Epidemi COVID-19 seharusnya menyatukan penduduk dari berbagai negara. Namun, realitanya tak hanya sisi baik yang muncul dari orang atau negara tapi juga sebaliknya.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Setelah dua minggu ditolak berlabuh di sejumlah negara akhirnya kapal pesiar MS Westerdam diizinkan merapat di pelabuhan Sihanoukville, Kamboja, Kamis (13/2/2020) pagi.
"Pagi ini, melihat daratan menjadi momen yang menakjubkan," kata salah seorang penumpang dari Amerika Serikat, Angela Jones. "Saya berpikir: apakah ini nyata?" katanya.
Penumpang lain, Christina Kerby — yang telah mengunggah perkembangan perjalanan kapal pesiar di media sosial sejak ditolak berlabuh — mengatakan, dirinya "menangis" atas penerimaan yang hangat.
"Dukungan ini luar biasa," cuit Kerby di Twitter.
Jones dan Kerby merupakan bagian dari 1.455 penumpang kapal pesiar Westerdam. Di luar penumpang, kapal ini membawa 802 awak kapal.
Setelah "terdampar" di dalam kapal pesiar akhirnya para penumpang itu bisa menjejakkan kakinya di daratan. Begitu mendarat ada yang bersujud, langsung pergi ke pantai, ada juga yang memeluk Perdana Menteri Kamboja Hun Sen yang menyambutnya.
"Istri saya dan saya memberinya (Hun Sen) coklat sebagai rasa terima kasih," ujar Lou Poandel penumpang dari New Jersey, AS.
Sedianya, Westerdam membawa penumpangnya pesiar selama 14 hari di kawasan Asia Timur. Programnya dimulai dari Hong Kong 1 Februari hingga berakhir di Yokohama, Jepang, Sabtu (15/2/2020).
Akan tetapi, kapal yang dioperasikan oleh perusahaan yang berbasis di AS, Holland America Line, itu ditolak merapat di Jepang, Guam, Filipina, Taiwan, dan Thailand. Negara-negara itu khawatir kapal pesiar tersebut membawa penumpang yang positif terjangkit COVID-19.
Dengan pasokan bahan bakar dan makanan yang menipis mereka harus segera berlabuh. Kamboja pun akhirnya memberikan izin Westerdam untuk berlabuh.
Hun Sen mengatakan, "Kamboja peduli pada hak asasi manusia... Kami menghormati hak lebih dari 2.000 penumpang kapal."
"Kami tidak seperti negara besar yang kaya tapi kami memiliki simpati pada para penumpang yang terdampar di kapal."
Semua penumpang kapal diperbolehkan turun setelah tidak ditemukan adanya kasus COVID-19 di kapal tersebut.
Epidemi COVID-19 yang menyebar dengan cepat membuat banyak operator kapal pesiar di Asia Tenggara membatalkan perjalanannya, mengalihkan rute perjalanannya dengan tidak singgah di China, Hong Kong, dan Singapura yang menjadi rute umum kapal pesiar selama ini.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengapresiasi sikap Kamboja yang mau menerima masuk kapal pesiar Westerdam. Ini merupakan contoh dari "solidaritas internasional" yang di tengah ancaman wabah COVID-19 sangat diperlukan.
"Wabah bisa memunculkan sikap terbaik dan terburuk orang. Stigma terhadap orang ataupun negara tertentu hanya akan memperburuk keadaan."
"Bukannya menyalurkan energi untuk melawan epidemi, stigma justru mengalihkan perhatian dari ancaman sesungguhnya dan menjadikan orang saling berhadapan satu sama lain," tambah Tedros.
Pengorbanan
Epidemi COVID-19 yang berawal dari Kota Wuhan, China, hingga Jumat (14/2/2020) telah menjangkiti lebih dari 64.000 orang di 25 negara dengan kasus kematian mencapai 1.384 jiwa.
Tenaga kesehatan yang berada di depan menangani para pasien menjadi kelompok yang paling berisiko terinfeksi. Dengan risiko tertular mereka harus rela berkorban meninggal orang-orang terdekatnya.
Salah seorang dari mereka adalah Alfred Wong, dokter di Hong Kong. Selama merawat pasien COVID-19 pria berusia 38 tahun itu terpaksa tinggal terpisah dari istrinya yang sedang mengandung.
Wong mengajukan diri menjadi relawan menangani pasien di bangsal isolasi dan dijuluki "tim kotor". Karena tugasnya ini ia kemungkinan akan melewatkan kelahiran putrinya dua bulan lagi.
"Yang bisa saya lakukan sekarang adalah berusaha sebaik mungkin melindungi diri saya dan menjaga jarak dari semua orang -- keluarga dan teman-teman saya," katanya.
Wong bersama 14 dokter yang lain merawat dua pasien positif COVID-19. Mereka juga terus memantu perkembangan kondisi 40 pasien terduga lainnya.
"Kami harus mendatangi setiap pasien dua kali sehari dan menjalani tiga kali rapat tim untuk membahas perkembangan kondisi pasien," tutur Wong.
Sejak bergabung dengan tim relawan awal Februari Wong tinggal di hotel yang dekat dengan rumah sakit tempat ia bertugas. Untuk makan seringkali ia memesan makanan dari luar dengan layanan pesan antar. Terkadang ia juga dikirimi makanan oleh istrinya yang ditinggalkan di luar kamarnya.
Di hari kasih sayang 14 Februari kemarin Wong dan istrinya berharap bisa keluar untuk makan bersama di restoran. Namun, untuk meminimalkan risiko penularan mereka duduk di meja terpisah.(AFP/REUTERS)