Para pemimpin negara anggota di Uni Afrika merasa selama ini mereka tak dianggap dan tidak dilibatkan dalam upaya perdamaian Libya karena proses itu utamanya dipimpin PBB dan melibatkan negara-negara Eropa.
Oleh
LUKI AULIA
·2 menit baca
ADDIS ABABA, SENIN -- Uni Afrika berkeinginan untuk mengambil peran lebih besar dalam proses penyelesaian konflik di kawasan itu. Salah satunya adalah upaya mendorong proses perdamaian di Libya. Para pemimpin negara anggota di Uni Afrika, Senin (10/2/2020), merasa tak dianggap dan tidak dilibatkan dalam upaya perdamaian Libya karena proses itu utamanya dipimpin PBB dan melibatkan negara-negara Eropa.
Keluhan dan komitmen tentang isu ini mengemuka dalam Konferensi Tingkat Tinggi Afrika yang dihadiri oleh 55 negara anggota. Pada kesempatan itu, Ketua Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika Smail Chergui, menawarkan usulan untuk memulai kembali proses perdamaian Libya.
"Kini PBB yang membutuhkan kita. Sudah saatnya mengakhiri konflik ini. Dua lembaga harus bekerja sama untuk mencapai perdamaian Libya," kata Chergui.
Sejak konflik pada 2011 yang menewaskan diktator Moammar Khadafi, Libya tercerai-berai akibat pertikaian antarfaksi. Saat ini Libya terbelah menjadi dua pemerintahan, yakni pemerintahan kesepakatan nasional (GNA) pimpinan PM Fayez al-Sarraj dan pemerintahan yang dipimpin Komandan Tentara Nasional Libya (LNA) Khalifa Haftar. Sejumlah perundingan telah digelar, tetapi gagal menghasilkan perdamaian.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa yang terpilih memimpin Uni Afrika mengingatkan, selain perdamaian di Libya, Uni Afrika juga harus mencari resolusi perang saudara Sudan Selatan. Konflik sejak tahun 2013 itu menewaskan ratusan ribu orang.
"Ini bagian dari masalah Afrika. Kami tahu masalah dan cara penanganan yang orang lain mungkin tidak tahu," kata Chergui.
Ini bagian dari masalah Afrika. Kami tahu masalah dan cara penanganan yang orang lain mungkin tidak tahu.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Sabtu lalu, memahami perasaan frustrasi Uni Afrika karena merasa tersingkir dalam proses upaya perdamaian Libya. Ini karena negara-negara Afrika Utara ribut sendiri, dan mayoritas terpecah antara mendukung Haftar, yang menguasai Libya timur, dan pendukung pemerintah Libya yang diakui oleh PBB.
Perundingan antarfaksi yang bertikai di Libya berakhir, Sabtu lalu, tanpa ada kesepakatan gencatan senjata. PBB mengusulkan pertemuan lanjutan membahas perundingan perdamaian, 18 Februari mendatang.
Masalah internal
Chergui optimis, pihaknya bisa membantu proses perdamaian. Namun, menurut para pengamat, Uni Afrika harus menyelesaikan masalah finansial dan konflik internalnya terlebih dahulu. "Kalau mau terlibat dalam proses ini tidak bisa hanya dengan alasan paham masalahnya atau sekadar hadir di sana," kata Claudia Gazzini dari lembaga kajian the International Crisis Group.
Mengenai isu Sudan Selatan, Uni Afrika berusaha menyatukan pihak yang bertikai, namun belum berhasil. Padahal, ada batas waktu pembentukan pemerintahan bersatu pada tanggal 22 Februari mendatang yang harus dipenuhi Presiden Sudan Selatan dan pemimpin gerilyawan, Riek Machar. (AFP)