Benturan budaya kerja di Amerika Serikat dan China yang terjadi dalam industri otomotif di AS langsung terasa setelah menonton adegan pembuka film dokumenter American Factory. Film itu memenangi Piala Oscar, Minggu (9/2/
Oleh
·3 menit baca
Benturan budaya kerja di Amerika Serikat dan China yang terjadi dalam industri otomotif di AS langsung terasa setelah menonton adegan pembuka film dokumenter American Factory. Film itu memenangi Piala Oscar, Minggu (9/2/2020), di Los Angeles. Di dalam ruangan penuh pekerja China yang bekerja di perusahaan milik China yang dibuka di Dayton, Ohio, AS, Fuyao Glass America, Presiden Fuyao Glass Amerika Jeff Daochuan Liu nyinyir mengingatkan para pekerja tersebut bahwa mereka harus punya ”keterampilan khusus” untuk menangani orang AS.
”AS punya budaya membanjiri anak-anak dengan dukungan semangat sehingga mereka tumbuh besar menjadi orang yang terlalu percaya diri. Orang AS suka dipuji-puji setinggi langit,” kata Liu.
Dalam film produksi pertama Higher Ground Production, perusahaan yang didirikan Barack Obama dan Michelle pada 2018 itu, beberapa kali ditunjukkan dengan gamblang omongan-omongan nyinyir dan sinis mengenai kebiasaan kerja pekerja AS dan China. Uniknya, omongan nyinyir dan sinis antarpara pekerja itulah yang justru membuat penonton bisa tertawa.
Film dokumenter yang ditayangkan di Netflix ini, selain menyoroti industri otomotif General Motors (GM) yang terpaksa tutup karena resesi pada 2008, juga menyoroti para pekerja yang terpaksa dipecat. Film yang disutradari Julia Reichert dan Steven Bognar itu merangkai pula kisah nyata benturan budaya kerja dan kesulitan ekonomi bekas pekerja GM yang dipekerjakan kembali enam tahun kemudian setelah pabrik itu dibeli pengusaha China yang bergerak di bidang pembuatan kaca untuk kendaraan.
Serikat pekerja
Kisah nyata para pekerja itu lalu mengalir ke kisah tuntutan para pekerja akan adanya serikat pekerja di pabrik itu. Tuntutan ini muncul ketika seiring dengan waktu para pekerja AS merasa beban pekerjaan terlalu berat dan pihak perusahaan tidak mau tahu dengan kondisi pekerja. Padahal, awalnya, pembukaan pabrik itu, akhir 2014, diharapkan bisa memulihkan kondisi perekonomian daerah dan masyarakat setempat.
Pengusaha kaya raya asal China, Cao Dewang, yang dipanggil dengan nama ”Chairman Cao” membeli pabrik GM untuk memperluas jangkauan Fuyao ke seluruh dunia. Ia membawa ratusan pekerja langsung dari China. Mereka harus bekerja bersama dengan sekitar 2.000 pekerja AS. Benturan mulai terjadi dari urusan paling mudah, bahasa atau komunikasi. Kesulitan komunikasi menjadi persoalan awal. Persoalan lalu berkembang menjadi urusan budaya kerja yang berbeda. Pekerja China hampir tak pernah libur, bahkan di akhir pekan tetap kerja.
Chairman Cao mengancam akan menutup pabrik jika pekerja menuntut pembentukan serikat pekerja. Bahkan, ia juga meminta aktivis-aktivis serikat pekerja yang berkampanye di pabriknya untuk dipecat.
”Situasinya dari hari ke hari makin sulit bagi para pekerja. Kami percaya kondisinya bisa membaik hanya jika para pekerja di seluruh dunia bersatu,” kata Reichert.
Film besutan Reichert dan Bognar ini juga banyak menyoroti isu kesulitan hidup para pekerja AS dan China yang sama-sama harus banyak berkorban untuk keluarga masing-masing. ”Banyak pekerja kehilangan rumahnya karena tak punya pekerjaan. Karena terpaksa, mereka mau bekerja dengan upah 8 dollar AS per jam tanpa jaminan perlindungan apa pun,” kata Bognar.
Kini jumlah pekerja di pabrik itu 2.300 orang dan pada 2018 keuntungan bersihnya mencapai 24,5 juta dollar AS. Pada akhir film ditunjukkan Chairman Cao memutuskan memakai mesin sebagai pengganti tenaga manusia.