Virus Covid-19 Ubah Cara Transaksi di Restoran dan Kafe-kafe di China
Sejumlah perusahaan restoran cepat saji waralaba di China mengubah transaksi jual-beli hingga pengambilan dan pengantaran makanan di semua gerainya. Tidak ada kontak sama sekali antara karyawan restoran dan pembeli.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Dengan meluasnya wabah korona baru—yang dinamai resmi dengan Covid-19—di China, sejumlah perusahaan restoran cepat saji waralaba, seperti McDonald’s Corp dan Starbucks Corp, mengubah transaksi jual-beli hingga pengambilan dan pengantaran makanan di semua gerainya. Selama proses itu, tidak akan ada interaksi antarmanusia sama sekali. Tujuannya, demi melindungi karyawan sekaligus konsumen dari virus Covid-19.
Sejak wabah itu muncul, perusahaan-perusahaan tersebut menyebarluaskan informasi tentang cara transaksi yang baru. Untuk memesan makanan atau minuman, pembeli harus menggunakan telepon genggam atau komputer yang tersedia di dalam gerai. Pesanan itu kemudian ditutup rapat dan diletakkan di meja khusus yang akan diambil oleh pembeli sendiri. Tidak ada kontak sama sekali antara karyawan gerai dan pembeli.
Adapun untuk pesanan layanan antar, kurir akan meletakkan paket pesanan pembeli di depan gedung atau rumah. Setelah itu, kurir harus menyemprot tas yang digunakan untuk mengantar pesanan itu dengan obat pembasmi kuman dan mencuci tangan beberapa kali. Kurir juga harus menunjukkan kartu yang menyatakan bahwa kurir dan karyawan yang menyiapkan pesanan itu telah diperiksa suhu tubuhnya. Ini untuk meyakinkan pembeli bahwa pesanan mereka betul-betul aman.
Transaksi jual-beli seperti ini diharapkan bisa mencegah penyebaran virus Covid-19 lebih jauh. Saat ini saja virus Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 68.500 orang di dunia dan menewaskan 1.665 orang, yang mayoritas berada di Provinsi Hubei, China. Strategi yang meniadakan interaksi antarmanusia ini sesuai dengan imbauan Komite Kesehatan Nasional China untuk membatasi kontak antarmanusia pada saat pengantaran barang.
Seperti halnya restoran dan kafe lain, Starbucks juga mengajak konsumennya untuk memesan kopi melalui aplikasi di telepon genggam. Sang pelanggan itu kemudian menunggu di luar kafe hingga mereka mendapat kartu pengambilan pesanan. Kertas pemesanan ditempatkan di atas meja di luar pintu masuk kafe. Kalau ada yang mau masuk ke kafe Starbucks, mereka harus mau diperiksa suhu tubuhnya.
Untuk fasilitas pengantaran, Starbucks rutin mensterilkan tempat-tempat penyimpanan. Para kurir juga diukur suhu tubuhnya setiap hari. Tak cukup itu. Karyawan yang bekerja di dalam toko pun harus cuci tangan setiap 30 menit dan tempat-tempat duduk disterilkan setiap dua jam sekali. Langkah-langkah ini menunjukkan betapa perusahaan cepat beradaptasi untuk menjual makanan sambil menjaga konsumen tetap aman.
Sejak wabah virus Covid-19 muncul, perusahaan-perusahaan restoran cepat saji waralaba di China menyebarluaskan informasi tentang cara transaksi yang baru. Transaksi baru ini memastikan tidak ada kontak sama sekali antara karyawan gerai dan pembeli.
Akibat krisis wabah korona ini, pengantaran tanpa interaksi sama sekali di China makin banyak dilakukan. Kurir hanya akan meletakkan paket pesanan konsumen di pintu atau lobi atau di loker kalau belum bisa diambil saat itu. Namun, cara ini juga tidak mudah karena semakin banyak kompleks permukiman yang membatasi akses bagi kurir untuk masuk. Konsumen akhirnya diminta untuk mengambil sendiri paket pesanannya.
Pakar strategi marketing di Daxue Consulting di Shanghai, Allison Malmsten, menceritakan bahwa ada konsumen yang meminta kurir meletakkan parsel di tangga berjalan dan menekan tombol ke lantai yang dituju. Konsumen itu lalu mengambil paketnya ketika pintu dibuka. ”Wabah ini meredefinisi pengantaran makanan tanpa kontak,” ujarnya.
Mengubah hidup
Wabah Covid-19 saat ini telah mengubah banyak hal dalam kehidupan warga China. Terkait dengan kebutuhan olahraga, misalnya, warga China kini harus menyesuaikan dengan aturan bahwa mereka tidak boleh banyak beraktivitas di luar rumah. Mereka kini melakukan olahraga itu di dalam rumah, apartemen, atau tempat tinggal mereka.
Pan Shancu (44), pelari jarak jauh, misalnya, menggelar latihan lari berputar-putar di dalam rumah apartemennya saja. Ia lari berputar-putar di dalam rumahnya selama 6 jam 41 menit. Jaraknya tidak tanggung-tanggung, 66 kilometer. Ia lari mengelilingi meja ruang tamunya.
”Pertamanya saya agak pusing. Namun, lama-lama setelah putar-putar terus, ya jadi biasa. Lari itu rasanya seperti kecanduan. Kalau tidak lari dalam waktu lama, kaki saya rasanya gatal,” kata Pan kepada kantor berita AFP melalui telepon dari Hangzhou, dekat Shanghai, China.
Warga lainnya pun berolahraga di dalam rumah dengan cara sesederhana. Ada yang bolak-balik mengangkat galon air, push-up dengan menggendong anak di punggung, dan ada juga yang berkali-kali naik turun tangga. Hanya demi mencari keringat.
Peter Gardner (61), warga Inggris yang bekerja sebagai manajer operasional perusahaan Amerika Serikat dan tinggal di Tianjin, China, mengatakan, dirinya diperbolehkan keluar dari apartemennya hanya selama 30 menit pada siang hari untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Agar bisa berolahraga, ia dua kali lari naik turun tangga darurat dari menara apartemen berlantai 17-nya tiga kali sehari.(AFP/REUTERS)