Agar tidak ada kombatan eks Negara Islam Irak di Suriah yang menyusup pulang ke Tanah Air, Tim Verifikasi Pemerintah di Timur Tengah perlu membuat indikator detail untuk menakar kondisi mereka.
Oleh
Rini Kustiasih dan Ingki Rinaldi
·3 menit baca
Tim pemerintah yang akan memverifikasi WNI eks NIIS di Timur Tengah perlu membuat indikator detail untuk menakar kondisi mereka. Agar tidak ada eks kombatan menyusup.
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah didorong membuat kajian berbasis ukuran-ukuran teknis detail untuk menakar kondisi 689 eks warga negara Indonesia yang pernah bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS. Kajian itu diperlukan untuk memastikan apakah ada kelompok tertentu yang berpotensi dipulangkan, seperti anak-anak dan perempuan yang menjadi korban NIIS.
Terkait teroris lintas batas (foreign terrorist fighter/FTF) Pemerintah menegaskan tidak memulangkan FTF asal Indonesia. Keputusan ini diambil untuk melindungi warga di Tanah Air dari paham radikalisme. Namun, pemerintah masih akan mempertimbangkan kemungkinan memulangkan anak-anak di bawah 10 tahun yang dibawa orangtuanya atau menjadi yatim piatu.
Pemerintah juga tim khusus dari berbagai lembaga untuk memverifikasi keberadaan mereka di Suriah dan sejumlah negara lain. Tujuannya memudahkan pemerintah mengantisipasi masuknya FTF ke Indonesia (Kompas, 14/2/2020).
Pengamat terorisme Al Chaidar, Jumat (14/2) mengatakan, dalam memverifikasi 689 orang tersebut, pemerintah terlebih dulu harus memiliki ukuran-ukuran teknis yang jelas. Dengan demikian, dapat diketahui dengan baik mana siapa yang tergolong kombatan, mana anak-anak, atau perempuan, yang memang korban.
"Assessment berdasar ukuran-ukuran teknis itu diperlukan untuk mengetahui secara pasti siapa mereka, dan bagaimana karakter mereka. Apakah mereka benar-benar hanya korban yang tertipu janji ISIS (NIIS) atau bukan"
"Assessment berdasar ukuran-ukuran teknis itu diperlukan untuk mengetahui secara pasti siapa mereka, dan bagaimana karakter mereka. Apakah mereka benar-benar hanya korban yang tertipu janji ISIS (NIIS) atau bukan," kata Chaidar.
Dia mencontohkan, untuk mengkaji kondisi anak-anak di sana, perlu ditelusuri bagaimana relasi mereka dengan orang tuanya, serta apakah orangtuanya menjadi kombatan atau tidak, serta bagaimana kondisi psikologis anak itu. "Kalau bicara anak-anak di bawah 10 tahun tentu masih sangat tergantung dengan ibunya. Maka, kalau hanya dibawa anaknya saja bagaimana nanti penanganannya dan sebagainya, itu juga harus dihitung," ujarnya.
Adanya kasus mantan kombatan NIIS yang pulang ke Tanah Air dan justru melakukan pemboman di Indonesia, atau negara lain, seperti Filipina, diakui pernah terjadi. Untuk mencegah itu terulang, verifikasi teknis yang detil menjadi penting. Saat bersamaan, program deradikalisasi harus ditingkatkan, sehingga tingkat keberhasilannya tinggi.
Korban NIIS yang merasa tertipu dengan janji-janji palsu NIIS sebenarnya bisa diminta berkampanye deradikalisasi di Tanah Air. Namun, sejauh mana hal itu bisa diterapkan, sangat tergantung pada sikap dan hasil verifikasi tim pemerintah.
Tiga tipe
Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan mengatakan umumnya ada tiga tipologi orang Indonesia yang bergabung dengan NIIS. Pertama, kelompok ideologis yang menghendaki perubahan kenegaraan. Tipe kedua, ialah mereka yang berangkat karena iming-iming jaminan kesejahteraan dan gaji besar, bukan hanya ideologi.
Kelompok ketiga, kata Ken, adalah mereka yang ikut-ikutan dan berharap keberuntungan. Termasuk di dalamnya sebagian istri yang ikut suaminya dan juga anak-anak kecil yang belum memahami apapun.
"Kajian dan pengukuran itu merupakan kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, selaku lembaga teknis di lapangan"
Di Kota Semarang, Jawa Tengah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, kajian dan pengukuran itu merupakan kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, selaku lembaga teknis di lapangan. Menkopolhukam, kata dia, hanya membuat kebijakan umum, yakni dengan tidak memulangkan FTF ke Tanah Air.
Menurut dia, verifikasi teknis di lapangan, dan ukuran-ukuran apa saja untuk memverifikasi kombatan, anak-anak, dan perempuan yang merupakan korban, berada di wilayah kerja teknis.
"Kami hanya menegaskan kebijakan pemerintah tidak memulangkan FTF. Tetapi untuk teknisnya, itu sebaiknya ditanyakan kepada BNPT. Sebab itu teknis sekali," katanya.