Liberalisasi pasar Indonesia dan Australia menjadi dasar menyongsong satu abad hubungan bilateral kedua negara. Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif menjadi sarana.
Oleh
Laksana Agung Saputra/Laksana Agung Saputra/Benny D Koestanto
·3 menit baca
CANBERRA, KOMPAS—Memiliki latar budaya berbeda, Indonesia dan Australia menjunjung tinggi nilai-nilai yang sama, yakni kemajemukan, keberagamaan etnis, toleransi, demokrasi, penghormatan hak asasi manusia, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Sikap seperti itu dipercaya menjadi fondasi nilai yang kuat bagi kedua negara untuk menjalin persahabatan di masa kini dan masa depan.
Kesamaan perspektif pada nilai-nilai luhur itulah yang menjadi benang merah kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo ke Canberra, Australia, pada 9-10 Februari 2020. Kunjungan ini bertepatan dengan peringatan 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Australia. Dalam lawatan kali ini, Presiden menghadiri sedikitnya 10 kegiatan.
Presiden, antara lain, bertemu dengan Gubernur Jenderal Persemakmuran Australia David John Hurley, Perdana Menteri Scott Morrison, pimpinan Parlemen Australia, dan sejumlah investor.
Kita tidak bisa memilih tetangga, tetapi kita memilih untuk bersahabat. Australia adalah sahabat paling dekat Indonesia.
Presiden juga berpidato dalam bahasa Indonesia di depan anggota Parlemen Australia. Presiden Jokowi adalah presiden RI kedua yang berkesempatan berpidato di depan Parlemen Australia. Pada 8 Maret 2010, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono mendapat kesempatan serupa.
”Kita tidak bisa memilih tetangga, tetapi kita memilih untuk bersahabat. Australia adalah sahabat paling dekat Indonesia,” kata Presiden.
Menurut Presiden, 70 tahun persahabatan Indonesia dan Australia bukanlah masa yang singkat. 70 tahun adalah platinum. Capaian itu, menurut Presiden, harus diperkokoh. Indonesia dan Australia harus bersama-sama mempersiapkan saat kemitraaan kedua negara berumur 100 tahun, 30 tahun mendatang.
”Tahun 2050, satu abad umur kemitraan kita, adalah momentum krusial. Pada 2050, Indonesia dan Australia akan bertransformasi menjadi pemain besar di kawasan dan dunia,” kata Presiden.
Saling menguntungkan
Di tengah maraknya proteksionisme, Presiden mengatakan, Indonesia menginginkan kerja sama ekonomi, perdagangan, dan sosial di antara kedua negara jadi lebih terbuka dan saling menguntungkan.
Pemerintah Indonesia dan Australia meluncurkan rencana aksi implementasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif 2020-2024 di Canberra, awal pekan ini. Rencana aksi itu menjadi acuan pelaksanaan perjanjian sehingga peningkatan kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan dapat dicapai. Indonesia menginginkan keterbukaan sehingga perdagangan, investasi, dan pariwisata akan lebih banyak terjadi di antara kedua negara.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison dalam pidato pembukanya, antara lain, mengatakan, ada potensi yang sangat besar bagi kedua negara yang sudah diidentifikasi bersama. Kedua negara bertekad untuk merealisasikan potensi itu melalui IA-CEPA. ”Sekali berjalan efektif, perjanjian kemitraan modern yang transformatif ini akan membuka peluang ekonomi baru dan melibatkan lebih banyak pihak, mulai pengusaha, petani, investor, wirausaha, peneliti, dan ilmuwan,” kata Morrison.
Melalui perjanjian ini, Australia mengeliminasi seluruh pos tarifnya yang berjumlah 6.474 pos tarif menjadi nol persen saat implementasi. Sementara Indonesia mengeliminasi 94,5 persen pos tarifnya atau 10.229 pos tarif pada 2020.
Menteri Perdagangan RI Agus Suparmanto mengatakan, perdagangan menjadi poin penting kunjungan Presiden ke Australia. Tuntasnya ratifikasi perjanjian kemitraan memberi kejelasan peta jalan hubungan dagang kedua negara. Produk ekspor Indonesia diharapkan dapat berdaya saing dan makin kuat di pasar global, khususnya Australia. Produk unggulan Indonesia, di antaranya tekstil, karet, furnitur kayu, karpet, serta otomotif dan suku cadangnya.