Seandainya perolehan kursi aliansi partai Arab, Joint List, tetap 13 kursi atau turun dari 13 kursi, niscaya kubu Netanyahu mendapat 61 kursi dan langsung membentuk pemerintah kanan-agama tanpa koalisi dengan pihak lain.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
Perolehan suara aliansi politik partai-partai Arab utama di Israel atau dikenal dengan Joint List pada pemilu parlemen, Senin (2/3/2020), sebanyak 15 kursi dari 120 kursi Knesset atau parlemen menggegerkan publik dan pentas politik di Israel. Joint List Arab pimpinan Ayman Odeh adalah aliansi dari empat partai Arab di Israel, yaitu partai Balad, Hadash, Ta’al, dan United Arab List.
Warga Arab di Israel, menurut biro statistik Israel, sebanyak 1,8 juta atau 20,9 persen dari total penduduk Israel yang berjumlah 8,7 juta jiwa. Pada pemilu parlemen bulan September 2019, Joint List mendapat 13 kursi dan pada pemilu April 2019 hanya meraih 10 kursi.
Peningkatan perolehan kursi Joint List di Knesset itu berkat peningkatan partisipasi warga Arab di Israel dari pemilu ke pemilu. Hal itu menunjukkan meningkatnya kesadaran warga Arab di Israel tentang semakin pentingya perjuangan lewat Knesset, terutama untuk mendapatkan hak-hak mereka, baik di wilayah Israel sekarang maupun di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Selain meningkatkan daya tawar politik warga Arab di Israel, peningkatan perolehan kursi Joint List itu menjadi salah satu faktor utama gagalnya kubu kanan dan agama di Israel pimpinan PM Benjamin Netanyahu meraih kursi mayoritas atau 61 kursi dari 120 kursi Knesset. Konsekuensinya Netanyahu belum bisa membentuk pemerintahan sendiri.
Menurut hasil pemilu setelah penghitungan suara , sebanyak 99 persen kubu kanan dan agama meraih 58 kursi dengan rincian partai kanan Likud 36 kursi, partai agama Shas 9 kursi, partai ultrakanan Yamina 6 kursi, dan partai ortodoks United Torah Judaism 7 kursi.
Kubu Tengah-Kiri plus Joint List mendapat 55 kursi dengan rincian Gerakan Biru-Putih 33 kursi, Koalisi Buruh-Meretz-Gesher 7 kursi, dan Joint List 15 kursi. Ada lagi partai Yisrael Beiteinu pimpinan Avigdor Lieberman yang meraih 7 kursi dan mengklaim independen.
Seandainya perolehan kursi Joint List tetap 13 kursi atau turun dari 13 kursi, niscaya kubu Netanyahu mendapat 61 kursi dan langsung membentuk pemerintah kanan-agama tanpa koalisi dengan pihak lain.
Meski meraih kursi terbesar, yakni 58 kursi, tidak mudah bagi Netanyahu dan kubunya membentuk pemerintahan baru. Netanyahu juga sulit mencari tambahan 3 kursi untuk mencapai 61 kursi yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan baru.
Yang mungkin dapat dilakukannya adalah bekerja keras membujuk Lieberman atau Benny Gantz (Ketua Gerakan Biru-Putih) agar bersedia bergabung dengan koalisi kanan.
Akan tetapi, hal itu juga tidak mudah. Pascapemilu parlemen bulan September 2019, Netanyahu gagal mencapai kesepakatan dengan Lieberman dan Gantz untuk membentuk pemerintahan baru.
Bangga
Salah seorang tokoh Joint List, Ahmed Tibi, menyatakan sangat bangga Joint List bisa menggagalkan kubu Netanyahu mendapat 61 kursi. Menurut Tibi, peningkatan perolehan kursi Joint List secara langsung berandil besar pada kegagalan kubu Netanyahu.
Tibi mengatakan, seandainya perolehan kursi Joint List tetap 13 kursi atau turun dari 13 kursi, niscaya kubu Netanyahu mendapat 61 kursi dan langsung membentuk pemerintah kanan-agama tanpa koalisi dengan pihak lain.
Ia mengungkapkan, Joint List akan berkoordinasi dengan kubu Tengah-Kiri Israel agar menolak bergabung dengan kubu Netanyahu sehingga Netanyahu gagal lagi membentuk pemerintahan dan selanjutnya digelar pemilu parlemen keempat.
Tibi berjanji akan menggunakan isu korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh Netanyahu untuk menggagalkan Netanyahu membentuk pemerintah baru.
Netanyahu dijadwalkan mulai proses pengadilan terkait isu korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan pada 17 Maret ini.