Pemerintah AS menekankan keinginannya agar kelompok Taliban benar-benar menghentikan terjadinya tindak kekerasan di lapangan. Jika tidak, Pemerintah AS tidak akan menyetujui perjanjian damai antarkeduanya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
DOHA, KAMIS — Sejumlah pihak yang ikut serta dalam perundingan antara Amerika Serikat dan kelompok Taliban menyatakan perdamaian kedua belah pihak kemungkinan besar akan tercapai pada bulan ini. Namun, sejumlah syarat yang diinginkan para pihak kembali menemui jalan buntu.
Suhail Shaheen, juru bicara kantor politik Taliban di Doha, Qatar, Kamis (13/2/2020), menyatakan, kedua pihak yang berunding mengalami kemajuan dalam proses perundingan. Namun, dia tidak mau memberikan penjelasan lebih detail mengenai substansi isi perundingan yang telah disepakati.
Informasi mengenai kemajuan perundingan juga sempat disampaikan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani melalui media sosial. Ghani, Selasa (11/2/2020), menyatakan, dia dihubungi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo bahwa ada kemajuan yang signifikan dalam perundingan AS-Taliban.
Seorang pejabat resmi Afghanistan yang mengetahui detail perundingan tersebut menyatakan, delegasi Pemerintah AS sepakat dengan substansi rencana perjanjian damai tersebut.
Namun, Pemerintah AS menekankan keinginannya agar kelompok Taliban benar-benar menghentikan terjadinya tindak kekerasan di lapangan. Jika tidak, Pemerintah AS tidak akan menyetujui perjanjian damai tersebut, menurut pejabat yang tidak ingin namanya diungkap itu.
Seorang pejabat negara Barat di Afghanistan, yang juga mengetahui detail jalannya perundingan tersebut, mengatakan, AS menghendaki Taliban untuk menginstruksikan anggotanya supaya menghentikan tindakan kekerasan selama sepuluh hari atau selama perundingan berlangsung.
”Jika hal itu bisa dilakukan (oleh Taliban), perundingan bisa terus dilangsungkan dan bisa memastikan adanya kelanjutan dialog antarkelompok yang bertikai di dalam negara itu sendiri,” kata pejabat yang enggan disebutkan namanya itu.
Ghani berencana untuk berbicara langsung dengan Menlu AS pada akhir pekan ini di sela-sela konferensi keamanan di Muenchen, Jerman.
Penarikan pasukan
Saat ini terdapat lebih kurang 13.000 tentara, baik tentara AS atau pasukan gabungan NATO, di Afghanistan. Penempatan pasukan ini dilakukan setelah kelompok teroris Al Qaeda menyerang AS pada 11 September 2011.
Pemerintah AS berencana untuk memulangkan sebagian anggota pasukannya di Afghanistan dan menyisakan sekitar 9.000 tentara.
Namun, ketiadaan kesepakatan tentang pengurangan kekerasan yang dilakukan Taliban dan anggotanya selama perundingan berlangsung membuat AS berpikir ulang untuk menarik kembali pasukannya dari Afghanistan.
Pada Januari lalu, badan rekonstruksi Afghanistan, sebuah lembaga milik Pemerintah AS, menyebutkan bahwa tingkat kekerasan yang dilakukan oleh Taliban meningkat sejak tiga bulan terakhir. Setiap hari terjadi tindakan kekerasan Taliban, yang kini menguasai hampir 40 persen wilayah Afghanistan.
Seorang komandan pasukan lapangan Taliban menyatakan, mereka tidak akan menghentikan serangan terhadap obyek vital milik AS selama Pemerintah AS masih menempatkan pasukannya di negara mereka.
Kami hanya akan menghentikan serangan terhadap AS apabila Pemerintah AS menghentikan semua serangan yang ditujukan kepada kami di Afghanistan.
”Kami hanya akan menghentikan serangan terhadap AS apabila Pemerintah AS menghentikan semua serangan yang ditujukan kepada kami di Afghanistan,” katanya.
Sebelumnya, di awal Februari, salah satu pimpinan kelompok Taliban mengirimkan pesan yang kuat pada delegasi perundingan AS melalui delegasi mereka agar Pemerintah AS segera menandatangani kesepakatan damai itu sebelum musim semi tiba.
”Amerika Serikat telah membuang-buang waktu dan tenaga dalam proses perundingan damai ini. Para pemimpin harus segera memutuskan untuk melanjutkan perundingan atau mengakhirinya selama-lamanya,” kata komandan kelompok Taliban yang enggan disebutkan namanya.
Sang komandan menyatakan mereka telah mempersiapkan diri untuk melakukan serangan pada awal musim semi ini. Mereka juga menyebutkan kalau mereka telah merekrut lebih dari 6.000 pejuang dan calon pelaku bom bunuh diri jika perundingan damai tersebut gagal. (REUTERS/ALJAZEERA)