113 Nelayan Aceh Masih Menanti Putusan di Luar Negeri
Sebanyak 113 nelayan asal Provinsi Aceh dari 116 yang ditahan di luar negeri masih menanti putusan hukum negara setempat. Mereka ditahan karena tuduhan melanggar batas perairan.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sebanyak 113 nelayan asal Provinsi Aceh dari 116 yang ditahan di luar negeri masih menanti putusan hukum negara setempat. Mereka ditahan karena tuduhan melanggar batas perairan negera lain.
Sekretaris Panglima Laot/Lembaga Adat Nelayan Aceh Miftah Cut Adek, Senin (16/3/2020), mengatakan, dari 116 orang itu, sebanyak 53 orang ditahan di Andaman, India, 62 orang ditahan di Thailand, dan 1 orang ditahan di Myanmar. Mereka ditangkap pada periode 2019-2020.
Sebanyak tiga orang yang ditahan di Andaman baru divonis bebas oleh pengadilan di Andaman setelah mendekam di tahanan pada September 2019 hingga Maret 2020. Para nelayan terdampar ke Andaman karena terdampak kabut asap. Asap telah membuat nelayan yang minim peralatan navigasi itu tersesat ke perairan negara lain. ”Tiga nelayan yang dibebaskan masih di Andaman dalam proses pemulangan ke Aceh,” kata Miftah.
Namun, 113 nelayan lainnya masih menunggu putusan hukum. Miftah menambahkan, selain nelayan, kapal-kapal mereka itu juga ditahan oleh otoritas negara setempat. Kapal yang ditahan meliputi dua kapal ukuran 7 gros ton (GT) dan 59 (GT) di India, dua kapal ukuran 59 (GT) di Thailand, dan dua kapal ukuran 59 (GT) di Myanmar.
Miftah mengatakan, kapal-kapal nelayan Aceh itu memang melewati batas perairan Indonesia. Oleh otoritas kelautan negara setempat, mereka dituduh mencuri ikan. Padahal, kata Miftah, sebagian nelayan melewati batas karena tidak tahu teritorial laut sendiri. Ada juga kapal nelayan yang mengalami kerusakan sehingga terseret ke perairan negara lain.
Para nelayan yang ditangkap merupakan anak buah kapal atau nelayan kecil dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Mereka umumnya kepala keluarga. Mereka tidak memiliki asuransi kecelakaan melaut.
Advokasi terhadap nelayan Aceh yang kini berhadapan dengan hukum di negara lain sangat lemah.
Miftah menuturkan, advokasi terhadap nelayan Aceh yang kini berhadapan dengan hukum di negara lain sangat lemah. ”Mereka kini hanya bisa menanti putusan hukum berbulan-bulan tanpa kepastian,” kata Miftah.
Selama kepala keluarganya ditahan di luar negeri, istri/anak keluarga nelayan kehilangan sumber penghidupan. Nurlianti (27), warga Gampong Jawa, Kota Banda Aceh, misalnya, harus bekerja keras sendiri menghidupi dirinya dan anaknya yang berumur 2 tahun. Suaminya, Munazir, ditahan di India sejak September 2019. Dia berharap pemerintah membantu pemulangan suaminya.
Kepala Bidang Perlindungan Jaminan Sosial Dinas Sosial Aceh Syahbaniar mengatakan, karena kasus ini berurusan dengan luar negeri, pemprov tidak bisa langsung membangun komunikasi dengan pihak negara lain. Proses advokasi dilakukan melalui Kementerian Luar Negeri RI dan Kedutaan Besar RI di negara tersebut.
Dinas sosial membantu pemulangan ke Aceh jika persoalan hukum telah diurus oleh KBRI. ”Ini hubungan antarnegara, tidak bisa langsung kami, advokasi,” kata Syahbaniar.