Pemerintah Indonesia sudah menyatakan menutup pintu bagi warga yang bergabung dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah. Menurut data terbaru yang dikeluarkan pemerintah, kini jumlah warga negara Indonesia tergabung dengan NIIS hanya sekitar 680 orang.
Jumlah ini sedikit berkurang jika dibandingkan dengan data yang dihimpun oleh Pusat Kajian Internasional tentang Radikalisasi (ICSR) per Juli 2018. Saat itu, ICSR mencatat ada sekitar 800 warga asal Indonesia yang menjadi anggota NIIS. Saat ini, jumlahnya telah berkurang karena ada sebagian—perempuan dan anak-anak—yang telah kembali ke Indonesia. Dalam catatan ICSR, mereka masuk melalui sejumlah pintu.
Bagaimana dengan negara lain yang warganya bergabung dengan NIIS? Sikap mereka berbeda-beda. Ada yang senada dengan kebijakan Pemerintah Indonesia, menutup pintu. Akan tetapi, ada juga yang membuka pintu mereka.
Dirangkum dari berbagai sumber, seperti The New Yorker, NPR.org, The Guardian, Al Jazeera, The Independent, dan The New York Times, ada beberapa pendekatan yang diambil. Beberapa negara, seperti Inggris, Denmark, Jerman, dan Swedia, memutuskan mencabut status kewarganegaraan warganya dan keluarga mereka yang terbukti bergabung dengan NIIS.
Sementara Presiden Perancis Emmanuel Macron belum memberikan keputusan yang jelas mengenai status warganya yang memilih bergabung dengan NIIS. Menurut The Guardian, Perancis masih melakukan investigasi mendalam terhadap warganya yang tergabung dengan NIIS. Namun, masih menurut The Guardian, Pemerintah Perancis telah mengirimkan sejumlah warganya yang bergabung dengan NIIS untuk menjalani hukuman di Irak.
Penutupan program deradikalisasi pada tahun 2017 membuat Pemerintah Perancis memilih menutup pintu bagi orang dewasa yang bergabung dengan NIIS untuk kembali ke negara tersebut. Pemerintah Perancis hanya membuka pintunya bagi anak-anak yatim piatu yang orangtuanya tewas atau menjalani hukuman mati. Berbeda dengan negara Eropa, Kazakhstan, Tajikistan, dan Turki justru memilih membuka pintu mereka bagi warganya yang pernah bergabung dengan NIIS.
Pemerintah Kazakhstan menyediakan tempat berlindung bagi perempuan dan anak-anak. Di sana, perempuan dan anak-anak yang baru pulang dari Suriah didampingi beberapa psikolog dan dokter untuk mencoba menghilangkan rasa traumanya akibat peperangan dan tindakan terorisme yang dilakukan. Sementara itu, bagi laki-laki, pemerintah memilih tindakan hukum untuk mereka yang menyerahkan diri berupa 10 tahun penjara.
Malaysia juga melakukan hal yang sama sebagaimana diambil Turki, Tajikistan, dan Kazakhstan. Mereka menyediakan program rehabilitasi dan deradikalisasi bagi warganya yang ikut berbaur dalam propaganda NIIS.
Kebijakan Amerika Serikat terhadap warganya yang menjadi anggota NIIS belum jelas. Meski beberapa kali mendesak negara-negara Eropa untuk menerima kembali warganya yang pernah bergabung dengan NIIS, Presiden Donald Trump belum memiliki kebijakan yang pasti soal ini. Akan tetapi, pemerintah federal AS pernah mencoba program-program deradikalisasi terhadap beberapa warganya yang dipusatkan di Minnesota.