Krisis Migran di Perbatasan Yunani-Turki, "Deja Vu" Krisis Migrasi Eropa 2015
Bayang-bayang kekacauan akibat gelombang migran yang membanjiri Eropa 2015-2016 menghantui Eropa lagi. Keputusan Turki membuka perbatasan dengan Yunani agar migran kembali bereksodus ke ”Benua Biru” memaksa UE siaga.
Oleh
Elok Dyah Messwati & Mh Samsul Hadi
·6 menit baca
Dalam 24 jam terakhir, Selasa (10/3/ 2020), di perbatasan Kastanies, Yunani, hampir 1.000 migran berusaha memasuki wilayah Yunani dari Turki. Di perbatasan itu, aparat Yunani memperketat pengamanan. Sejak 28 Februari lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memutuskan membuka perbatasan Turki-Yunani dan memberi jalan bagi para migran yang ingin masuk wilayah Uni Eropa (UE).
Pemandangan puluhan ribu migran berbondong-bondong menuju perbatasan Turki-Yunani dengan tujuan negara-negara Eropa yang makmur terasa seperti deja vu peristiwa serupa tahun 2015. Kala itu, lebih dari 1 juta warga—kebanyakan dari negara-negara miskin dan dilanda perang di Timur Tengah dan Asia—membanjiri Eropa melalui Turki dan Yunani.
Seperti lima tahun lalu, UE tampak kedodoran mengantisipasi situasi. Yunani, negara UE gerbang terdepan yang berbatasan langsung dengan Turki, mengerahkan aparat keamanan guna menghadang sekitar 42.000 migran di perbatasan Turki. Aparat keamanan Yunani mengatakan, mereka telah menghentikan sekitar 42.000 migran yang mencoba memasuki Yunani dari Turki sejak Erdogan membuka pintu perbatasan.
Meski demikian, gelombang migran masih terus mengalir menuju Yunani. Dalam briefing kepada wartawan di perbatasan, Selasa (10/3/2020), pejabat Yunani mengatakan, 963 migran dicegah masuk ke wilayah Yunani secara ilegal, yakni antara pukul 06.00 pada Senin (9/3/2020) dan pukul 06.00 hari Selasa. Di antara mereka, 52 orang ditangkap, antara lain migran dari Suriah, Afghanistan, dan Iran.
Sejumlah kendaraan militer dan tentara Yunani terus menyusur berpatroli di sepanjang pagar kawat dan baja yang memisahkan pos perbatasan Kastanies Yunani dengan pos perbatasan Pazarkule di wilayah Turki. Di tempat itu, sebuah kelompok musik militer Yunani berbaris memainkan lagu-lagu nasional Yunani. Hal ini untuk memompa semangat nasionalis tentara Yunani yang berpatroli memperketat keamanan di perbatasan.
Krisis migran di perbatasan Yunani-Turki dan penanganannya oleh aparat keamanan Yunani menjadi sorotan dan bahan kritik para penggiat hak asasi manusia (HAM). Lembaga Human Rights Watch (HRW), Selasa (10/3/2020), misalnya, menyerukan kepada Yunani untuk menarik ”kebijakan keras”-nya terhadap lebih dari 450 migran yang ditahan di kapal angkatan laut di Pelabuhan Mytilene, Lesbos.
Mengutip seorang warga Suriah yang ikut ditahan di kapal itu, HRW menyebut, banyak dari 451 orang yang ditahan adalah perempuan dan anak-anak. ”Keputusan Yunani menahan lebih dari 450 orang di kapal angkatan laut dan menolak mereka mendaftar permintaan suaka jelas melanggar hukum internasional dan hukum Eropa,” kata HRW.
Pemerintah Yunani pada 1 Maret lalu mengumumkan untuk tak akan menerima permintaan suaka dari para migran yang baru datang. Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) mengecam keputusan itu.
Seorang warga Suriah, yang menghubungi HRW via telepon, mengungkapkan bahwa kebanyakan orang yang ditahan adalah warga Afghanistan. Sebanyak 118 orang di antaranya warga Arab, termasuk dari Suriah, Irak, dan Palestina. Warga Somalia, Kongo, dan warga negara-negara Afrika lain juga berada di kapal tersebut. ”Anak-anak tak mendapat makanan dan baju yang memadai,” ujar warga Suriah itu.
”Kami hanya diberi tiga toilet bagi 451 orang hingga hari ini saat mereka mendatangkan lima toilet portabel. Tanpa air mandi, tanpa sabun.”
Tuntutan Erdogan
Krisis migran di perbatasan Turki- Yunani ini bermula setelah Erdogan memutuskan membuka perbatasan Turki-Yunani bagi para migran. Keputusan Erdogan tersebut dilatarbelakangi sejumlah tuntutan kepada UE agar sejalan dengan kepentingan Turki.
”Hingga seluruh harapan dipenuhi secara konkret, kami akan melanjutkan praktik saat ini di perbatasan kami,” kata Erdogan di hadapan para anggota parlemen Turki dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpinnya. Ia merujuk pada sejumlah aspirasi Turki, termasuk isu bea cukai Turki dengan UE, proses masuknya Ankara ke UE, dan bantuan dana untuk pengungsi.
Erdogan menambahkan, Turki bakal mengajukan proposalnya kepada UE saat UE menggelar pertemuan puncak pada 26 Maret mendatang. Pekan depan, pemimpin Perancis dan Jerman juga dijadwalkan bertemu dengan Erdogan di Ankara guna menyelesaikan krisis migran.
Kepada UE, Erdogan juga menuntut pelunasan janji bantuan dana 6 miliar euro bagi 3,6 juta pengungsi di Turki. Saat ini, UE baru membayar sekitar separuhnya. Kepada Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Erdogan meminta agar NATO memberi dukungan lebih besar bagi Ankara dalam menghadapi Pemerintah Suriah, yang dibantu Rusia, dalam konflik di Suriah.
Hari Senin lalu, Erdogan telah bertandang ke Brussels, Belgia, dan bertemu dengan Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Presiden Dewan Eropa Charles Michel. Namun, perundingan tersebut gagal menghasilkan kesepakatan. Kepada Erdogan, Von der Leyen dan Michel mendesak agar menarik para migran kembali dari perbatasan Yunani.
Namun, Turki bersikukuh pada posisi untuk tetap membuka perbatasannya. Ankara mengatakan, Selasa, kesepakatan soal migran dengan UE tahun 2016 perlu diperbarui mengingat krisis di Suriah utara terus berlangsung.
Dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Anadolu milik Pemerintah Turki, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan bahwa liberalisasi visa UE dan pembaruan pabean antara Turki dan UE harus dilaksanakan untuk membantu menyelesaikan masalah migran.
Respons Eropa
Guna meredakan krisis, UE saat ini mempertimbangkan untuk menampung 1.500 anak-anak migran yang kini ditampung di kamp-kamp Yunani. Menurut Pemerintah Jerman, Senin (9/3/2020), solusi kemanusiaan ini sedang dinegosiasikan di tingkat Uni Eropa. ”Berlin siap mengambil bagian yang ’sesuai’. Kami ingin mendukung Yunani dalam situasi kemanusiaan yang sulit dari sekitar 1.000 hingga 1.500 anak-anak di pulau-pulau Yunani,” demikian pernyataan Pemerintah Jerman seusai tujuh jam pembicaraan antara Kanselir Angela Merkel dan para pemimpin partai yang tergabung daalam koalisinya.
Sementara Bulgaria lebih menyoroti rencana Yunani membangun sebuah kamp di dekat perbatasan Yunani-Bulgaria sebagai tempat menampung para pencari suaka. Menteri Pertahanan Bulgaria Krasimir Karakachanov mengecam rencana Yunani yang dinilainya ”tidak masuk akal” tersebut. ”Upaya mengakomodasi para migran ilegal di wilayah Yunani di dekat perbatasan kami akan memicu ketegangan. Ini bukan tetangga yang baik dan tidak masuk akal!” kata Karakachanov melalui Facebook, Senin (9/3/2020).
Komentar itu muncul setelah Menteri Migrasi Yunani Notis Mitarachi mengumumkan pada akhir pekan lalu bahwa Pemerintah Yunani ingin membangun dua kamp tertutup di wilayah Yunani utara di Serres yang berbatasan dengan Bulgaria dan di wilayah Athena. ”Tentara Bulgaria bersiaga dan saya jamin saya tidak akan membiarkan gelombang migrasi baru ke negara kami,” tulis Karakachanov, yang juga pemimpin partai nasional VMRO. Menurut Karakachanov, Bulgaria tidak akan mengurus orang lain.
Bulgaria berbatasan dengan Yunani dan Turki di sisi tenggara. Sejauh ini belum terlihat adanya gelombang pencari suaka di perbatasan Turki-Bulgaria. Perdana Menteri Bulgaria Boyko Borisov baru-baru ini mengatakan bahwa Bulgaria hingga kini ”nol migrasi” berkat pagar kawat berduri yang dibangun Bulgaria di perbatasan dengan Turki sepanjang 259 kilometer serta hubungan dekatnya dengan Erdogan.
Perbatasan Bulgaria dengan Yunani sepanjang 493 kilometer dijaga polisi perbatasan. Hingga saat ini belum terlihat adanya kedatangan migran di area itu.
Dalam pembicaraan dengan Erdogan pekan lalu di Ankara, Borisov mengusulkan melakukan ”tindakan yang akan berkontribusi guna memecahkan krisis di Suriah dan menghentikan tekanan migrasi” di wilayah tersebut. Borisov sudah lama mendesak pendirian pusat-pusat keamanan tertutup bagi para pencari suaka di luar UE yang didanai blok UE. (REUTERS/AP/AFP)