Maskapai-maskapai Penerbangan di Dunia Terancam Bangkrut
Pandemi Covid-19 semakin memukul industri penerbangan. Maskapai global rawan kolaps karena pembatasan perjalanan di banyak negara dan anjloknya permintaan atas tiket pesawat.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Pembatasan perjalanan dan anjloknya permintaan atas tiket pesawat seiring dengan pandemi Covid-19 telah memaksa perusahaan-perusahaan maskapai membatalkan sebagian besar rute penerbangan dan mengurangi pegawai. Ancaman kolaps hingga kebangkrutan pun membayangi sejumlah maskapai, khususnya jika kondisi itu berlanjut dan maskapai tidak ditalangi pemerintah.
Media BBC melaporkan langkah terbaru oleh maskapai Virgin Atlantic yang akan memangkas empat perlima dari penerbangannya. Maskapai itu telah meminta sebagian staf untuk mengambil cuti tanpa dibayar selama delapan pekan. Maskapai Ryanair dan EasyJet juga dilaporkan telah mengandangkan sebagian besar armada mereka.
Maskapai Norwegian Air telah membatalkan 85 persen penerbangannya. Seiring dengan hal itu, untuk sementara pihak perseroan pun memberhentikan lebih dari 7.500 anggota staf. Pemberhentian kerja sementara ini mencapai sekitar 90 persen dari seluruh tenaga kerja maskapai tersebut, termasuk pilot, awak kabin, bagian perawatan, dan staf administrasi.
Sebagai pionir penerbangan berbiaya murah trans-Atlantik sejak 2013, Norwegian Air berkembang pesat menjadi maskapai asing terbesar yang melayani wilayah New York dan salah satu pemain utama dalam layanan penerbangan antarbandara di AS. Perusahaan itu menyebutkan, mereka menghentikan seluruh penerbangan ke AS.
Presiden AS Donald Trump memperluas larangan penerbangan dari Eropa ke AS, Sabtu lalu, sehingga kini mencakup Inggris. Negara ini merupakan destinasi trans-Atlantik maskapai Norwegian Air.
Dari Australia juga dilaporkan, maskapai Qantas Airways Ltd mengumumkan hari Selasa (17/3/2020) bahwa pihaknya juga memangkas kapasitas layanan internasional sekitar 90 persen. Pengurangan ini berlangsung setidaknya hingga akhir Mei mendatang. Qantas juga akan mengurangi 60 persen kapasitas layanan domestiknya.
Dengan pengurangan tersebut, sebanyak 150 pesawat atau jauh di atas 38 pesawat yang diumumkan pekan lalu akan dikandangkan. Keputusan pemangkasan layanan internasional dan domestik tersebut diambil setelah permintaan layanan penerbangan ke Australia anjlok akibat aturan-aturan baru pembatasan perjalanan terkait upaya pencegahan penyebaran wabah Covid-19.
Pemerintah Australia, Minggu lalu, mengumumkan bahwa seluruh penumpang kedatangan internasional—termasuk warga negaranya sendiri—harus menjalani karantina mandiri selama 14 hari. Keputusan itu menyebabkan permintaan untuk bepergian menurun secara drastis. Langkah serupa diambil Selandia Baru, destinasi populer bagi penerbangan-penerbangan Qantas.
Masih terkait dengan bisnis penerbangan dan pariwisata, perusahaan perjalanan Tui mengatakan akan menangguhkan mayoritas layanannya. Hal itu mencakup paket perjalanan wisata, baik melalui pesawat udara, kapal pesiar, maupun pesanan hotel.
Diungkapkan juga bahwa jumlah penumpang dan pemesanan paket wisata telah anjlok dalam beberapa pekan terakhir karena negara-negara menutup perbatasan mereka. Selain itu, penjual jasa liburan juga membatalkan tawaran mereka kepada pelanggan.
Terancam bangkrut
Perusahaan riset Center for Aviation memperkirakan sebagian besar maskapai penerbangan di dunia akan bangkrut pada akhir Mei, kecuali mereka menerima dukungan finansial. ”Tindakan pemerintah dan industri yang terkoordinasi diperlukan saat ini agar bencana dapat dihindari,” demikian pernyataan perusahaan itu.
”Permintaan benar-benar hilang dengan cara yang benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya. Belum ada tanda-tanda akan normal.”
Proyeksi serupa digambarkan Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA). Kepala IATA Alexandre de Juniac di Geneva menyatakan, jika krisis pandemi Covid-19 berlangsung dua atau tiga bulan lagi, maskapai-maskapai rawan kolaps dan bahkan bangkrut. Pada Jumat pekan lalu, Juniac melihat angka proyeksi hilangnya potensi pendapatan industri penerbangan bisa lebih besar. Sebelumnya diproyeksikan potensi hilangnya pendapatan industri penerbangan global tahun ini sebesar 113 miliar dollar AS.
”Kami meminta semua pemerintah yang telah membatasi perjalanan—dan Pemerintah AS khususnya—untuk meninjau keputusan secara permanen, untuk melihat apakah mereka dapat mengurangi atau menghentikan keputusan itu, semakin cepat semakin baik,” kata De Juniac.
IATA menyerukan pada pekan lalu agar pemerintah mempertimbangkan perpanjangan jalur kredit, mengurangi biaya infrastruktur, dan memotong pajak untuk maskapai yang kekurangan uang. Operator yang melayani pasar di Eropa, khususnya Jerman, Perancis, dan Italia, paling berisiko kolaps.
”Jika penurunan ini sama pentingnya, sedalam seperti yang kita lihat sekarang, dan jika itu berlangsung selama lebih dari dua atau tiga bulan, kita akan mengalami sejumlah kesulitan di kalangan maskapai,” ujar Juniac, yang juga mantan kepala eksekutif grup maskapai Air France-KLM. ”Beberapa dari mereka mungkin akan mengalami kesulitan keuangan dan perlu konsolidasi lebih lanjut.”
Di Amerika Serikat, maskapai-maskapai penerbangan utama meminta dana talangan pemerintah lebih dari 50 miliar dollar AS. Gedung Putih berencana menyusun paket bantuan keuangan bagi industri penerbangan. Tanpa tindakan pemerintah, maskapai penerbangan dapat kehabisan modal pada akhir tahun dan bahkan lebih cepat jika perusahaan kartu kredit mulai menahan pembayaran.
Kelompok perdagangan yang mewakili American Airlines, United Airlines Inc, Delta Air Lines Inc, Southwest Airlines Co, dan lainnya mengatakan, industri ini membutuhkan dana dalam bentuk hibah, 25 miliar dollar AS dalam bentuk pinjaman dan keringanan pajak yang signifikan untuk bertahan hidup. Mereka juga mencari keringanan pajak yang bisa bernilai puluhan miliar dollar AS hingga setidaknya akhir tahun 2021. (AFP/REUTERS/SAM)