Harapan baru muncul di Afghanistan. Kelompok Taliban, Amerika Serikat, dan Pemerintah Afghanistan menyepakati gencatan senjata. Meski hanya sepekan, kesepakatan itu diharapkan mampu membawa perdamaian permanen.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·4 menit baca
KABUL, SABTU – Suasana Afghanistan agak berbeda pada Sabtu (22/2/2020). Sejumlah warga turun ke jalan dan menari-nari. Mereka merayakan gencatan senjata parsial yang disepakati oleh kelompok Taliban, Amerika Serikat, serta Pemerintah Afghanistan.
Sebelumnya, ketiga kekuatan itu telah sepakat mengurangi kekerasan. Dan, jika betul-betul dijaga, gencatan senjata yang dimulai pada Sabtu itu akan berlangsung selama sepekan.
”Ini adalah pagi pertama di saat saya bisa pergi tanpa takut terbunuh oleh bom atau bom bunuh diri. Saya harap itu berlanjut selamanya,” kata Habib Ullah, seorang sopir taksi di Kabul.
Seperti di Kabul, warga di Kandahar—wilayah yang dianggap sebagai basis Taliban—dan di Jalalabad, puluhan warga menarikan tarian tradisional Pashtun. Bahkan, di Jalalabad, warga merayakannya dengan mengadakan balap sepeda dadakan di sekitar kota.
Bagi mereka, gencatan senjata itu memberikan ruang dan kelonggaran yang selama ini sangat dibutuhkan warga sipil. Mereka adalah korban sesungguhnya dari perang di Afghanistan. Mereka menanggung beban dari kekerasan di negeri itu.
Korban sipil
Misi Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afghanistan (UNAMA) mengatakan, sepanjang tahun lalu lebih dari 10.000 warga sipil menjadi korban perang. Rinciannya, 3.404 warga sipil tewas dan 6.989 orang lainnya terluka. Jumlah itu sedikit menurun dibandingkan dengan korban sipil yang tercatat pada 2018.
Menurut PBB, dalam satu dekade terakhir, lebih dari 100.000 orang terbunuh dalam konflik di Afghanistan. ”Sangat penting bagi semua pihak untuk memanfaatkan momen ini (gencatan senjata) untuk menghentikan pertempuran karena perdamaian sudah lama lewat. Kehidupan sipil harus dilindungi dan upaya untuk perdamaian sedang berlangsung,” kata Direktur UNAMA Tadamichi Yamamoto.
Seorang warga Kabul, Fazul Rahman, mengapresiasi kesepakatan gencatan senjata sementara itu. Namun, menurut dia, yang betul-betul dia inginkan adalah gencatan senjata permanen.
”Mereka harus menemukan solusi jangka penjang untuk masalah negara ini,” kata Emamuddin, seorang penjaga toko yang memiliki pendapat senada dengan Fazul Rahman. ”Seminggu tanpa kekerasan akan berlalu dalam sekejap mata,” kata Emamuddin menambahkan.
Dipantau
Jenderal Scott Miller, komandan pasukan AS dan NATO di Afghanistan, menegaskan, pasukan koalisi akan terus memantau kesepakatan itu. ”Tujuannya di sini adalah bahwa kita mengurangi kekerasan di Afghanistan,” kata Miller kepada wartawan, sambil menambahkan bahwa dia yakin dengan komitmen semua faksi Taliban terhadap proses tersebut.
Bagi banyak pihak, gencatan senjata ini memberikan kesempatan bagi para pihak, terutama Taliban, bahwa mereka mampu mengendalikan pasukan mereka, serta menunjukkan itikad baik. Di sisi lain, pasukan Afghanistan—selama sepekan nanti—akan tetap berada pada status bertahan aktif.
Di Kandahar, seorang anggota Taliban mengatakan, dirinya telah menerima perintah untuk mundur. Namun, seorang anggota Taliban lainnya mengatakan, dirinya hanya diperintahkan untuk tidak menyerang kota-kota besar dan jalan raya.
Melalui Twitter, Menteri Pertahanan AS Mark Esper menulis, ”Taliban harus menunjukkan komitmen mereka terhadap pengurangan kekerasan”.
”Jika Taliban menolak jalur perdamaian, kami tetap siap untuk membela diri dan mitra Afghanistan kami,” ucapnya.
Sejak invasi AS pada 2001, hanya ada satu jeda dalam pertempuran. Gencatan senjata tiga hari antara Taliban dan Kabul itu digelar menandai hari raya Idul Fitri tahun 2018.
Rakyat Afghanistan merespons dengan penuh kegembiraan. Sejumlah anggota Taliban, pasukan keamanan, dan warga sipil berpelukan. Mereka berbagi makanan dan berswafoto bersama, sesuatu yang sebelumnya tidak terbayangkan.
Upaya damai
Gencatan senjata yang disepakati saat ini tidak lepas dari rangkaian pembicaraan yang dilakukan Washington dan Taliban dalam setahun terakhir. Apabila akhirnya gencatan senjata ini berujung pada kesepakatan damai yang diharapkan ditandatangani pada 29 Februari, AS akan menarik pasukannya dari Afghanistan.
Kompensasi dari langkah itu, Taliban akan memberikan jaminan keamanan dan berjanji mengadakan pembicaraan damai dengan pemerintah di Kabul. Kamis lalu, wakil pemimpin Taliban, Sirajuddin Haqqani, melalui tulisan di New York Times, mengatakan, Taliban ”berkomitmen penuh” untuk mendukung perjanjian tersebut.
Di sisi lain, setiap gencatan senjata penuh dengan bahaya, dan para analis mengingatkan, upaya untuk membendung pertumpahan darah di Afghanistan masih dipenuhi dengan komplikasi dan bisa gagal kapan saja.