Arab Saudi untuk pertama kali dalam satu dekade terakhir mengumumkan keputusan soal kenaikan kapasitas produksi minyak. Uni Emirat Arab, mitra dekatnya di OPEC, mengikuti langkah serupa.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·4 menit baca
DUBAI, RABU — Arab Saudi, Rabu (11/3/2020), mengumumkan keputusan untuk menaikkan kapasitas produksi minyak. Ini pertama kali dalam lebih dari satu dekade terakhir. Langkah ini diambil sehari setelah Riyadh mengumumkan langkah lain berupa penurunan harga minyak yang akan dikirim ke Amerika Serikat. Tindakan ini memicu kejatuhan harga minyak terbesar sejak Perang Teluk 1991.
Uni Emirat Arab (UEA), mitra dekat Arab Saudi, melakukan langkah serupa, yakni menaikkan kapasitas produksi minyak mulai April mendatang. Dua negara Arab Teluk dan anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) itu bersatu padu menghadapi Rusia, produsen minyak non-OPEC, yang menolak usulan tentang pengurangan produksi minyak dunia.
Kementerian Energi Arab Saudi telah memerintahkan perusahaan penghasil minyak, Aramco, untuk menaikkan kapasitas produksi minyak dari 12 juta barel per hari menjadi 13 juta barel per hari. ”Perusahaan (Aramco) mengerahkan upaya dengan maksimal untuk mengimplementasikan arahan ini sesegera mungkin,” kata Amin Nasser, CEO Aramco, lewat sebuah pernyataan, Rabu.
Tak ada keterangan tentang kerangka waktu untuk implementasi kebijakan tersebut. Menaikkan kapasitas produksi tentu menuntut investasi miliaran dollar AS. Aramco mengatakan, arahan tersebut berasal dari Kementerian Energi Arab Saudi. Kebijakan energi negara kerajaan itu secara umum dikendalikan oleh Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) dan Menteri Energi Pangeran Abdulaziz bin Salman yang masih saudara seayah dengan MBS.
Saat ini Arab Saudi memproduksi sekitar 9,8 juta barel per hari. Jumlah produksi ini merupakan pelaksanaan atas kesepakatan antara OPEC dan negara produsen minyak lainnya, termasuk Rusia, terkait penurunan produksi guna menekan pasokan minyak di pasaran dunia agar harga minyak naik.
Namun, sejak akhir pekan lalu, Arab Saudi mengambil langkah dramatis yang memicu jatuhnya harga minyak. Ini dilakukan setelah Rusia menolak bekerja sama untuk mengurangi produksi. Diperkirakan, negara- negara anggota OPEC lain akan mengikuti langkah Arab Saudi.
Akibat perang harga minyak yang diletupkan Arab Saudi, Senin lalu, harga minyak mentah anjlok 25 persen, penurunan terbesar sejak Perang Teluk 1991. Harga minyak mentah jenis Brent untuk penyerahan Mei anjlok 24 persen menjadi 34,36 dollar AS per barel.
UEA mengikuti langkah Arab Saudi. Perusahaan minyak nasional UEA, ADNOC, Rabu, mengumumkan untuk meningkatkan pasokan lebih dari 4 juta barel per hari pada April mendatang dan menaikkan kapasitas produksi hingga 5 juta barel per hari, yang semula ingin dicapai pada 2030. Dengan menaikkan pasokannya, Riyadh dan Abu Dhabi bakal menambah pasokan minyak di pasaran sebanyak 3,6 juta barel per hari pada April mendatang.
Dengan menaikkan pasokannya, Riyadh dan Abu Dhabi bakal menambah pasokan minyak di pasaran sebanyak 3,6 juta barel per hari pada April mendatang.
Secara terpisah, Moskwa mengatakan, perusahaan-perusahaan minyak Rusia kemungkinan juga bakal menambah produksi hingga 300.000 barel per hari dan bisa meningkat sebanyak 500.000 barel per hari.
Rusia, Selasa lalu, mengindikasikan siap berunding. Namun, Arab Saudi menegaskan, tidak banyak artinya jika perundingan hanya akan mengonfirmasi ketidakmampuan untuk mencapai kesepakatan.
”Kemungkinan besar ujung dari krisis ini adalah munculnya proses menyakitkan selama beberapa pekan atau bulan hingga harga minyak cukup rendah. Dengan demikian, hal itu bisa mengubah pandangan fundamental Moskwa dan Riyadh agar kedua pihak kembali mencapai semacam kompromi,” demikian pandangan Eurasia Group, perusahaan konsultasi risiko politik, Selasa.
Pasar saham
Pasar saham di Asia dan bursa berjangka Wall Street kembali tertekan pada Rabu (11/3/2020). Investor dan pelaku pasar tampak skeptis dengan tawaran paket stimulus Washington untuk melawan wabah Covid-19 yang terus meluas, termasuk di Amerika Serikat, dan efek lanjutan dari perang harga minyak.
Banyak analis mengatakan investor perlu tetap waspada untuk volatilitas pasar lebih lanjut. Ini karena wabah Covid-19 masih menimbulkan risiko bagi kesehatan masyarakat di banyak negara. Jika berlarut-larut, tekanan atas ekonomi global semakin kuat.
Pasar keuangan memang terlihat telah pulih dari aksi jual global secara brutal pada Senin (9/3/2020) yang dipicu oleh guncangan ganda, yakni jatuhnya harga minyak dan wabah Covid-19 yang memburuk. Namun, kenaikan tampak berumur pendek pada awal perdagangan di pasar-pasar Asia, Rabu.
Pasar saham berjangka AS jatuh 1,54 persen dan indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,04 persen. Pasar saham Australia turun 1,31 persen. Indeks Nikkei Jepang menghapus kerugian sebelumnya dengan kenaikan 0,24 persen pada awal perdagangan.
Awal pekan ini, Presiden AS Donald Trump mengatakan akan mengambil ”langkah besar” untuk meredakan ketegangan ekonomi yang disebabkan penyebaran virus korona jenis baru. Berita utama pun berfokus pada diskusi kemungkinan pemotongan pajak gaji, sebuah hal yang turut membantu mengangkat sentimen pasar.
Namun, belum adanya kelanjutan pembicaraan soal topik itu telah membuat beberapa investor tidak terkesan dan cenderung skeptis. ”Kami dijanjikan sesuatu yang substantif dari pemerintahan Trump. Jika belum datang
pada jam-jam ini, ada kemungkinan penundaan,” kata Michael McCarthy, kepala strategi pasar di CMC Markets di Sydney, Australia. ”Itu sebabnya pasar memiliki nada negatif. Dari perspektif investor global, masih ada banyak risiko penurunan.”
Di Wall Street, ketiga indeks utama melonjak hampir 5 persen pada Selasa, satu hari setelah pasar ekuitas AS menderita kerugian harian terbesarnya
sejak krisis keuangan 2008. Dollar AS melemah terhadap yen, franc Swiss, dan euro karena nuansa ketidakpastian ke depan. (AP/REUTERS/BEN)