BRUSSELS, SELASA — Para menteri luar negeri Uni Eropa, Senin (17/2/2020), sepakat untuk mengakhiri Operasi Sophia yang secara resmi disebut Operasi Laut Uni Eropa Mediterania.
Oleh
·3 menit baca
BRUSSELS, SELASA — Para menteri luar negeri Uni Eropa, Senin (17/2/2020), sepakat untuk mengakhiri Operasi Sophia yang secara resmi disebut Operasi Laut Uni Eropa Mediterania. Blok itu kemudian meluncurkan upaya maritim baru yang lebih fokus pada penegakan embargo senjata Amerika Serikat di sekitar Libya.
Operasi Sophia adalah operasi militer yang dilancarkan Uni Eropa (UE) pada 2015, empat tahun setelah krisis Libya, untuk memerangi bisnis penyelundupan pengungsi dan jaringan perdagangan manusia, mengembalikan stabilitas serta keamanan di Libya dan kawasan Mediterania. Saat itu, puluhan ribu migran menyeberangi lautan dari Afrika Utara ke Eropa. Selain untuk menindak penyelundupan migran, tujuan operasi juga untuk menegakkan embargo senjata yang secara rutin dilanggar.
Ketegangan tentang bagaimana mendistribusikan migran yang dijemput di laut dan mengklaim bahwa kehadiran angkatan laut mampu mencegah masuknya imigran gelap telah membuat Italia memblokade pengiriman kapal angkatan laut tahun lalu. Austria juga menentang kembali beroperasinya kapal perang di kawasan tersebut. Meski demikian, Operasi Sophia tetap berjalan berbulan-bulan yang secara eksklusif menggunakan pesawat terbang dan pesawat nirawak (drone).
Operasi baru
Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Josep Borrell mengatakan, mereka sepakat meluncurkan operasi baru di Mediterania dan Operasi Sophia akan ditutup. Hal itu dikatakan Borrell seusai memimpin pertemuan para menteri luar negeri UE di Brussels, Belgia, Senin. ”Operasi Sophia akan berakhir 20 Maret,” katanya.
Teks-teks hukum yang mendefinisikan persyaratan pasti misi baru tersebut masih harus dirumuskan para ahli dan diajukan untuk pertemuan para menteri berikutnya, Maret 2020. Idenya ialah untuk menggeser operasi baru lebih jauh ke timur, jauh dari perairan yang biasa digunakan para migran yang keluar dari Libya untuk mencapai kehidupan yang lebih layak dan nyaman di Eropa.
Menurut Borrell, operasi baru, yang belum disebutkan namanya, bertujuan menerapkan embargo senjata terdiri dari aset udara, satelit, dan maritim. Dia mengatakan, beberapa negara telah menawarkan diri untuk ikut serta, tetapi para komandan militer belum dapat menentukan berapa banyak peralatan yang dibutuhkan.
Libya terjebak dalam konflik bersenjata sejak 2011 ketika perang saudara mengakhiri kekuasaan diktator Moammar Khadafy yang kemudian dibunuh dalam sebuah pertempuran pada 20 Oktober 2011 di Sirte, kota kelahirannya di Libya.
Sulit berdamai
Saat ini negara di Afrika utara tersebut terbelah. Komunitas internasional mengakui pemerintah yang berpusat di ibu kota Tripoli, yakni Pemerintahan Nasional Libya (GNA) yang dipimpin Fayez al-Sarraj. Di sisi lain terdapat pemerintahan tandingan berkuasa di bagian timur Libya yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar dari Tentara Nasional Libya (LNA).
Upaya untuk mempersatukan kedua pihak yang bertikai terus dilakukan. Namun, pihak bertikai di Libya tetap menolak bertemu. Padahal, komunitas internasional telah menyelenggarakan dua forum untuk mereka. Forum terakhir diselenggarakan di Berlin, Minggu (19/1), atas prakarsa Jerman dan PBB.
Masalah penyelundupan senjata yang menyebabkan langgengnya konflik bersenjata di Libya jadi keprihatinan luas. ”Sekarang tiba misi baru dengan fokus yang jelas pada embargo senjata,” kata Menlu Austria Alexander Schallenberg.
Menlu Luksemburg Jean Asselborn menggarisbawahi pentingnya fokus pada embargo senjata dari Amerika Serikat yang diduga kuat paling banyak mengalir ke Libya. ”Jika tidak ada senjata, tidak ada perang. Ada beribu-ribu senjata di Libya,” kata Asselborn. ”Kami di Eropa adalah orang-orang yang akan menderita jika anarkistis menyebar di Libya.”