Penduduk Selandia Baru Kini Lebih Menerima Warga Muslim
Bagi warga Selandia Baru, serangan teroris di dua masjid tersebut mengubah hidup banyak orang, terutama keluarga para korban tewas dan orang-orang yang terlibat membantu para korban selamat dalam peristiwa tersebut.
Oleh
Elok Dyah Messwati
·5 menit baca
Satu tahun telah berlalu sejak peristiwa penyerangan di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada 15 Maret 2019. Namun, kesedihan masih menyelimuti keluarga 51 korban yang tewas akibat berondongan tembakan yang dilakukan warga Australia kulit putih bernama Brenton Tarrant (29).
Warga Selandia Baru akan memperingati peristiwa kelabu itu, Minggu (15/3) besok. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan, Jumat (13/3), sejak peristiwa kelabu tersebut, warga Selandia Baru kini menjadi lebih terlibat dengan komunitas Muslim.
Ardern sudah berada di Christchurch untuk menghadiri peringatan serangan teror 15 Maret 2019. Dia menggambarkan peristiwa itu sebagai salah satu hari tergelap di Selandia Baru. Pada Jumat kemarin, Ardern menghadiri doa bersama di dua masjid, lokasi serangan teroris, setahun silam. Hari Minggu besok, Ardern berencana menghadiri peringatan itu secara nasional.
Namun, melalui pernyataan tertulis, Sabtu (14/3), Ardern mengumumkan pembatalan acara nasional doa bersama mengenang serangan teroris di Christchurh tersebut terkait dengan merebaknya penyebaran wabah Covid-19. Acara yang dijadwalkan berlangsung hari Minggu besok semula akan menghimpun kumpulan massa dalam jumlah besar dari Selandia Baru dan luar negeri.
Hingga Sabtu ini, Selandia Baru mengonfirmasi enam kasus Covid-19. ”Ini keputusan yang pragmatis. Kami bersedih terpaksa membatalkan (acara itu). Namun, dalam mengenang tragedi yang menyedihkan itu, kita seharusnya tidak menyebabkan munculnya risiko lebih lanjut,” kata Ardern.
Terkait dengan peristiwa setahun lalu, Ardern berefleksi bahwa negara Selandia Baru dan rakyatnya mengalami perubahan mendasar pascaserangan teroris di Christchurch. ”Setahun setelah kejadian, saya yakin Selandia Baru dan rakyatnya telah berubah secara mendasar. Saya tidak bisa membayangkan bahwa kita akan menggelar acara seperti ini,” ujar Ardern.
Kini, tantangan bagi Selandia Baru adalah memastikan bahwa dalam tindakan warganya sehari-hari dan dalam setiap kesempatan tidak ada lagi intimidasi, pelecehan, rasisme, dan diskriminasi.
Bagi warga Selandia Baru, serangan teroris di dua masjid tersebut mengubah hidup banyak orang, terutama keluarga para korban tewas dan orang-orang yang terlibat membantu para korban selamat dalam peristiwa tersebut.
Tidak hanya sedih, marah, dan kecewa, hidup mereka pun berubah. Ada yang berubah untuk lebih serius melindungi diri serta ada yang berubah dalam memandang kariernya dan situasi hidupnya. Mereka juga melihat warga Selandia Baru pada umumnya kini berubah semakin terbuka dan menerima warga Muslim.
Mereka juga melihat warga Selandia Baru pada umumnya kini berubah semakin terbuka dan menerima warga Muslim.
Aya al-Umari (34), seorang perempuan, memiliki kakak bernama Hussein (35), salah satu korban tewas dalam serangan di Masjid Al-Noor. Ketika pertama kali mendengar ada penembakan di masjid, Aya al-Umari bergegas ke rumah saudaranya dan kemudian ke rumah sakit Christchurch. Di rumah sakit itu, dia melihat pemandangan yang mengiris hati. Anak-anak menangis. Sejumlah orang dewasa, yang menjadi korban serangan, ditangani awak medis.
Dia bertemu dengan seorang polisi perempuan yang menenangkannya, menyuruhnya pulang, dan berjanji akan memberinya informasi setiap jam. Kebaikan petugas itu dan petugas lainnya telah mengilhami Aya al-Umari. Dia pun mempertimbangkan perubahan karier. Saat ini dia seorang analis kredit di bank. Dia berharap bisa bergabung di dinas kepolisian dan ikut memberantas kejahatan keuangan.
”Saya pikir, peristiwa tersebut benar-benar mengubah perspektif Anda dalam hidup. Dan seumur hidup, semuanya dari A hingga Z. Bagaimana kita menjalani hari hingga memikirkan karier. Semua telah bergeser,” kata Aya al-Umari.
Memori tak terlupakan
Len Peneha (54) tinggal di sebelah Masjid Al-Noor. Saat peristiwa serangan terjadi, dia membantu beberapa jamaah menyelamatkan diri. Saat itu, Len Peneha pulang ke rumah untuk menjemput putrinya, Jasmine, ketika dia melihat seorang pria bermanuver dengan mobil di ujung jalan masuk dan kemudian membawa sesuatu ke masjid.
”Kami mulai mendengar suara-suara. Bang, bang, bang, bang, bang...,” kata Len Peneha.
Dia dan putrinya berlari ke dalam apartemennya. Jasmine menelepon polisi, dan Peneha membantu jamaah memanjat pagar belakang masjid agar bisa bersembunyi di apartemennya ketika penembak melanjutkan serangannya.
Memori peristiwa pada hari itu tak pernah lepas dari pikiran Peneha. Dia melihat pria bersenjata itu menembak seorang perempuan dari jarak dekat di ujung jalan masuk. Setelah pria bersenjata itu pergi, Peneha menuju masjid untuk membantu para korban.
”Saya kesulitan tidur selama berbulan-bulan setelah itu. Otak saya masih dalam kondisi siaga tinggi. Kesedihan yang ditimbulkannya sangat memengaruhi saya. Itu masih terjadi sampai sekarang,” katanya.
Setelah berbulan-bulan cemas, Peneha memutuskan, dirinya perlu pindah dari daerah itu dan dia pun menemukan apartemen baru. Dengan pindah rumah ke lokasi baru telah membantu menenangkan pikirannya meskipun dia masih sering merasa sedih.
Adib Khanafer (52), seorang ahli bedah vaskular, membantu menyelamatkan nyawa anak perempuan berusia 4 tahun yang tertembak di Masjid Al-Noor, bernama Alen Alsati. Setelah anak itu berhasil selamat dan pulih tujuh bulan kemudian, keluarga Alen Alsati mengundangnya untuk makan malam masakan asli Palestina.
Sejak peristiwa itu, Khanafer memperhatikan ada perubahan dalam cara orang memperlakukan dia dan istrinya. Sebelum serangan, banyak orang di Christchurch tidak tahu banyak tentang Islam atau budaya Muslim. Dia mengatakan, banyak orang sejak itu meluangkan waktu untuk membaca dan mencari informasi tentang Islam.
”Orang-orang sekarang mengerti ada budaya yang berbeda, ada agama yang berbeda, ada perilaku yang berbeda. Jadi jelas, kami telah melihat lebih banyak penerimaan. Khususnya untuk orang-orang seperti istri saya yang mengenakan jilbab,” kata Khanafer. (AP)