Di tengah merebaknya Covid-19, bagaimana kondisi warga Indonesia yang tinggal di Italia, Iran, dan sejumlah negara lain? Seperti apa mereka meyakinkan keluarga yang khawatir akan nasib mereka?
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Bermukim di negara lain, terlebih jika negara itu rawan akan penyebaran virus korona baru, menjadi tantangan tersendiri bagi warga Indonesia. Selain membuat aktivitas mereka terganggu, keluarga dan orang dekat mereka yang berada di Indonesia juga khawatir.
Setiap dua hari sekali, mertua Ismail Amin (35) menelepon melalui aplikasi percakapan. Kondisi Ismail, istri, dan dua anaknya yang tinggal di Iran terus dipantau oleh mertuanya dari Makassar.
”Mereka khawatir kondisi kami. Bagaimana, ada tidak evakuasi dari Pemerintah Indonesia. Kapan akan dilakukan. Selalu itu yang ditanyakan,” kata Ketua Ikatan Pelajar Indonesia Iran ini saat dihubungi Kamis (12/3/2020) malam dari Jakarta.
Laporan waktu nyata oleh John Hopkins University dalam gisanddata.maps.arcgis.com menunjukkan, hingga Jumat (13/3/2020) pukul 10.19, ada 10.075 kasus positif Covid-19 di Iran. Sebanyak 429 orang meninggal dan 2.959 orang dinyatakan sembuh. Iran menempati urutan ketiga terbanyak kasus positif Covid-19 setelah Italia (12.462) dan China (80.932).
Ismail merupakan mahasiswa magister di Universitas Internasional Almustafa. Dia dan keluarga tinggal di Qom, sekitar 100 kilometer dari Teheran, ibu kota Iran.
Otoritas setempat memutuskan untuk meliburkan sekolah dan universitas. Covid-19 pun membuat mobilitas penduduk agak berkurang. Ini terlihat pada perjalanan ke Teheran yang ia rekam melalui video. Sekitar tiga hari lalu, Ismail ke KBRI yang berkantor di Teheran untuk mengurus perpanjangan paspor anaknya.
Menurut dia, akses darat menuju Teheran biasanya padat merayap. Tetapi saat itu, jalanan agak lapang meski tetap terjadi kemacetan menjelang tiba di Ibu Kota. Beberapa toko terlihat tutup dalam rekaman video. Tetapi tetap ada warga yang beraktivitas di luar rumah.
Situasi di Iran sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan Italia. Alfonsus Sombolinggi, pastor yang saat ini berada di Roma, menjelaskan, hanya orang dengan keperluan penting dan mendesak saja yang boleh keluar rumah. Itu pun harus menyertakan surat dokumen.
Pada Selasa (10/3/2020), seluruh wilayah di Italia diisolasi. Isolasi itu merupakan perluasan dari pembatasan yang telah diberlakukan di wilayah Lombardia dan beberapa provinsi di Italia utara, untuk memutus rantai penyebaran virus korona baru, SARS-CoV-2, yang menyebabkan penyakit Covid-19.
Sombo merupakan salah satu mahasiswa di Universitas Kepausan Urbania, Roma. Ia tinggal bersama pastor lainnya di asrama organisasi yang berada di bawah Vatikan.
Ada sekitar 190 pastor yang berada di tempat itu. Agenda makan bersama dan ibadah pun berubah formatnya. Dulu satu meja berisi enam orang, sekarang jadi berempat. ”Perayaan ekaristi dibuat dua kali dalam sehari agar tidak terlalu padat,” katanya.
Di tengah suasana isolasi, dia melanjutkan, keluarganya di Jakarta terus bertanya kabar. ”Saya video call melalui Whatsapp. Tunjukin ke mereka kalau saya aman saja. Kalau kita panik di sini, untuk apa. Semakin panik, semakin enggak jelas hidup kita di sini,” katanya.
Mahasiswa Universitas Bologna, Italia, Fauzi Rogera Cadiya (26), menambahkan, antisipasi Covid-19 juga membuat mahasiswa di perpustakaan kampus harus duduk dengan jarak 1 meter. Hal yang sama juga terjadi ketika dirinya membeli bahan makanan di supermarket. Pengaturan jarak antarpengunjung diatur sejak pintu masuk.
”Agar pas masuk di dalam tidak dempet-dempetan,” katanya. Beberapa toko yang menjual makanan pokok juga membuat pengumuman agar tak membeli terlalu banyak.
Kekhawatiran terhadap Covid-19 juga membuat pacar lebih perhatian, seperti kisah Qonita Hilyatullah (25). Pacar Qonita saat ini kuliah di Paris, Perancis.
Setiap komunikasi, Covid-19 selalu menjadi pembahasan. Pacarnya, Alan, melaporkan perkembangan situasi di Paris. Sebaliknya, perempuan yang tinggal di Depok, Jawa Barat, ini juga melaporkan situasi terkini di Indonesia.
”Selalu diingatkan untuk cuci tangan, pakai masker setiap hari. Aku diingatkan untuk tidak pergi dulu ke mal atau pusat keramaian. Soalnya aku tiap hari kerja naik kereta rel listrik (KRL) sehingga pacarku lebih khawatir gitu sih,” katanya.
Lain lagi kisah dari Antonia Timmerman (28), warga Indonesia yang bekerja sebagai jurnalis di Taiwan. Selain melaporkan situasinya sendiri kepada orangtua di Tangerang, ia juga mengurasi pemberitaan mengenai Covid-19 di Indonesia.
Dari situ ia menjelaskan informasi terkini tentang penanganan Covid-19 di Indonesia. Hal itu bertujuan agar orangtuanya waspada terhadap penyakit ini.
”Mereka sudah tidak terlalu mengikuti berita. Mungkin karena sudah tua juga. Terus kalau membaca berita Indonesia, ada kalanya bikin pusing soalnya terlalu banyak informasi yang tidak perlu sehingga masyarakat biasa susah memilah informasi yang memang penting,” katanya.