Filipina Pilih Hentikan Aliansi Militernya dengan AS
Keputusan Presiden Rodrigo Duterte dipicu pencabutan visa AS yang dipegang mantan kepala polisi yang memimpin perang berdarah Duterte terhadap narkoba. Duterte juga pernah berselisih dengan AS terkait sejumlah persoalan.
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·4 menit baca
MANILA, RABU — Presiden Rodrigo Duterte memutuskan untuk mengakhiri aliansi militer Filipina dengan Amerika Serikat (VFA) yang telah berlangsung dua dekade. Keputusan Manila menjadi pukulan bagi Washington di tengah upayanya menekan pengaruh China di Asia Tenggara dan Indo-Pasifik.
”Presiden tidak akan menerima inisiatif apa pun yang berasal dari Pemerintah AS untuk menyelamatkan VFA. Dia juga tidak akan menerima undangan resmi untuk mengunjungi Amerika Serikat,” kata juru bicara Duterte, Salvador Panelo, Selasa (11/2/2020), di Manila.
Keputusan itu dipicu oleh pencabutan visa AS yang dipegang mantan kepala polisi yang memimpin perang berdarah Duterte terhadap narkoba. Sebelumnya Duterte juga berselisih dengan AS terkait sejumlah persoalan. Panelo menegaskan, langkah itu diambil Duterte sehingga memungkinkan Manila lebih independen dalam hubungannya dengan negara-negara lain.
Langkah Duterte menjadi pukulan bagi AS dan kepentingannya di wilayah Asia Tenggara. Menteri Pertahanan AS Mark Esper menyebut keputusan itu ”tidak menguntungkan” dan mengatakan itu akan menjadi sebuah langkah ke arah yang salah pada saat Washington dan sekutunya berusaha menekan China untuk mematuhi ”aturan ketertiban internasional” di Asia.
Terdapat sejumlah konsekuensi bagi Manila atas langkahnya menghentikan aliansi militer dengan AS itu. Keputusan itu misalnya akan membatasi akses Filipina ke pelatihan dan keahlian AS dalam menangani ekstremisme Islam, bencana alam, dan ancaman keamanan laut.
Panelo mengatakan, keputusan Duterte merupakan konsekuensi dari tindakan legislatif dan eksekutif AS yang ”berbatasan dengan menyerang kedaulatan Filipina dan tidak menghormati sistem peradilan Filipina”.
Mengingat pentingnya aliansi dengan Filipina dalam strategi AS yang lebih luas, Washington berharap keputusan itu akan dibatalkan atau ditunda sebelum memiliki efek hukum dalam 180 hari. Esper mengatakan kepada wartawan yang bepergian bersamanya ke Brussels, Belgia, untuk sebuah pertemuan NATO.
Dikatakan bahwa pihaknya hanya menerima pemberitahuan tentang tindakan itu pada Senin malam. ”Kita harus mencernanya. Kita harus bekerja melalui sudut kebijakan, sudut militer. Saya akan mendengar dari komandan saya. Tapi dalam pandangan saya, sangat disayangkan mereka membuat langkah ini,” kata Esper.
Menurut Esper, dia tidak berpikir langkah Manila itu harus dikaitkan dengan China. Namun ditegaskan, langkah Duterte adalah langkah keliru. Sebab, AS bersama Filipina dan sekutu AS lain di Asia terus berupaya agar China mematuhi aturan hukum internasional di dalam sejumlah aspek dan perilakunya.
Fungsi aliansi
Keberadaan VFA sendiri penting bagi aliansi AS-Filipina secara keseluruhan dan menetapkan aturan bagi tentara AS untuk beroperasi di Filipina. Ini mendukung apa yang disebut Washington sebagai hubungan ”sangat ketat” meskipun ada keluhan Duterte tentang kemunafikan AS, perlakuan buruk, dan sistem peralatan senjata yang menua.
Duterte mengatakan, AS menggunakan pakta terkait hal itu untuk melakukan kegiatan-kegiatan, misalnya memata-matai dan melengkapi senjata nuklir, yang berisiko menjadikan Filipina target agresi China.
Mengakhiri VFA dapat melukai kepentingan Washington di masa depan. Salah satunya adalah dalam upaya mempertahankan kehadiran pasukan AS di Asia Pasifik. Hal itu terjadi di tengah gesekan atas kehadiran personel AS di Jepang dan Korea Selatan dan kekhawatiran keamanan tentang China dan Korea Utara di Semenanjung Korea.
Beberapa senator Filipina berusaha untuk menghalang-halangi langkah Duterte segera setelah berita itu muncul. Alasan yang mengemuka adalah bahwa hal itu tanpa persetujuan senat. Maka, Duterte dinilai tidak memiliki hak untuk secara sepihak membatalkan pakta internasional yang telah diratifikasi. ”Kita harus berbicara tentang masalah penting ini,” kata Senator Richard Gordon.
Beberapa anggota parlemen khawatir bahwa tanpa VFA, dua pakta lainnya tidak akan relevan, yaitu Perjanjian Kerja Sama Pertahanan Tambahan tahun 2014 yang dibuat di bawah pemerintahan Obama dan Perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1951. Hal itu mencakup lusinan latihan pelatihan militer tahunan dan memperluas akses pasukan dan peralatan militer ke Filipina, serta mengikat kedua negara untuk saling membela dari agresi eksternal.
Para pendukung perjanjian itu berpendapat bahwa mereka telah menghalangi militerisasi China di Laut China Selatan dan 1,3 miliar dollar AS bantuan pertahanan AS sejak 1998. Hal itu dinilai sangat penting dalam meningkatkan kemampuan pasukan Filipina yang terhitung kekurangan sumber daya.
Namun, kaum nasionalis Filipina mengatakan bahwa AS tidak melakukan apa pun untuk menghentikan China membangun pulau-pulau di Laut China Selatan yang dilengkapi dengan rudal. Mereka juga menilai VFA secara kasatmata lebih menguntungkan bagi Amerika, termasuk pemberian kekebalan dari penuntutan bagi prajurit AS. (REUTERS)