Beijing memilih mengirim polisi dibandingkan tentara untuk menangani unjuk rasa di Hong Kong. Sebab, pengiriman tentara akan berdampak besar bagi citra China di pentas internasional.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
HONG KONG, RABU — Paramiliter China diduga terlibat dalam penanganan unjuk rasa di Hong Kong. Walakin, mereka lebih banyak memantau unjuk rasa yang telah berlangsung selama 8 bulan itu.
Anggota DPR Hong Kong, James To, mengungkap bahwa sejumlah polisi Hong Kong membawa paramiliter China ke garis depan penanganan unjuk rasa. Kehadiran anggota unit yang dikenal sebagai People Armed Police (PAP) itu dinyatakan akan berlanjut sampai beberapa waktu ke depan. ”Pemerintah dan kepolisian harus menjelaskan ini demi memastikan (prinsip) ’Satu Negara Dua Sistem’ dihormati,” ujarnya seperti dikutip Reuters, Rabu (18/3/2020).
Hong Kong memang bagian dari China. Walakin, Hong Kong menjalankan sistem terpisah dari China. Beijing berjanji prinsip itu akan berlaku sampai 2047. Kehadiran PAP, sejenis brimob di Indonesia, dianggap tidak sesuai prinsip itu. To menyebut, anggota PAP hanya mengawasi unjuk rasa dari garis depan.
Sejumlah diplomat di Hong Kong juga menyebut kehadiran PAP selama penanganan unjuk rasa. Beijing memilih mengirim polisi dibandingkan tentara untuk menangani unjuk rasa di Hong Kong sebab pengiriman tentara akan berdampak besar bagi citra China di pentas internasional.
Jumlah anggota PAP di Hong Kong ditaksir mencapai 4.000 orang. Bersama pasukan tentara yang ditempatkan di Hong Kong, Beijing menyiagakan total 12.000 aparat di Hong Kong. Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) punya pangkalan di Hong Kong. Secara resmi, mereka hanya berlatih di pangkalan yang terletak di Pulau Stonecutters dan kawasan Stanley di selatan Hong Kong.
Juru bicara biro keamanan Hong Kong, Lawrence Li, mengatakan, aparat luar Hong Kong tidak berwenang di Hong Kong. Ketentuan itu berlaku untuk polisi dan tentara China.
Pengamat militer yang berkedudukan di Singapura, Alexander Neill, menyebut bahwa keamanan Hong Kong penting bagi Beijing. ”Ini masalah keamanan nasional China dan PAP ke sana (Hong Kong) untuk alasan itu,” ujarnya.
PAP punya perlengkapan, seperti unit pengendalian antihuru-hara brimob. Mobil baja pengangkut pasukan, meriam air, dan mesin keruk menjadi bagian dari perlengkapan mereka.
Penyelidikan
Anggota DPR Hong Kong dari Partai Civic, Tanya Chan, kembali menekankan pentingnya penyelidikan internasional atas dugaan kekerasan oleh polisi selama menangani unjuk rasa. ”Berita-berita soal unjuk rasa adalah bukti kebrutalan polisi,” ujarnya sebagaimana dikutip media Hong Kong, HongkongFP.
Ia marah dengan upaya polisi membela diri atas rangkaian kekerasan selama penanganan unjuk rasa. ”Semua dalam tekanan, tetapi itu bukan alasan (untuk melakukan kekerasan),” katanya.
Pendiri Pemantau HAM Warga Negara, Icarus Wong, mengatakan, kepolisian bertindak di atas hukum. Aparat yang diduga bersalah tidak dihukum dengan layak. Ia menunjuk 21 polisi yang hanya ditahan singkat meski diduga kuat melakukan kekerasan berlebihan. Salah seorang polisi terekam sengaja menabrak pengunjuk rasa.
Sejumlah warga Hong Kong kini menggugat kekerasan itu. Gugatan itu antara lain diajukan Ketua BEM Universitas Pendidikan Hong Kong Kex Leung Yiu-ting. Ia menyatakan dipukuli polisi di stasiun Pangeran Edward dan Lai Chi Kok. Pengadilan memerintahkan perusahaan kereta Hong Kong menyerahkan rekaman pada waktu insiden itu untuk dijadikan bukti.
Leung mengaku sedang berada di stasiun dan tidak terlibat unjuk rasa. Akan tetapi, ia tetap menjadi sasaran pemukulan polisi di sana pada Juli 2019. Kala itu, polisi menyerbu berbagai stasiun kereta bawah tanah untuk memburu para pengunjuk rasa.
Hakim yang menangani kasus itu, Anderson Chow, menyatakan, sidang akan menilai keseluruhan situasi pada saat kejadian. ”Bagi saya, perilaku, jumlah penumpang, aparat, dan keadaan di stasiun penting untuk diperiksa,” demikian pertimbangan tertulisnya. (REUTERS)