China Terapkan Sanksi Tegas, Warga Dilarang Keluar Rumah Selama 14 Hari
Warga yang menolak mengarantina diri sendiri atau karantina terpusat serta upaya lainnya akan diberikan sanksi berdasarkan peraturan dan undang-undang yang berlaku.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BEIJING, SABTU — Wisatawan lokal warga China yang baru saja kembali ke ibu kota Beijing diperintahkan mengarantina diri atau tidak keluar rumah masing-masing selama 14 hari. Pemerintah akan menerapkan sanksi yang lebih tegas kepada warganya yang melanggar imbauan tersebut.
Perintah itu disampaikan Pemerintah China melalui surat kabar Beijing Daily, Jumat (14/2/2020). Disebutkan, warga yang melanggar akan dihukum berdasarkan peraturan yang ada.
Namun, tidak dijelaskan bagaimana cara pelaksanaan imbauan itu dan pengawasannya. Termasuk apakah imbauan itu berlaku bagi warga yang bukan berasal dari Beijing ataupun warga asing yang sedang berada di kota tersebut.
”Mulai hari ini, semua warga yang kembali ke Beijing harus tetap berada di dalam rumah atau bergabung dalam sebuah grup yang diawasi selama setidaknya 14 hari setelah waktu kedatangan. Warga yang menolak mengarantina diri sendiri atau karantina terpusat serta upaya lainnya akan diberikan sanksi berdasarkan peraturan dan undang-undang yang berlaku,” demikian isi perintah yang terpampang di Beijing Daily.
Seorang pria memakai masker menggunakan sepeda di jalanan Beijing yang kosong, Rabu (12/2/2020). China melaporkan, penambahan kasus positif penyakit akibat virus korona atau Covid-19 baru terendah sejak 30 Januari, Selasa (11/2/2020).
Perintah yang sama juga tidak hanya disampaikan melalui surat kabar. Dikutip dari The New York Times, Pemerintah China juga mengumumkan hal tersebut melalui siaran stasiun televisi milik negara. Perintah tersebut dilaporkan dibuat dan kemudian disampaikan segelintir petinggi Partai Komunis tingkat kota atau kabupaten dan Partai Komunis China.
Upaya pencegahan penularan virus korona yang lebih ketat juga direncanakan di wilayah lainnya. Pemerintah Kota Honghu di Provinsi Hubei menerapkan isolasi kota sejak Jumat (14/2/2020), yang digambarkan seperti suasana kota ketika perang.
Menurut stasiun televisi milik China, CCTV, mengutip akun media sosial polisi lokal, ada pembatasan waktu masuk dan keluar kompleks-kompleks perumahan di kota dan di kawasan perdesaan.
Seorang pejabat tinggi China mengakui bahwa penyebarluasan virus korona membuat pemerintah mereka kerepotan, sekaligus menjadi tantangan untuk menghentikannya.
Pada saat yang sama pejabat tersebut membela berbagai kebijakan Pemerintah China dalam menangani wabah itu serta menyayangkan reaksi yang berlebihan dari dunia internasional.
Pada saat yang sama, pejabat resmi Pemerintah Hubei mengumumkan 2.420 kasus baru di provinsi tersebut dan jumlah warga yang tewas akibat virus korona bertambah sebanyak 139 orang. Kini, berdasarkan data WHO, jumlah warga China yang terdampak virus korona telah lebih dari 66.000 jiwa. Jumlah kematian akibat virus korona juga telah melebihi angka 1.500.
Adam Kamradt-Scott, ahli penyakit menular pada Center for International Security Studies di Universitas Sydney, mengatakan khawatir wabah ini belum mencapai puncaknya. Menurut dia, dengan angka-angka tersebut, belum ada tanda-tanda penularan akan berhenti.
Wang Yi, Pelaksana Tugas Menteri Luar Negeri China, mengatakan, pemerintahannya telah melakukan berbagai upaya untuk melawan wabah tersebut. Bahkan, menurut dia, berbagai tindakan yang dilakukan Pemerintah China lebih baik dibandingkan rekomendasi tindakan yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO).
”Dengan berbagai upaya kami, wabah ini semua bisa diatasi,” kata Yi.
Memulihkan kondisi ekonomi
Pemerintah China kini tengah berupaya mengembalikan kondisi ekonominya sama seperti sebelum terjadinya wabah virus korona. Wabah yang bermula di Provinsi Hubei ini membuat hampir setengah miliar warga terdampak pergerakannya sehari-hari.
Presiden China Xi Jinping mengingatkan pejabat-pejabat China bahwa upaya untuk memerangi wabah itu sendiri sudah terlalu jauh dan membahayakan ekonomi negara.
HSBC sendiri telah menurunkan angka pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2020 sebagai dampak dari wabah ini, dari semula 5,8 persen menjadi hanya 4,1 persen pada tahun ini. Angka pertumbuhan China, menurut HSBC, akan turun dari 5,8 persen menjadi hanya 5,3 persen pada tahun 2020.
Pemandangan seperti kota mati menjadi hal yang biasa di beberapa kota di China, termasuk kota yang menjadi pusat industri dan perdagangan. Jalan-jalan di Beijing dan Shanghai, contohnya, toko tutup atau restoran yang sepi dari pengunjung adalah pemandangan yang biasa dilihat selama beberapa pekan terakhir ini.
Bagi pegawai pemerintah seperti Jin Yang (28), pemandangan ini adalah pemandangan yang ”normal” baginya. Para pekerja yang masih berkantor kini makan di mejanya masing-masing dengan sekotak makan siang karena kantin kantor tutup. Rapat pun diadakan secara online dibandingkan harus bertatap muka satu sama lain.
Para pekerja pun harus menggunakan masker setiap hari di manapun mereka berada dan melaporkan kepada atasannya tentang kondisi dan suhu tubuh mereka setiap dua hari.
Berbagai kondisi tersebut membuat ekonomi China, berdasarkan penelitian Reuters, akan membuat perekonomian Negara Tirai Bambu ini melambat pada kuartal I-2020. Kondisi ini akan membuat China memasuki angka pertumbuhan ekonomi terendah semenjak krisis finansial global.
Asosiasi otomotif China memprediksi penjualan kendaraan bermotor, baik roda empat maupun roda dua, akan tergelincir hingga 10 persen hingga 6 bulan ke depan karena wabah.
Salah satu industri yang sudah berhitung tentang dampak wabah ini adalah industri wisata perjalanan laut. Secara global, dampak wabah ini telah merugikan industri sekitar 46 triliun dollar Amerika Serikat. (REUTERS)