Perintang dan Bendungan, Asuransi untuk Ketenangan Belanda
Warga Belanda sadar bahwa negara mereka bisa tenggelam setiap saat. Alasan utamanya adalah negara di pesisir barat laut Eropa itu lebih rendah dari laut.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
Dalam dua pekan pertama Februari 2020, Belanda dan sejumlah negara Eropa dilanda dua badai yang menghasilkan hujan deras, angin berkecepatan lebih dari 100 kilometer per jam, hingga banjir. Pengalaman mengelola air membuat jutaan orang Belanda tenang akan potensi banjir yang dipicu badai-badai itu.
Sejak ratusan tahun lalu, orang Belanda sadar bahwa negara mereka bisa tenggelam setiap saat. Alasan utamanya adalah negara di pesisir barat laut Eropa itu lebih rendah dari permukaan laut. Di beberapa daerah, posisinya hampir 7 meter lebih rendah dari ketinggian permukaan laut.
”Kami pernah mengalami banjir amat buruk pada 1953. Kerugian (dengan mata uang sekarang) ratusan juta euro dan lebih dari 800 orang meninggal,” kata Jeroen Kramer dari Rumah Perintang, kantor yang mengelola pintu air penghubung kanal utama di Provinsi Belanda Selatan.
Kantor itu mengelola dua perintang pasang di Maeslant dan Hartel. Perintang-perintang itu dipasang di kanal yang menjadi ujung dari sistem sungai Rheine-Waal dan Meuse, dua sungai utama di Eropa barat laut. Dengan perintang di dua titik itu, Belanda bisa melindungi warganya dari banjir akibat pasang laut dan badai seperti pada 1953.
Perintang adalah salah satu dari bagian upaya Belanda mengendalikan banjir. Selain perintang, Belanda membuat bendungan, tanggul, distribusi kantong pasir, hingga aplikasi.
Setiap tahun, pemerintah kota menyurati warga tentang lokasi pengambilan kantong pasir. Kantong itu dibagikan hanya kepada warga yang membutuhkan.
”Banjir kadang masih terjadi, terutama di daerah di luar tanggul, perintang, dan bendungan. Tidak bisa meminta mereka pindah dari sana karena aneka alasan,” kata Kramer.
Warga yang tinggal di daerah seperti itu sudah sadar dengan risikonya. Kesadaran akan risiko banjir juga disebarkan lewat aplikasi. ”Saya terkejut waktu tahu rumah saya setiap saat terancam banjir hampir 2 meter,” kata Birgit Oosterhuis, warga di pinggiran Den Haag.
Ia tahu soal perkiraan itu dari aplikasi yang dibuat Pemerintah Belanda. Dengan aplikasi yang bisa diakses dari ponsel tersebut, warga tinggal memilih salah satu wilayah di Belanda.
Selanjutnya, aplikasi akan memberi tahu potensi ketinggian banjir di wilayah tersebut. Sebagian rumah di Belanda tenggelam hampir seluruhnya. Padahal, tinggi rumah di negara itu rata-rata di atas 5 meter.
Banjir Jakarta
Meskipun demikian, Oosterhuis dan banyak warga Belanda yang tinggal di wilayah di balik tanggul, perintang, atau bendungan nyaris tidak pernah merasakan banjir akibat pasang laut. Banjir yang paling kerap mereka alami adalah bila hujan terlampau deras dan lama. ”Tidak seperti banjir di Jakarta awal 2020,” kata Kramer.
Bagi pekerja pengelolaan air seperti Kramer, banjir Jakarta memang informasi menarik. Seperti sebagian besar Belanda, Jakarta juga lebih rendah dari permukaan laut. Fakta itu membuat Jakarta rawan banjir seperti halnya sebagian besar Belanda.
Den Haag sadar ancaman pada wilayahnya dan melakukan serangkaian upaya. Di sepanjang pesisir laut dan tepi sungai serta kanal dibuat tanggul. Di muara sungai dan ujung kanal dibuat bendungan dan perintang pasang.
Sejak 1958, Belanda telah membuat dan mengoperasikan 15 bendungan dan perintang pasang. Perintang akan dipasang jika kanal dan sungai menjadi rute pelayaran dan tidak mungkin dibendung.
Sebagai negara di muara Eropa, Belanda tidak bisa semaunya menutup sungai dan kanal di negaranya. Penutupan itu akan membuat tetangganya kehilangan akses ke laut. Hal itu bisa memicu konflik Belanda dengan tetangganya.
Di sisi lain, Belanda membutuhkan perlindungan untuk wilayahnya yang hampir dipastikan banjir jika tidak melakukan rekayasa apa-apa. Aneka simulasi menunjukkan Belanda akan rugi puluhan juta euro per hari jika direndam banjir. Kerugian itu dihasilkan oleh perbaikan oleh aneka hal yang rusak akibat banjir dan kehilangan potensi pendapatan karena aktivitas ekonomi terhenti selama banjir.
”Sampai sekarang, masih banyak orang bertanya, kenapa harus menghabiskan banyak sekali uang untuk membangun dan mengoperasikan perintang dan bendungan? Setelah diberi tahu dampak banjir, baru sadar manfaat semua ini. Perintang-perintang dan bendungan ini seperti asuransi. Mungkin mahal saat membayar premi. Walakin, terasa murah saat bencana terjadi,” tutur Kramer.