Ashraf Ghani Menang Pilpres, Abdullah dan Taliban Menolaknya
Pemilu Afghanistan telah dilaksanakan pada pada 28 September 2019 dan dimenangkan oleh presiden petahana, Ashraf Ghani. Namun, calon saingan utamanya yang kalah dan militan Taliban menolak hasil yang memenangkan Ghani.
Oleh
Elok Dyah Messwati
·3 menit baca
KABUL, RABU -- Komisi Pemilihan Independen (IEC) Afghanistan, Selasa (18/2/2020), mengumumkan presiden petahana Ashraf Ghani sebagai pemenang pemilihan presiden negara itu.
Sementara kandidat presiden pesaing Ghani, Abdullah Abdullah, menolak hasil pemilihan presiden tersebut dan bertekad untuk membentuk pemerintahan tandingan. Hal ini bisa menimbulkan gejolak baru di saat Amerika Serikat (AS) berusaha untuk menarik pasukan AS sesuai kesepakatan militan Taliban.
Ketua IEC Afghanistan Hawa Alam Nuristani mengatakan bahwa Ghani telah memenangi 923.592 suara (50,64 persen), sedangkan Abdullah memperoleh 720.841 suara (39,52 persen).
"Semoga Tuhan membantunya melayani rakyat Afghanistan. Saya juga berdoa agar perdamaian terwujud di negara kita," kata Nuristani pada konferensi pers Selasa pagi di Kabul, Ibu Kota Afghanistan.
Nuristani mengatakan sebelumnya bahwa sebanyak 1,8 juta warga Afghanistan yang ikut memilih dalam pemilihan presiden dari sekitar 9,6 juta pemilih yang memenuhi syarat.
Pada hari pemilihan, banyak warga Afganistan menemukan daftar pemilih yang tidak lengkap, sistem identifikasi biometrik tidak dapat dijalankan, padahal bertujuan untuk mencegah penipuan, dan dalam beberapa kasus pekerja pemilu yang bermusuhan.
Pemilihan presiden Afghanistan yang diselenggarakan pada 28 September 2019 lalu merupakan yang keempat kalinya sejak pasukan AS menggulingkan pemerintah Taliban pada tahun 2001. Namun pelaksanaan pemilihan presiden tersebut dituduh Abdullah terdapat kecurangan, ada gangguan teknis dengan perangkat biometrik yang digunakan untuk pemilihan, serangan, dan penyimpangan lainnya.
Meskipun IEC Afghanistan secara resmi telah mengumumkan kemenangan Ghani, namun Abdullah mengklaim bahwa pihaknya yang telah memenangi pemilihan presiden tersebut dan akan membentuk pemerintahan.
"Hasil yang IEC umumkan hari ini adalah hasil dari kecurangan pemilu, kudeta terhadap demokrasi, pengkhianatan atas kehendak rakyat, dan kami menganggapnya ilegal," kata Abdullah dalam konferensi pers setelah pengumuman IEC tersebut.
Taliban juga menolak kemenangan Ghani dan menyebutnya "ilegal" dan "menentang proses perdamaian". Sementara Ghani memuji hasil pemilu tersebut dan dalam siaran televisi dia mengatakan bahwa pemerintahannya terbuka untuk semua rakyat Afghanistan. Tidak ada pernyataan langsung dari pemerintah AS yang mengakui Ghani sebagai pemenang pemilu.
Kesepakatan damai
Hasil pemilihan presiden Afghanistan tersebut diumumkan tepat ketika AS hendak melakukan kesepakatan damai dengan Taliban. Kesepakatan tersebut memungkinkan penarikan pasukan AS dengan imbalan berbagai jaminan keamanan dan janji bahwa gerilyawan Taliban akan mengadakan pembicaraan damai dengan pemerintah Afghanistan.
Seorang pejabat Afghanistan mengatakan bahwa AS dan Taliban dapat menandatangani kesepakatan pada 29 Februari di Doha, Qatar, tergantung pada situasi di periode "pengurangan kekerasan" yang membangun kepercayaan. Presiden AS Donald Trump telah berulang kali menyatakan keinginannya untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan.
Di Washington, seorang diplomat senior AS mengatakan bahwa Perwakilan Khusus AS Zalmay Khalilzad, yang memimpin pembicaraan dengan Taliban mengenai perjanjian penarikan pasukan AS, kebetulan tiba di Kabul dan berbicara dengan para pemimpin politik Afghanistan. Khalilzad mengatakan pada hari Senin bahwa ia sangat optimis tentang kemajuan menuju kesepakatan dengan Taliban tersebut.
Molly Phee, wakil Khalilzad, di sebuah acara di lembaga pemikir AS mengatakan bahwa perselisihan antara Ghani-Abdullah mungkin dapat menambah banyak tantangan yang dihadapi Afghanistan, termasuk tantangan yang terkait dengan proses perdamaian.
Setelah kesepakatan tercapai, pemerintah Afghanistan harus bersiap untuk bertemu dengan Taliban dan menegosiasikan perjanjian perdamaian resmi atas nama rakyat Afghanistan.
Analis politik Atta Noori menyebut hasil itu merupakan langkah maju menuju kemungkinan pembicaraan dengan Taliban. "Pemerintah yang goyah tidak dalam posisi untuk berbicara dengan Taliban. Sekaranglah saatnya bagi Ghani untuk bertindak sebagai negarawan dan membentuk tim inklusif untuk berbicara dengan Taliban," kata Noori.
Noori menambahkan bahwa orang-orang dari pihak Abdullah harus ada di antara negosiator tersebut.
Adapun langkah Abdullah selanjutnya, menurut Noori, pembicaraan damai antara pemerintah Afghanistan dan Taliban itu "lebih penting" daripada tuduhan penipuan pemilu.(REUTERS/AP/AFP)