PBNU menolak pemulangan warga negara Indonesia eks kombatan NIIS, sementara pimpinan Muhammadiyah menyarankan pemetaan tingkat radikalisme tiap individu. Pemerintah masih mendata jumlah pasti WNI eks NIIS itu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tidak ingin gegabah dalam pengambilan keputusan terkait pemulangan warga negara Indonesia eks anggota Negara Islam di Irak dan Suriah ke Tanah Air. Sejauh ini, pemerintah masih akan mendata terlebih dahulu jumlah mereka.
”Data yang kami terima banyak sekali yang simpang siur. Jadi, kami ingin memverifikasi. Itu saja yang dapat saya sampaikan pada titik ini,” ujar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi seusai bertemu dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (11/2/2020).
Pertemuan yang dimulai pukul 10.00 itu berlangsung secara tertutup sekitar satu jam.
Retno tidak ingin berbicara lebih detail terkait proses pendataan WNI eks anggota NIIS dan rencana lawatan ke organisasi massa Islam lain. Dia langsung meninggalkan Kantor PBNU.
Sementara itu, Said Aqil Siroj menyampaikan, tujuan kedatangan Menteri Luar Negeri antara lain ingin meminta masukan dari PBNU terkait pemulangan WNI eks anggota NIIS. Dalam pertemuan pun, Said Aqil menolak tegas opsi tersebut.
”Saya beri masukan dengan tegas, kami PBNU menolak kepulangan kombatan NIIS itu,” kata Said Aqil.
Apalagi, lanjutnya, WNI eks anggota NIIS telah meninggalkan kewarganegaraan dengan kemauan sendiri. Pemulangan mereka, menurut dia, hanya akan mengganggu ketenangan dan kenyamanan seluruh warga Indonesia.
”Mereka telah membuang, melempar kewarganegaraan Indonesia, dan bergabung warga negara NIIS. Berarti mereka sudah melepaskan diri dari kewarganegaraan Indonesia menjadi warga negara lain. Saya kira, tidak ada salahnya pemerintah menolak (pemulangan mereka),” ucap Said Aqil.
Terlebih, katanya, NIIS itu memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. ”Jadi, siapa pun, kelompok mana pun yang menolak Pancasila, silakan hengkang dari NKRI. Itu hal yang paling mendasar,” ujarnya.
Kelompok mana pun yang menolak Pancasila, silakan hengkang dari NKRI. Itu hal yang paling mendasar.
Pemetaan
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai, pemerintah harus mampu memetakan tingkat radikalisme dari setiap individu. Dengan begitu, hal ini bisa menjadi pertimbangan dalam pembinaan politik mereka saat tiba di Indonesia.
”Memang perlu ada kebijaksanaan khusus. Jangan melihat persoalan secara black and white, tetapi juga harus dari banyak sudut pandang,” ujar Abdul.
Dia menjelaskan, ada tiga sudut pandang dalam menyikapi pemulangan para WNI eks NIIS itu. Pertama, WNI yang berhak kembali ke Tanah Air adalah mereka yang masih memiliki paspor Indonesia. Kedua, pemulangan WNI eks NIIS juga harus dilihat dari sisi kemanusiaan. Sebab, banyak di antara mereka bukan betul-betul menjadi kombatan ISIS, tetapi hanya diajak dan diiming-imingi sesuatu untuk ikut bergabung.
”Kalau kemudian mereka semua ini dipukul rata, saya kira tidak adil, ya,” ujar Abdul.
Ketiga, menurut dia, pemerintah harus menyiapkan jalan tengah saat memutuskan memulangkan mereka. Jalan tengah tersebut adalah membina pandangan politik mereka agar setia kepada Pancasila, NKRI, dan UUD 1945.
”Jadi, mereka diizinkan kembali ke Indonesia, tetapi sampai pada masa tertentu ketika secara ideologi mereka dianggap belum memiliki kesetiaan kepada Pancasila, NKRI, dan UUD 1945, ya, mungkin dilakukan rehabilitasi atau pembinaan politik terlebih dahulu,” kata Abdul.
Pembinaan mereka pun, lanjutnya, tidak dilakukan di lembaga pemasyarakatan, tetapi di tempat tertentu yang telah ditetapkan pemerintah sebagai karantina politik.
”Saya kira perlu ada karantina politik sebagai jalan tengah supaya mereka bisa kembali ke Tanah Air dan mendapatkan hak-haknya dengan pendekatan kemanusiaan dan secara politik mereka dilakukan pembinaan,” ujarnya.