Sudah banyak capaian yang ditunjukkan negara ASEAN dalam isu perempuan. Meski demikian, masih ada sejumlah aspek dalam isu perempuan yang belum maksimal diimplementasikan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara anggota ASEAN sudah memiliki komitmen dan perhatian pada isu-isu perempuan dan anak. Bahkan, ada sejumlah capaian yang menjadi tonggak sejarah dalam isu ini. Akan tetapi, sejumlah persoalan menyangkut isu perempuan dan anak masih menjadi tantangan.
Bagian dari isu perempuan yang masih menjadi tantangan di kawasan adalah kekerasan terhadap perempuan, perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik, serta perempuan dalam perdamaian dan keamanan.
Wakil Indonesia di Komisi ASEAN dalam Promosi dan Perlindungan Hak-hak Perempuan dan Anak (ACWC) Perempuan, Sri Danty Anwar, mengatakan hal itu dalam diskusi tentang memerangi kekerasan dan diskriminasi di ASEAN yang diadakan di Jakarta, Jumat (6/3/2020).
Danty menyatakan, negara-negara ASEAN sudah memiliki komitmen terhadap isu perempuan. Terbentuknya ACWC pun merupakan bagian dari komitmen itu.
Bahkan, beberapa tonggak sejarah sudah pernah dicapai, seperti semua negara di ASEAN sudah memiliki kementerian yang mengurusi isu perempuan, tiap negara juga sudah memiliki undang-undang penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Meski demikian, implementasi isu perempuan di setiap negara berbeda-beda, misalnya implementasi di negara Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam, akan berbeda dengan di Indonesia, Malaysia, atau Brunei Darussalam.
Akan tetapi, ujar Danty, masih ada aspek dari isu perempuan yang perlu diperjuangkan, yakni kekerasan terhadap perempuan, keterlibatan perempuan dalam politik dan pengambilan kebijakan publik, serta perempuan dan perdamaian dan keamanan. ”Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan masih banyak,” ujar Danty.
Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fitriani, mengatakan, untuk isu perempuan dalam perdamaian dan keamanan, ASEAN terbilang tertinggal dari kawasan lain. Hanya tiga negara di ASEAN yang dinilai sebagai champion di bidang ini, yakni Indonesia, Filipina, dan Kamboja.
Ketiga negara tersebut yang sudah memiliki rencana aksi nasional dalam isu ini. Tiga negara itu juga yang mendorong isu perempuan, perdamaian, dan keamanan menjadi fokus ASEAN.
Menurut Fitriani, komitmen politik yang kurang menjadi penyebab mengapa masih sedikit negara ASEAN memiliki rencana aksi nasional untuk isu perempuan, perdamaian, dan keamanan. Bagi mereka, isu ini belum prioritas. Apalagi, jika negara-negara itu mengadopsi Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1325 tentang Wanita, Perdamaian, dan Keamanan, mereka harus menyiapkan aturan, pendanaan, serta target tertentu di tingkat nasional yang tidak kecil.
Selama ini, mayoritas negara masih memandang isu perempuan dari sisi ekonomi dan pembangunan sehingga hanya wacananya adalah bagaimana memberdayakan perempuan di bidang ekonomi. Padahal, dalam isu perempuan, perdamaian, dan kemanan, perempuan yang biasanya menjadi korban kekerasan justru ikut dilibatkan dalam proses mewujudkan perdamaian dan keamanan yang berkelanjutan.
Tantangan serius pelibatan perempuan dalam perdamaian dan keamanan adalah keterwakilan perempuan yang rendah.
Fitriani menambahkan, tantangan serius pelibatan perempuan dalam perdamaian dan keamanan adalah keterwakilan perempuan yang rendah dibandingkan laki-laki dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Data tahun 2017 menunjukkan ada 11 kesepakatan damai yang ditandatangani negara-negara yang berkonflik di dunia. Dari jumlah itu, hanya tiga kesepakatan yang prosesnya memenuhi aspek sensitif jender.
Padahal, sebuah studi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan bahwa apabila perempuan terlibat dalam proses kesepakatan damai, 35 persen kesepakatan yang dicapai bisa bertahan minimal 15 tahun.