Belanda berupaya mempertahankan posisinya sebagai eksportir pangan papan atas dunia dengan menyiapkan anak-anak mudanya menjadi ”para petani berdasi”.
Oleh
Kris Mada dari Den Haag, Belanda
·3 menit baca
Belanda berupaya mempertahankan posisinya sebagai eksportir pangan papan atas dunia dengan menyiapkan anak-anak mudanya menjadi ”para petani berdasi”.
Muda, kaya, dan terampil menggunakan aneka hasil teknologi terbaru adalah gambaran petani yang tengah dikembangkan di Belanda. Dengan nilai ekspor lebih dari Rp 1.000 triliun per tahun, pertanian Belanda bisa menarik anak muda untuk terlibat dalam proses produksi pangan dan produk pertanian lain.
Belanda saat ini memang tidak hanya dikenal sebagai jago rekayasa dan teknologi terkait air. Den Haag kini juga dikenal sebagai eksportir pangan peringkat kedua dunia. Padahal, luas daratan Belanda tidak sampai separuh Jawa. Bahkan, sekitar 55 persen daratannya berada di bawah permukaan laut dan terancam banjir. Luas total lahan pertanian Belanda tak sampai 100.000 hektar dan sebagian dimanfaatkan untuk menanam bunga.
Belanda memang masih mempunyai pertanian dengan gambaran yang dikenal banyak orang: petani tua, badan kotor, dan berkeringat karena bekerja di ladang. Lahan pertanian menghampar, seperti lapangan terbuka, juga tetap ada di Belanda.
Namun, remaja lulusan SMA dengan komputer jinjing dan ponsel mutakhir juga terlihat di sekolah pertanian negeri itu. Alih-alih selalu memegang cangkul, para pelajar di akademi-akademi pertanian Belanda mendalami cara penggunaan robot, akuntansi, dan rencana pengembangan bisnis.
”Setelah lulus dari sini, mereka bisa disebut jadi petani berdasi,” kata Li Zeng, Koordinator Pengembangan Internasional pada Lentiz, lembaga pengelola tiga akademi pertanian di Westland, kawasan di Belanda yang dikenal subur dan penghasil produk pertanian.
Salah satu akademi Lentiz beroperasi di World Horti Center (WHC). Di kampus WHC, ada perwakilan puluhan perusahaan sektor pertanian dan perkebunan. WHC menggabungkan pendidikan, penelitian, dan pemasaran global. Kerja sama dengan Pelabuhan Rotterdam dan Bandara Schiphol memungkinkan perusahaan-perusahaan di WHC menjangkau pasar ekspor.
”Dari lima hari sekolah setiap pekan, hanya dua hari belajar di kelas. Sisanya praktik di perusahaan-perusahaan mitra. Setelah lulus, mereka hampir dipastikan bekerja di perusahaan tempat magang,” ujar Li Zeng.
Teknologi memungkinkan
Di akademi-akademi pertanian itu, para pelajar tetap mendalami cara penanaman, perawatan, dan pemanenan. Mereka harus tahu semua itu karena mereka akan jadi petani. Bedanya, mereka akan fokus mendalami praktik pertanian yang menjadi kunci sukses ekspor pangan Belanda: rumah kaca.
Teknologi pertanian untuk lahan terbuka memang terus dikembangkan. Meski demikian, teknologi untuk rumah kaca semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kini, Belanda, antara lain, sedang mengupayakan agar konsumsi air setiap satu meter persegi kebun tomat—komoditas ekspor utama Belanda—dalam rumah kaca hanya 4 liter untuk satu kali masa tanam. Di perkebunan biasa, konsumsinya rata-rata 40 liter.
Menekan penggunaan pupuk, air, dan luas lahan sembari meningkatkan hasil panen adalah tujuan utama pertanian di rumah kaca. Teknologi memungkinkan penanaman dilakukan sepanjang tahun. Bahkan, kala ladang biasa tidak bisa ditanami selama musim dingin, pertanian di rumah kaca bisa tetap berjalan.
Dengan teknologi tersebut, iklim bisa direkayasa. Suhu dan pasokan air bisa diatur agar selalu dalam kondisi yang mendukung pertumbuhan optimal tanaman.
Bahkan, ada lebah dalam rumah kaca. Keberadaan lebah penting untuk penyerbukan tanaman. Tidak ada buah tanpa penyerbukan yang dibantu lebah dan serangga atau hewan lain. Keberadaan lebah juga menunjukkan lingkungan masih sehat dan kurang pestisida.
Negara tropis, seperti Indonesia, mungkin saja tidak memerlukan rumah kaca. Bahkan, beberapa jenis tanaman tidak disarankan ditumbuhkan di rumah kaca. ”Rempah Indonesia berkualitas tinggi karena tanah, air, dan mataharinya. Saya tidak yakin semua itu bisa dihasilkan rumah kaca,” kata Marianne van Keep, Manajer Program Keberlanjutan pada Verstegen, produsen bumbu dan rempah olahan di Belanda.