, pemulangan WNI eks NIIS juga harus dilihat dari sisi kemanusiaan. Sebab, banyak di antara mereka bukan betul-betul menjadi kombatan ISIS, melainkan hanya diajak dan diiming-imingi sesuatu untuk ikut bergabung.
“Kalau kemudian mereka semua ini dipukul rata, saya kira tidak adil ya,” tutur Abdul.
Ketiga, menurut Abdul, pemerintah harus menyiapkan jalan tengah saat memutuskan memulangkan mereka. Jalan tengah tersebut adalah membina pandangan politik mereka agar setia kepada Pancasila, NKRI, dan UUD 1945.
“Jadi, mereka diizinkan kembali ke Indonesia tetapi sampai pada masa tertentu ketika secara ideologi mereka dianggap belum memiliki kesetiaan kepada Pancasila, NKRI, dan UUD 1945, ya mungkin dilakukan rehabilitasi atau pembinaan politik terlebih dahulu,” jelas Abdul.
Pembinaan mereka pun, lanjut Abdul, bukan dilakukan di lembaga pemasyarakatan, melainkan di tempat tertentu, yang telah ditetapkan pemerintah sebagai karantina politik.
“Saya kira perlu ada karantina politik sebagai jalan tengah supaya mereka bisa kembali ke Tanah Air dan mendapatkan hak-haknya dengan pendekatan kemanusiaan, dan secara politik mereka dilakukan pembinaan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menyampaikan, tak boleh ada generalisasi terhadap seluruh WNI eks NIIS. Pemerintah harus memetakan terlebih dahulu latar belakang dan tujuan kepergian mereka ke NIIS sebelum akhirnya memulangkan mereka.
“Nah, ini yang harus dikaji dan kajian harus kasus per kasus, orang per orang. Sebab, semua tidak sama,” kata Din.
Setelah pemetaan itu, lanjut Din, pemerintah bisa memulai program deradikalisasi secara cermat untuk setiap individu. Organisisasi massa Islam pun, menurut Dim, sangat terbuka untuk membantu pemerintah dalam penyadaran ideologis mereka.
Langkah komprehensif
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani berpendapat, pemerintah Indonesia harus merancang dan mengambil kebijakan yang komprehensif terhadap pemulangan warga eks NIIS ini. Sejauh ini, memang belum ada kesepakatan internasional mengenai bagaimana memperlakukan eks anggota dan simpatisan.
Namun, pemerintah harus realistis, serta cepat atau lambat, harus pula berani mengambil sikap. Dalam waktu dekat ini, pemerintah harus segera menyusun rencana kontingensi dan strategi yang menyeluruh mengenai keberadaan eks-anggota dan simpatan NIIS asal Indonesia. Salah satunya adalah dengan melakukan profiling siapa yang terlibat sebagai eks kombatan, anggota, dan simpatisan NIIS tersebut. Setelah itu, pekerjaan rumahnya adalah bagaimana pemerintah melakukan program deradikalisasi yang efektif.
"Setara Institute justru mengusulkan agar Indonesia memprakarsai dan menggalang kesepakatan internasional tentang nasib eks NIIS ini. Kerjasama internasional dibutuhkan karena NIIS dan ekstremisme serupa merupakan ancaman global. Apalagi di tingkat domestik, begitu banyak negara, tak terkecuali Indonesia, menghadapi ancaman kelompok ekstrim yang hingga kini masih eksis," terang Ismail.
Sementara itu, peneliti International Association for Counter Terrorism and Security Studies (IACSP) Rakyan Adi Brata berpendapat, pemerintah wajib memberikan bantuan hukum terhadap mengalami permasalahan hukum di luar negeri. Menurut dia, peran eks kombatan, anggota, dan simpatisan NIIS termasuk dalam aktor non-negara sehingga tidak serta merta membuat mereka menjadi "stateless".
"Eks ISIS (NIIS) sudah ada yang dideportasi sejak tahun 2014. Ini adalah pekerjaan rumah pemerintah untuk memikirkan apa yang harus dilakukan saat pemulangan maupun pasca pemulangan. Jika kombatan diadili di Irak/Suriah dengan vonis hukuman penjara misalnya, mereka suatu saat juga akan pulang ke Indonesia. Jadi, ini hanya masalah waktu," terang Rakyan.
Oleh karena itu, kata dia, masalah ini harus dihadapi pemerintah dengan membenahi program deradikalisasi yang sudah ada agar semakin kuat dan mumpuni. Apalagi, dengan Undang-Undang Terorisme yang sudah direvisi, mereka yang terlibat dalam pelatihan militer atau bergabung anggota teroris juga dapat dipidana. Dalam Undang Undang Terorisme yang sudah direvisi ini, pemerintah juga bisa melakukan berbagai upaya pencegahan, antisipasi terhadap aksi terorisme dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia.