Bergerak Cepat dan Disiplin, Kunci Keberhasilan Korea Selatan
Selain nilai-nilai sosial, seperti solidaritas dan kerja keras, pengalaman ”menyedihkan” saat dihajar SARS telah membentuk Korea Selatan menjadi lebih tanggap dan siap menghadapi wabah dan pandemi.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Setiap warga menerima pesan darurat dari pemerintah di telepon genggam. Isinya, peringatan mewaspadai Covid-19. Warga diminta untuk tinggal di rumah saja agar tidak tertular. Jika ada yang ngeyel keluar rumah, pasti ketahuan karena pemerintah bisa melacak keberadaan setiap warga. Apalagi jika positif terinfeksi Covid-19. Semua jejak kehidupan pasien bisa diakses sampai, misalnya, sering menonton di bioskop apa, klinik kecantikan langganan, bahkan bisa sampai ketahuan toko langganan membeli celana dalam.
Itulah yang dilakukan Pemerintah Korea Selatan untuk melawan penyebaran Covid-19, dan ternyata berhasil. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Korea Selatan, Kamis (19/3/2020), menyebutkan, jumlah kasus positif Covid-19 di Korsel mencapai 8.565 orang dengan 91 orang tewas. Mayoritas dari kasus itu, 60 persen terkait dengan komunitas Shincheonji Church of Jesus.
Jumlah kasus positif relatif cepat dan barangkali ini terkait dengan kondisi demografi Korsel yang termasuk masyarakat menua. Sekitar 10 tahun lalu, 47 persen perempuan menilai, pernikahan masih penting, tetapi tahun lalu hanya 22,4 persen. Prakiraan tingkat kelahiran perempuan Korsel juga tahun ini turun menjadi 0,98 persen. Padahal, angkanya setidaknya harus 2,1 persen jika ingin menjaga kestabilan populasi. Pemerintah memprediksikan jumlah populasi Korsel yang mencapai 55 juta jiwa akan turun menjadi 39 juta jiwa pada 2067 dan separuh populasi akan berusia 62 tahun ke atas.
Segera setelah kasus Covid-19 pertama muncul, Pemerintah Korsel bergerak cepat untuk memeriksa kondisi kesehatan 274.504 orang dan membuka 50 kios untuk memeriksa warga yang berisiko terinfeksi Covid-19. Proses periksa pun sangat cepat. Hasilnya, 54 hari sejak kasus pertama ditemukan, Korsel berhasil menahan laju penyebaran virus karena setiap hari kini lebih banyak pasien yang sembuh ketimbang kasus baru yang muncul.
Awal Januari lalu, Kementerian Kesehatan Korsel memanggil perwakilan dari 20 perusahaan medis dari hari libur Imlek untuk rapat darurat di stasiun kereta di Seoul. Ketika itu dibahas bentuk tes yang bisa cepat dan efektif mendeteksi Covid-19. Meski pada waktu itu baru ada empat kasus positif, pemerintah sudah bergerak gesit. ”Waktu itu kita sudah menduga akan pandemi sehingga kita bergerak seperti tentara,” kata pakar penyakit menular di Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Korea Selatan Lee Sang-won.
Pada akhir Februari, kecepatan Korsel memeriksa kondisi kesehatan warganya dipuji dunia. Kios cek kesehatan setiap hari bisa memeriksa sampai ribuan orang. Hanya tujuh pekan setelah pertemuan di stasiun kereta itu, sudah ada 290.000 orang yang dites dan teridentifikasi ada sekitar 8.000 kasus positif. Kini kasus baru mulai jarang ditemukan, dari yang dulu dalam sehari paling banyak 909 kasus, kini ”hanya” 91 kasus.
”Pemerintah bergerak cepat dengan memberi tahu metode apa yang akan digunakan untuk mengecek warga, lalu kami bisa produksi paket cek Covid-19 dengan cepat,” kata Direktur Eksekutif Kogene Biotech Co Ltd Myoah Baek.
Wakil Duta Besar RI untuk Korsel Siti Sofia Sudarma, ketika dihubungi pada Rabu (19/3), mengatakan, keunggulan Korsel dalam menangani Covid-19 ini ada pada riset dan 96 laboratorium milik pemerintah dan swasta yang dikerahkan untuk mengecek pasien. Sampai saat ini masih ada 17.000 pasien yang diamati melekat. Karena gerakan yang cepat, pasien yang sembuh sampai 1.401 orang dari 8.565 kasus positif Covid-19.
”Yang perlu jadi catatan, angka orang yang terpapar cukup besar, tetapi angka yang meninggal rendah dibandingkan dengan negara lain. Ini berarti laboratorium mereka mempunyai kapasitas deteksi yang cepat dan rumah sakit bisa segera menangani. Sebelum dipulangkan, pasien masih dites lagi,” kata Sofia.
Pengalaman pahit
Pengecekan super cepat itu dilakukan untuk mengetahui daerah-daerah yang paling banyak terinfeksi virus tersebut. Pemerintah Korsel sengaja tidak memilih opsi ”penutupan” atau ”pembatasan” dan memilih konsentrasi pada melakukan cek Covid-19 secepat mungkin dan ke sebanyak-banyaknya orang serta mengimbau warga menjaga jarak sosial.
Respons yang cepat tanggap pemerintah itu karena Korsel belajar dari pengalaman masa lalu yang pahit pada saat wabah MERS melanda tahun 2015. Pada waktu itu, Presiden Korsel Park Geun-hye dan pemerintahannya dikecam rakyat Korsel karena lamban dan tidak transparan. Dulu tercatat ada 186 kasus MERS dengan 38 kematian. Karena pengalaman buruk itulah, parlemen Korsel lalu merancang aturan perundang-undangan yang bisa digunakan ketika terjadi situasi darurat wabah atau pandemi.
Jika terjadi wabah atau pandemi, Kementerian Kesehatan boleh mengumpulkan data pribadi warga terkait dengan Covid-19 tanpa perlu surat perintah. Pemerintah bisa mengambil data pribadi mulai dari rekaman dari kamera pemantau (CCTV), sejarah penggunaan kartu kredit, hingga data lokasi dari telepon genggam. Ini yang membuat Korsel bisa dengan sangat cepat melacak ratusan ribu warganya.
Namun, strategi ini diprotes kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) dan peneliti karena pasien atau orang yang baru diduga terinfeksi Covid-19 bisa terkena stigma dari masyarakat. Ahli epidemiologi di Rumah Sakit Anak Boston di Massachusetts, AS, Maimuna Majumder, menilai, data pribadi pasien atau orang yang diduga terinfeksi Covid-19 itu memang penting bagi para peneliti untuk mengetahui jejak persebaran Covid-19. ”Namun, kalau semua orang tahu seseorang itu terinfeksi, pasti akan kena stigma sosial dan orang tidak mau lagi cek kesehatannya sendiri,” ujarnya.
Namun, menurut ahli epidemiologi di Seoul National University, Sung-il Cho, pemerintah boleh-boleh saja mengumpulkan data pribadi warga untuk kepentingan orang banyak. Toh, tujuannya hanya agar orang yang diduga sakit atau sakit ringan hingga sedang bisa mengecek sejarah perjalanannya sendiri sehingga bisa ketahuan dia berinteraksi dengan siapa saja dan di mana saja.
Harian The Financial Times, 15 Maret lalu, menyebutkan, strategi tegas yang dilakukan Korsel, Taiwan, China, Jepang, dan Singapura belum tentu bisa dilakukan di negara lain karena ada perbedaan sistem politik. Salah satu faktor keberhasilan di China dan Taiwan, kata pakar penyakit menular di tim penasihat Pusat Komando Epidemi Pusat di Taiwan, Chang Shan-chwen, adalah karena transparansi data. Dalam sistem otokratik (China), setiap warga pasti akan patuh jika disuruh tinggal di rumah saja. ”Dan, itu akan susah dipraktikkan di negara-negara yang bebas dan demokratis,” ujarnya.
Selain itu, pendekatan yang diambil Korsel dan negara-negara lain di Asia itu juga berdasarkan pengalaman traumatis masa lalu, seperti SARS dan MERS. Mereka pasti lebih siap bergerak cepat dan masyarakatnya juga pasti akan lebih mudah diajak kerja sama. ”Korsel sudah terbiasa menghadapi wabah dan pandemi seperti sekarang ini sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukan,” kata pakar sejarah dan budaya Korsel di Korea University, Leighanne Yuh. (REUTERS/AFP/AP)