Perang harga minyak baru saja dilancarkan Arab Saudi pekan ini. Namun, hal itu telah menimbulkan kerugian besar karena Arab Saudi menggunakan senjata yang selama ini menjadi ancaman strategis.
Oleh
Kris Razianto Mada
·4 menit baca
Perang kembali terjadi dan kerugiannya sudah melebihi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia selama bertahun-tahun. Padahal, perang itu baru saja dimulai pekan ini. Kerugian itu besar karena salah satu pihak menggunakan senjata yang selama ini menjadi ancaman strategis.
Perang yang dimaksud terkait dengan harga minyak yang dilancarkan Arab Saudi. Riyadh memutuskan untuk memangkas harga hingga 7 dollar AS sekaligus menambah pasokan minyak mulai 1 April 2020. Keputusan tersebut terjadi setelah Rusia menolak memangkas produksinya di tengah penurunan permintaan minyak akibat virus korona baru (SARS-CoV-2) yang melanda dunia.
Di jagat perminyakan, Arab Saudi adalah pemilik ancaman strategis. Para pakar strategi mendefinisikan ancaman strategis sebagai senjata atau alat yang begitu ampuh sehingga kerap membuat pihak lain berpikir ulang untuk berkonflik dengan pemilik senjata itu. Nuklir adalah senjata strategis yang dikenal umum. Sampai kini, tak ada baku tembak apalagi perang di antara sesama negara yang benar-benar memiliki senjata nuklir.
Cadangan terbukti
Sementara untuk minyak, kombinasi biaya produksi murah dan cadangan melimpah adalah bentuk ancaman strategis yang dimiliki Riyadh. Dalam prospektus Aramco, perusahaan minyak dan gas bumi terbesar di dunia, edisi April 2019, dicantumkan bahwa Arab Saudi memiliki cadangan terbukti 201,4 miliar barel minyak. Dengan produksi 10 juta barel per hari, minyak Riyadh baru habis 52 tahun lagi.
Sebaliknya, Rusia hanya punya punya 80 miliar barel, Indonesia malah di kisaran 3 miliar barel. Cadangan Saudi hanya kalah dari Venezuela yang memiliki cadangan terbukti 300 miliar barel. Walakin, Riyadh unggul di biaya produksi. Untuk menyedot setiap barel minyak, Aramco hanya mengeluarkan rata-rata 2,8 dollar AS.
Bandingkan rata-rata sedikitnya 20 dollar AS per barel yang dibutuhkan untuk menyedot minyak di Venezuela, Amerika Serikat, Rusia, hingga Indonesia. Dengan kata lain, Arab Saudi tetap akan untung sekalipun harga minyak jatuh hingga 10 dollar AS per barel. Sebaliknya, negara-negara lain akan rugi besar.
Riyadh sudah berkali-kali memakai senjata strategisnya itu. Pada 2014, Riyadh menggunakan senjata itu karena para produsen minyak serpih AS menolak bekerja sama dalam pengendalian harga. Saudi mengajak AS tidak memacu produksi di era 100 dollar per barel itu. Dengan harga itu, Riyadh untung rata-rata 90 juta dollar AS atau lebih dari Rp 1 triliun per hari dari minyak.
Penolakan Washington bisa membuat para produsen tradisional kehilangan pangsa pasarnya. Sebab, ada peluang pemasok bertambah dan pembeli menawar ke mereka.
Harga anjlok
Karena itu, Riyadh memutuskan menambah produksi sehingga harga anjlok, dari rata-rata 100 dollar AS per barel hingga awal 2014 menjadi rata-rata 26 dollar AS per barel pada 2016. Majalah Forbes dan Bloomberg, media yang fokus pada isu ekonomi, melaporkan perusahaan-perusahaan minyak serpih AS bangkrut gara-gara harganya rontok. Sebab, biaya produksi mereka di atas harga minyak global.
Perusahaan-perusahaan itu bisa kembali bernapas dan menyesuaikan diri setelah OPEC, yang secara faktual dipimpin Arab Saudi, dan Rusia bersepakat mengendalikan pasokan dan harga pada 2016. Namun, OPEC dan Moskwa gagal mencapai kesepakatan baru setelah kerja sama berakhir pada 31 Maret 2020. Akibatnya, perang dimulai dan harga terus merosot lebih dari 20 persen dalam sehari.
AS dan banyak negara di dunia membutuhkan harga rata-rata 40 dollar AS per barel untuk mendapat untung dari pertambangan minyak. Jika kurang dari itu, perusahaan-perusahaan tambang minyak AS harus sangat ketat mengendalikan anggaran agar tidak bangkrut.
”Operator terbaik pun harus mengurangi kegiatan. Ini bukan soal tingkat komersial sumur. Ini tentang arus kas perusahaan. Hampir mustahil menjaga kas tetap aman di tengah penurunan harga tahun ini,” kata Artem Abramov yang memimpin bagian riset minyak serpih di Rystad Energi, konsultan asal Oslo.
Migas dan bursa
Rystad memprakirakan perusahaan tambang minyak AS dan negara lain akan kembali terpukul dalam perang harga tahun ini. Pukulan tidak hanya dirasakan oleh sektor migas. Bursa-bursa dunia melaporkan indeks rontok dalam skala terburuk sejak 2008 akibat kekhawatiran pada perang harga minyak yang dimulai Arab Saudi dan Rusia.
Indeks S&P 500, Dow Jones Industry, dan Nasdaq dilaporkan anjlok lebih dari 7 persen, Senin. Total nilai perusahaan di tiga indeks itu ditaksir mendekati 50 triliun dollar AS sehingga nilai yang tersapu selama penurunan indeks dua hari sebelumnya sedikitnya 3,5 triliun dollar AS atau Rp 49.000 triliun pada kurs Rp 14.000 per dollar AS. Nilai itu setara APBN Indonesia selama 24 tahun. APBN Indonesia kini di kisaran Rp 2.100 triliun per tahun.
Nilai kerugian semakin membesar jika memasukkan nilai saham berbagai bursa dunia yang anjlok selama perdagangan Senin. Indeks bursa efek Indonesia anjlok 6,5 persen. Dengan kapitalisasi Rp 6.844 triliun per Februari 2020, penurunan indeks itu membuat para pemegang saham di Bursa Efek Indonesia kehilangan Rp 444 triliun.
Para pelaku pasar dan regulator berharap, wabah Covid-19 dan perang minyak segera berakhir. Perang tidak pernah menguntungkan. (AP/REUTERS)